Soloraya
Selasa, 23 April 2024 - 19:43 WIB

Nestapa Petani di Selogiri Wonogiri, Padi Siap Dipanen Malah Ambruk Kena Angin

Redaksi Solopos.com  /  Suharsih  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Petani di Selogiri, Wonogiri, memandangi tanaman padinya yang siap panen tapi roboh akibat hujan angin, Selasa (23/4/2024). (Solopos/Muhammad Diky Praditia)

Solopos.com, WONOGIRI — Raut wajah Winarno, petani Desa Jendi, Selogiri, Wonogiri, tampak lesu. Dia hanya bisa pasrah memandangi tanaman padi miliknya yang ambruk setelah diguyur hujan dan angin.

Padahal kurang dari sepekan lagi, padi yang sudah menguning itu seharusnya sudah bisa dipanen. Bisa dipastikan, hasil panen gabahnya nanti anjlok pada masa tanam kali ini.

Advertisement

”Sejak puluhan tahun saya jadi petani, baru kali ini padi yang saya tanam ambruk hampir semuanya. Parah,” kata Winarno sembari menunjukkan dua bidang sawah miliknya yang ditanami padi dan sebagian besar sudah ambruk di area persawahan Selogiri, Selasa (23/4/2024).

Padi yang ditanam petani di lahan sawah seluas hampir satu hektare di Selogiri, Wonogiri, itu terancam gagal panen. Sekalipun bisa panen, dia yakin hasil yang didapatkan tidak bisa menutupi biaya produksi yang mencapai lebih kurang Rp15 juta.

Padi milik Winarno ambruk dipicu hujan lebat disertai angin yang terjadi hampir setiap sore atau malam selama beberapa hari terakhir ini di Wonogiri. Batang padi itu tidak kuat menahan beban sehingga jatuh dan tidak bisa lagi berdiri.

Advertisement

Kondisi ini membuat kualitas gabah menurun drastis. Harga gabah dari padi yang ambruk itu anjlok jauh dari harga pasaran. Pria berumur 62 tahun itu tidak bisa berbuat banyak selain hanya memandangi dengan pasrah sembari menunggu panen tiba.

Dia akan membiarkan padi itu tetap ambruk hingga air yang merendam biji-biji padi itu mengering lalu dipanen. Dalam keadaan seperti itu, petani seperti Winarno seperti sudah jatuh tertimpa tangga pula.

Proses panen padi yang sudah ambruk seperti itu akan memakan biaya yang lebih mahal dibandingkan saat keadaaan normal. Hal itu karena proses panen tidak memungkinkan menggunakan mesin, melainkan harus manual memakai tenaga manusia.

Biaya Panen Membengkak

Biaya panen padi dalam keadaan normal hanya sekitar Rp2 juta untuk setengah hektare atau satu bidang sawah. Sedangkan biaya panen saat kondisi ambruk bisa dua kali lipat dibanding kondisi normal.

Advertisement

“Kalau keadaan begini, sudah, saya tidak dapat apa-apa. Lebih mahal biaya produksinya dibandingkan hasil panennya,” ujar dia. Padahal semestinya dia bisa dapat untung setidaknya setara dengan biaya produksi yang dikeluarkan.

Winarno mengatakan penyebab permasalahan itu sebetulnya karena cuaca yang tidak menentu. Kondisi ini tidak lepas dari kemarau panjang pada 2023 hingga awal 2024. Pada masa tanam pertama 2024 ini, banyak petani yang mulai menanam pada akhir Februari.

Masa tanam itu sebenarnya sudah termasuk mundur. Sebab biasanya masa tanam mulai Januari atau awal Februari. Meski mundur, kata dia, pada pekan-pekan awal masa tanam, intensitas hujan sangat minim. Sawah menjadi kekurangan air.

Akibatnya, batang padi yang sudah tumbuh itu rapuh dan mudah ambruk. “Jadi ini karena cuaca. Sebelumnya belum pernah terjadi seperti ini. Cuaca begini juga rentan hama wereng,” ungkap Winarno.

Advertisement

Hal senada diungkapkan Samidi, 62, petani yang juga berasal dari Desa Jendi, Selogiri, Wonogiri. Padi yang ditanam Samidi di sawah seluas setengah hektare mayoritas ambruk karena hujan.

Kondisi itu ditambah hama wereng yang menyerang hampir semua bonggol batang padi yang dia tanam. Bonggol batang padi itu menjadi busuk dan mudah sekali roboh.

“Kalau begini, gabahnya enggak laku dijual. Soalnya ini nanti warna berasnya enggak putih, tetapi hitam. Palingan nanti dikonsumsi sendiri. Sisa padi yang masih berdiri, baru nanti dijual,” kata Samidi.

Hasil Panen Anjlok

Samidi mengatakan kalau kondisi padi normal, biasanya hasil gabah yang dipanen bisa mencapai 50-60 karung beras. Dia memperkirakan panen kali ini paling hanya mendapatkan setengahnya. Itu pun menurutnya sudah bagus.

Advertisement

“Kondisi begini enggak hanya di sawah saya. Coba lihat, sawah-sawah lain juga seperti ini, rata,” ucapnya.

Kepala Bidang Penyuluhan dan Pengembangan Pertanian Dinas Pertanian Wonogiri, Shidiq Purwanto, menjelaskan tanaman padi roboh atau ambruk sebetulnya kerap terjadi. Akan tetapi, pada masa tanam kali ini memang lebih banyak kasus padi ambruk.

Penyebabnya cuaca yang tidak menentu. Saat siang hari cuaca panas, kemudian sore-malam hari hujan disertai angin. Udara menjadi lembap. Kondisi seperti ini tidak baik untuk tanaman padi karena rentan hama sekaligus rawan ambruk.

Saat padi sudah ambruk seperti yang terjadi di Selogiri, padi itu sudah tidak bisa lagi berdiri. “Kasihan petani, mereka akan rugi betul. Karena kualitas gabah yang dipanen turun. Harganya pun tentu akan turun,” kata dia.

Menurut Shidiq, permasalahan pertanian seperti itu tak lepas dari perubahan iklim. Harus diakui, fenomena El Nino yang terjadi pada tahun lalu, dampaknya bagi pertanian di Wonogiri sangat terasa. Bahkan seharusnya, April ini sudah memasuki masa tanam kedua, tetapi kenyataannya justru baru memasuki awal panen.

Risiko Kerugian

Shidiq menyampaikan tantangan petani pada kondisi cuaca yang tidak menentu seperti ini akan semakin besar. Risiko kerugian di sektor ini semakin tinggi. Maka dari itu, ia mendorong agar petani menurunkan biaya produksi pertanian.

Advertisement

Biaya produksi itu bisa ditekan dengan cara memperbaiki kualitas tanah. Cara itu bisa dilakukan dengan meningkatkan penggunaan pupuk organik, penambahan karbon atau arang, dan mikroba lokal buatan sendiri.

Cara-cara itu akan memangkas biaya produksi untuk membeli pupuk kimia yang mahal. Di sisi lain, kualitas tanah akan semakin baik dan ramah lingkungan. Semakin baik kualitas tanah, maka hasil pertanian juga ikut baik.

“Ini sudah kami dorong ke petani-petani. Memang tidak mudah. Tetapi harus kami lakukan,” kata Shidiq. Selain itu, Pemkab Wonogiri sudah mendorong petani padi untuk menanam padi varietas genjah atau yang memiliki masa umur pendek.

Hal ini untuk mengakali cuaca yang tidak menentu. Padi genjah ini bisa panen pada umur 80 hari, lebih singkat dibandingkan padi biasa yang bisa sampai 110 hari baru bisa panen.

Varietas padi genjah ini sudah banyak ditanam petani di Wonogiri. Hanya, rasa dari verietas padi ini  tidak seenak padi yang berumur lebih tua. ”Untuk kondisi seperti, saya bilang kepada petani untuk memilih, luwih penting enek tapi ora enak apa enak tapi ora enek,” ucap dia.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif