Kolom
Selasa, 23 April 2024 - 11:55 WIB

Kartini dan Literasi

Redaksi Solopos.com  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ucik Fuadhiyah (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Setiap tanggal 21 April diselenggarakan peringatan Hari Kartini oleh seluruh rakyat Indonesia. Peringatan Hari Kartini bukan semata-mata mengingat kelahiran R.A. Kartini yang ditetapkan menjadi pahlawan nasional.

Peringatan ini sebagai tonggak sejarah perjuangan emansipasi perempuan yang diawali Kartini melalui pemikiran dan gagasan-gagasan besar agar kaum perempuan mampu memaknai dan meneruskan perjuangan tersebut.

Advertisement

Kini setelah seabad lebih perjuangan itu diawali oleh Kartini, apa kabar emansipasi perempuan pada masa kini? Kartini lahir dari keluarga yang memiliki tradisi intelektual kuat. Sebagai anak seorang bupati kala itu, dia mendapatkan kesempatan sekolah hingga usia 12 tahun sekaligus belajar bahasa Belanda.

Itu sesuatu yang jarang bagi perempuan masa tersebut. Dalam usia yang terbilang sangat muda, lahir 21 April 1879 dan wafat 17 September 1904, Kartini memiliki kegelisahan akan nasib kaum perempuan dan masa depan bangsanya.

Dari kegelisahan yang mendalam itulah lahir pemikiran-pemikiran untuk memperjuangkan masa depan kaumnya. Saat itu yang diperjuangkan Kartini adalah impian dan harapan bahwa kaum perempuan harus berpendidikan, harus bersekolah, harus pintar selayaknya kaum laki-laki.

Advertisement

Dengan demikian, kaum perempuan memiliki kesempatan memperoleh hak dan kesetaraan dalam berbagai bidang untuk turut serta memajukan bangsa. Mewujudkan cita-cita emansipasi perempuan di tengah kuatnya budaya patriarki memang tidak mudah. Diperlukan perjuangan dan kegigihan.

Tentu saja emansipasi bukan berarti menjadikan perempuan harus seperti laki-laki. Ada kodrat masing-masing yang harus diemban, yang tentu saja tak dapat digantikan begitu saja. Misalnya kodrat perempuan melahirkan, menstruasi, dan menyusui.

Yang itu tak dapat digantikan oleh kaum laki-laki. Demikian pula dengan laki-laki, ada tugas merengkuh, mengayomi, dan melindungi perempuan. Seorang perempuan yang kuat dan mandiri sekalipun ada saatnya membutuhkan rengkuhan dan perlindungan dari laki-laki.

Keseimbangan dan kesetaraan hak dan kewajiban dalam konsep emansipasi seyogianya tidak menerabas hal-hal yang bersifat kodrati, namun lebih pada peran-peran yang bersifat substansi dan esensi.

Advertisement

Kartini bukan sekadar seorang pejuang emansipasi. Pertama-tama dan terutama Kartini adalah seorang penulis, artikulator ide. Buku yang ditulis Joost Cote (2014) berjudul Kartini; The Complete Writings 1898–1904 menjelaskan ada banyak rujukan tentang Kartini menulis artikel atau undangan untuk menulis.

Pemikiran

Bagi Kartini, kesempatan menulis tentang rakyat pribumi (ia menyebut dengan istilah ”rakyat kami”) merupakan hal sentral yang menjadi pusat pemikirannya. Sayang, masih banyak karya yang ditulis dari gagasan dan semangat itu belum selesai. Kartini tutup usia sangat muda.

Melalui sarana berwujud ”surat-surat” tertulis, Kartini menunjukkan kemampuan literasi yang sekaligus ”alat” untuk menyampaikan pemikiran-pemikiran dan perasaan secara efektif. Pada masa itu, tulisan-tulisan dan gagasan Kartini diterima dan diakui oleh orang-orang Eropa yang menerima dan membaca surat-suratnya.

Sejarah mencatat selama lebih satu abad bangsa ini mengenal dan mengetahui tentang Kartini berdasarkan publikasi korespondensi. J. Abendanon yang menyunting surat-surat Kartini yang diterbitkan pada 1911 menyajikan tulisan-tulisan Kartini sebagai ide-ide tentang masa depan rakyat, khususnya kaum perempuan.

Advertisement

J. Abendanon yang saat itu menjabat sebagai Menteri Kebudayaan Agama dan Industri mengumpulkan surat-surat Kartini dan membuat buku berjudul Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang).

Buku yang sangat populer di kalangan rakyat Indonesia hingga kini. Buku ini juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh L. Symmers dengan judul Letters of a Javanese Princess.

Publikasi tulisan Kartini pada 1911, penerbitan ulang, serta terjemahan-terjemahan yang berasal dari kumpulan dan kutipan surat Kartini itu sangat besar dampaknya bagi khalayak pembaca umum sehingga mengetahui sumbangsih pemikiran dan gagasan Kartini.

Semua tulisan dan narasi Kartini memproyeksikan cerita yang mengharukan di antara batasan biografi dan otobiografi dari catatan hariannya. Publikasi suntingan surat-suratnya berfungsi sebagai biografi dan sekaligus sebagai rangkaian komunikasi pribadi yang mengungkapkan perasaan terdalam Kartini.

Advertisement

Khalayak umum yang membaca surat-surat Kartini diberi gambaran cermat tentang bagian-bagian tertentu seorang Kartini (Rutherford, 1993 dikutip dalam Joost Cote, 2022, Kartini; Surat-Surat Lengkap dan Berbagai Catatan 1898-1904).

Kartini sejak kecil gemar membaca dan belajar bahasa asing. Dia menguasai bahasa Belanda. Pengetahuan dan keterampilan berbahasa itu menjadi modal dan memicu semangat untuk belajar banyak hal.

Kartini memiliki banyak teman gadis-gadis Belanda. Berbagai bacaan, baik buku maupun koran, memberi wawasan tentang pemikiran feminis di Eropa dan membuat Kartini ingin memberikan pencerahan bagi perempuan Indonesia yang belum maju saat itu.

Kegemaran Kartini membaca majalah budaya dan majalah ilmu pengetahuan tersebut mewarnai pemikirannya. Ia membaca karya-karya besar Multatuli, berbagai novel, roman, dan puisi yang semuanya berbahasa Belanda. Luar biasa tentu untuk ukuran gadis masa itu.

Sebagai perempuan berpendidikan dan menelaah feminisme, Kartini melalui surat-suratnya menulis tentang kondisi sosial pada masa itu, khususnya kondisi perempuan di Indonesia. Sebagian besar surat-suratnya memprotes kecenderungan budaya Jawa yang menghambat kemajuan perempuan.

Ia ingin perempuan Indonesia mempunyai kebebasan belajar. Pemikiran Kartini berdasar pada ketuhanan, kebajikan dan keindahan bersama, sikap kemanusiaan (humanitarianism), dan semangat nasionalisme.

Advertisement

Keinginan menjadi guru memang tidak terwujud sebab ia harus menikah. Sekali lagi, kondisi ini menunjukkan kultur patriarki di Jawa memang sangat kuat, salah satunya tradisi mengharuskan anak perempuan berusia 12 tahun mulai dipingit dan disiapkan untuk menikah, bahkan dijodohkan.

Meski demikian, Kartini masih beruntung, memiliki suami (seorang bupati di Rembang, Jawa Tengah) yang mendukung dan memahami keinginannya. Sang bupati mengizinkan istrinya (Kartini) mendirikan sekolah bagi perempuan miskin di sekitar kompleks kantor bupati.

Dari sekolah perempuan itulah cikal bakal Sekolah Perempuan yang dikelola Yayasan Kartini pada 1912 di Kota Semarang, kemudian di Kota Surabaya, Kota Jogja, Kota Malang, Kota Madiun, dan daerah lainnya. Kartini juga merencanakan membuat buku.

Sayang, Kartini meninggal setelah melahirkan putra pertamanya sebelum rencana dan cita-cita itu selesai (Tetty Yukesti, 2015, 51 Perempuan Pencerah Dunia, Jakarta: Gramedia). Dari pemikiran dan catatan sejarah perjuangan Kartini, bangsa Indonesia, khususnya kaum perempuan, selayaknya mengakui dan menghargai perjuangannya.

Bahwa perempuan harus memiliki peran dan kontribusi untuk kemajuan bangsa. Kegigihan dan keberanian menyampaikan gagasan serta pemikiran harus didasari ilmu pengetahuan, kemauan untuk terus berlajar, sebagai salah satu cara membekali diri.

Emansipasi dan pemikiran perempuan era kini bukan hanya di ranah domestik, tetapi sampai pada ranah publik dan sangat mungkin berdampak secara global. Saat ini perempuan di Indonesia telah merasakan hasil perjuangan Kartini.

Perempuan memperoleh hak berpendidikan dan peran atau posisi strategis dan esensial di berbagai bidang, seperti ekonomi, politik, dan sosial budaya.  Menjadi menteri, kepala sekolah, manajer perusahaan, rektor perguruan tinggi, kepala daerah, ketua umum partai, dan lain sebagainya.

Semoga kehadiran dan peran para ”Kartini” masa kini dalam pembangunan berkelanjutan mampu menjawab tantangan kemajuan zaman. Berdaya dan berkontribusi memperkecil angka kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, serta menguatkan identitas bangsa yang menjunjung tinggi kemanusiaan.

Untuk mengakhiri tulisan ini, perkenankan saya mengutip salah satu bagian surat yang ditulis Kartini: Saya memang masih muda, tetapi saya tidak tuli atau buta, dan saya telah mendengar juga melihat banyak, bahkan mungkin terlalu banyak, yang membuat hati saya menggeliat kesakitan, yang menyapu saya dalam pemberontakan yang membara, melawan tradisi yang mengakar kuat nan menjadi kutukan untuk para perempuan dan anak-anak” (Kartini, Agustus 1900).

Selamat Hari Kartini…

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 22 April 2024. Penulis adalah pengajar di Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa Universitas Negeri Semarang dan mahasiswa Program Doktoral Kajian Budaya Universitas Sebelas Maret)

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif