Kolom
Kamis, 22 Maret 2018 - 05:00 WIB

GAGASAN : Mengembangkan Musik di Kota Solo

Redaksi Solopos.com  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Solo City Jazz 8 September 2017 (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Rabu (28/2/2018). Esai ini karya Wenny Purwanti, penyelenggara Solo City Jazz. Alamat e-mail penulis adalah solocity.jazz@yahoo.com.

Solopos.com, SOLO–Beberapa hari yang lalu saya diundang menghadiri acara bincang-bincang kreatif musik Kota Solo, tapi karena sesuatu hal dan saya berdomisili di Jakarta saya tidak bisa datang.

Advertisement

Walaupun demikian, saya mendapat gambaran bincang-bincang tersebut melalui sejumlah tulisan di berbagai media massa. Saya termotivasi untuk menanggapi esai Aris Setiawan di Harian Solopos edisi Jumat (23/2) berjudul Membaca Peta Musik di Solo yang terkait dengan bincang-bincang kreatif musik di Kota Solo tersebut.

Dalam esai itu Aris menyatakan bahwa Solo City Jazz seolah-olah hanya event tempelan atau sekadar pentas yang digelar untuk artis ibu kota. Pada esai ini saya akan menceritakan apa itu Solo City Jazz dan bagaimana kontribusi untuk perkembangan musik di Kota Solo.

Selaku penggagas dan penyelenggara Solo City Jazz sejak 2009, perlu saya jelaskan bahwa tujuan  awal menyelenggarakan event tersebut karena saya ingin menghadirkan pentas musik jazz di kota kelahiran saya secara rutin setiap tahun seperti di kota-kota lainnya yang sudah menyelenggarakan.

Advertisement

Pada saat itu yang rutin menyelenggarakan pentas jazz hanya Jakarta, Batam, Jogja. Bermodal tekad dan pendanaan dari para sponsor, Solo City Jazz dapat dilaksanakan secara rutin. Hingga pada 2013 Solo City Jazz  bukan hanya direstui sebagai event tahunan di Kota Solo, tapi juga mulai mendapat dukungan dari Pemerintah Kota Solo.

Selanjutnya adalah: Berkonsep jazz up heritage

Heritage

Advertisement

Solo City Jazz mempunyai konsep jazz up heritage yang tujuannya adalah memberi motivasi musikus di Kota Solo untuk bersama-sama berkarya di dunia musik dengan menggabungkan unsur budaya lokal. Konsep itu berjalan relatif lancar dan diikuti oleh event sejenis di berbagai kota.

Musikus atau anak-anak band tidak gagap lagi memainkan musik yang mereka anggap jazz atau jazzy dengan menggunakan kostum batik, demikian juga penontonnya.

Para musikus jazz atau yang dianggap jazz selain pentas di panggung besar dengan sound system dan lighting yang memadai juga tidak canggung pentas di pasar-pasar tradisional dengan back ground para pedagang dan pembeli.

Pentas musik jazz di pasar tradisional ini merupakan kali pertama di Indonesia. Penyelenggara berusaha meleburkan jazz dengan budaya lokal. Penyelenggara juga ingin mengingatkan bahwa dengan musik jazz musikus dan seniman dapat berkreasi menciptakan karya-karya atau aransemen dengan berbagai alat musik tradisional yang tadinya tidak terbayangkan untuk dikolaborasikan.

Advertisement

Selain konsep heritage, musikus di Kota Solo diberi wadah untuk memainkan karya mereka di depan ribuan penonton dan diekspos oleh media lokal dan nasional.

Mereka mendapatkan kebebasan mengeksplorasi aransemen dengan alat musik tradisional (gamelan, krawitan, dan sebagainya) karena benang merah jazz masih terjaga dalam bentuk spirit membebaskan para musikus bereksperimen.

Selanjutnya adalah: Niat awal untuk menggaungkan musik lokal

Advertisement

Musik Lokal

Niat awal Solo City Jazz memang ingin menggaungkan musik lokal ke mancanegara tanpa batasan. Keberhasilan konsep ini dapat dilihat dari penampilan Sruti Respati (sinden) disandingkan dengan Bintang Trio yang nge-jazz. Masih ada lagi penampilan-penampilan lain dalam bentuk  kolaborasi antara jazz dan gamelan dari Solo.

Mereka yang pernah tampil  dalam konsep demikian ini adalah Kemlaka, I Wayan Sadra dan Sono Seni Ensemble, Endah Laras dan Plenthe, Sruti Respati dan Emerald Bex, Wayan Balawan dan Gamelan Fusion, Javajine Gamelan Jazz, dan lain-lain.

Deretan panjang ini masih ditambah dengan puluhan grup lokal Solo yang setiap tahun diberi kesempatan yang sama dengan musikus-musikus Jakarta atau kota-kota lainnya.

Musikus, grup, atau seniman lokal yang pernah tampil di Solo City Jazz adalah Ki Slamet Gundono, Pecas nDahe, Michele Kunhle, Galih Naga Seno, Solo Jazz Society, Bengawan Symphony Orchestra, Pillipe B. All Star, Jungkat Jungkit, dan masih banyak lagi yang tidak bisa disebutkan satu per satu.

Masyarakat Kota Solo atau Pemerintah Kota Solo bisa jadi malah tidak tahu kalau sebagian penampil di Solo City Jazz berasal dari Kota Solo. Penyelenggara Solo City Jazz mencari sendiri bakat-bakat dan potensi seniman music di Kota Solo untuk dijadikan bintang acara.

Advertisement

Selanjutnya adalah: Bukan tempelan atau pentas untuk artis-artis ibu kota

Artis Ibu Kota

Menyimpulkan Solo City Jazz hanya tempelan atau pentas untuk artis-artis ibu kota, itu jelas salah. Solo City Jazz adalah wadah untuk para seniman Kota Solo berkarya. Seharusnya para seniman musik atau musikus di Kota Solo mengapresiasi dan menjadikan acara ini arena untuk memamerkan karya-karya mereka.

Mereka bisa jadi tidak kalah dengan musikus ibu kota karena pada saat demikian ini karya mereka akan ditonton langsung dan diekspos media nasional.

Kalau Pemerintah Kota Solo punya dana tentu dapat mendokumentasikan dan mengunggah di kanal yang dapat diakses langsung oleh para penikmat jagat maya, tentu dengan kualitas gambar dan suara yang baik.

Kalau banyak musikus nasional atau internasional tampil di Solo tentui seharusnya disyukuri karena publikasi dan promosi kota Solo bisa ke mana-mana, jangan ditimpali dengan sentimen negatif.

Jangan lupa bahwa Solo punya banyak musikus atau seniman musik yang telah menasional bahkan menginternasional.

Selanjutnya adalah: Kebanggaan yang selaras dengan penghargaan

Penghargaan

Sebut saja Gesang, Waldjinah, Sruti Respati, Peni Candrarini, Tia AFI, Didik SSS, Utara, Jungkat Jungkit, dan masih ratusan lainnya. Kebanggaan itu harus selaras dengan penghargaan kita untuk artis nasional dan internasional yang pentas di Kota Solo.

Saya setuju dengan beberapa pendapat yang mengatakan panggung hiburan di Kota Solo sangat banyak sehingga masyarakat Kota Solo menjadi  jenuh, apalagi semua event digelar gratis.

Lalu di mana penghargaan untuk para seniman karena penonton yang datang bukan untuk menikmati dan menghargai karya yang ditampilkan tapi hanya sekadar menikmati hiburan gratis? Penonton tidak akan protes dengan apa pun yang disajikan.

Dukungan Pemerintah Kota Solo tidak bisa maksimal karena dibagi untuk banyak event. Kenapa tidak dipilih lima atau 10 event saja yang benar-benar dianggap mewakili Kota Solo dan dan para seniman di kota ini sehingga dana yang dikeluarkan betul-betul bisa digunakan untuk memfasilitasi seniman dan musikus di Kota Solo. Event bagus, publikasi kota hingga tingkat nasional, seniman dan musikus pasti ikut senang.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif