Kolom
Selasa, 20 Maret 2018 - 07:00 WIB

GAGASAN : Hidup (Macet) 1.000 Tahun Lagi

Redaksi Solopos  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Sukma Larastiti (Istimewa)

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Senin (19/3/2018). Esai ini karya Sukma Larastiti, Direktur Eksekutif Leskap dan pernah bekerja sebagai konsultan transportasi untuk program transportasi yang berkelanjutan. Alamat e-mail penulis adalah surel.sukma@gmail.com.

Solopos.com, SOLO--Jika Chairil Anwar, dalam puisi berjudul Aku, berkata ingin hidup 1.000 tahun lagi, mungkin kita yang hidup pada abad milenium ini sangat kontekstual kalau berkata masih ingin hidup (macet) 1.000 tahun lagi.

Advertisement

Barangkali kalimat ini tampak berlebihan. Ingin macet kok 1.000 tahun lagi. Pernahkah kita—pada hari-hari ini—berpikir seperti apakah kondisi transportasi kita 10 tahun, 25 tahun, atau 50 tahun lagi?

Belakangan ini saya sering melamun di tepi jalan, menatap jalanan yang ramai oleh lalu lalang kendaraan, dan bertanya-tanya sampai kapan kehidupan di jalan terus melelahkan? Kita berangkat pagi, pulang menjelang petang, menghabiskan banyak waktu di jalan, dan sering kali emosi kita bergejolak karena jalan tak pernah ramah.

Hari-hari ini kita juga semakin sulit melepas anak sendirian ke jalanan tanpa perasaan resah karena jalanan tak lagi aman untuk anak kita. Banyak penculikan dan kecelakaan lalu lintas.

Iklan Meikarta, terlepas dari statusnya yang kontroversial, memberikan gambaran yang cukup jujur ihwal realitas kota kita saat ini: suram, macet, dan ada kejahatan di jalanan.

Di sana seorang anak dalam mobil merasa takut terhadap kota tempat tinggal dia dan seorang ibu menangis tersedu-sedu karena dirampok di tengah jalan. Saking tidak nyamannya kota itu menjadi tempat tinggal, sebuah kota baru yang aman untuk anak-anak tempat semua masalah itu tidak ada ditawarkan dan perlu dibuat.

Belum lama ini kita juga mendengar kabar duka tentang kecelakaan lalu lintas dengan korban seorang anak yang sedang dalam perjalanan naik sepeda motor menuju ke sekolahan. Baru saja beberapa hari lalu, di Klaten, seorang anak meninggal dunia karena terserempet bus saat naik sepeda onthel menuju ke sekolahan.

Harian Solopos edisi 4 Januari lalu memberitakan jumlah kecelakaan lalu lintas yang terjadi di Kota Solo. Di kota ini telah terjadi 631 peristiwa kecelakaan lalu lintas dengan korban pelajar sebanyak 145 orang, 63 korban meninggal dunia, dan kerugian material Rp300,3 juta. Itu sepanjang 2017.

Advertisement

Jumlah ini menurun sedikit dibandingkan pada 2016 dengan 681 peristiwa kecelakaan lalu lintas yang mencakup 67 korban meninggal dunia dan kerugian material Rp336,5 juta. Perincian ini menunjukkan sesuatu yang masih bisa dihitung oleh manusia, tetapi tidak memasukkan kerugian nonmaterial seperti nyawa yang hilang, hilangnya keluarga atau sahabat, dan juga hilangnya kasih sayang.

Selanjutnya adalah: Sampai kapan membiarkan nyawa anak-anak direnggut di jalanan?

Nyawa anak-anak

Perasaan saya ngilu. Sampai kapan sebetulnya kita membiarkan nyawa anak-anak kita direnggut jalanan yang ganas dan tak ramah anak, tak ramah manusia? Kapan sebetulnya kita bisa memiliki jalanan yang aman bagi anak-anak, orang dewasa, kaum difabel, dan orang tua, tanpa macet, tanpa kecelakaan lalu lintas, atau tanpa polusi?

Kita sering berbicara bahwa pembangunan infrastruktur jalan kita bertujuan untuk kepentingan masyarakat  pada masa mendatang. Pernahkah kita berpikir dan bertanya kepada diri sendiri: kepentingan seperti apakah itu?

Mimpi (baca: visi) apa yang sebetulnya kita miliki bersama dalam membangun kota ini untuk masa depan? Kota seperti apa yang sebetulnya ingin kita tinggalkan untuk anak-anak kita?

Advertisement

Wali Kota Bogota, Enrique Penalosa, dalam wawancara dengan Yes Magazine pada 2004 menyatakan jika kita bisa membangun kota yang baik untuk anak-anak, kita akan memiliki kota yang baik untuk semua orang.

Menurut Enrique, anak-anak yang bebas berada di jalanan dengan aman merupakan salah satu indikator bahwa lingkungan kota dalam kondisi baik. Indikator ini bersisian dengan indikator lain seperti kaum difabel, orang tua, dan perempuan yang bebas dan aman berada di jalanan dan kota baik pada pagi, siang, atau malam hari.

Untuk mewujudkan visinya, wali kota ini melakukan gebrakan yang tak lazim, di antaranya membentuk sistem angkutan bus rapid transit (BRT)—yang kemudian diadopsi banyak negara berkembang, termasuk Indonesia dan Kota Solo pada khususnya; memprioritaskan pembangunan trotoar dan jalur khusus sepeda dibandingkan jalur untuk kendaraan bermotor sebagai upaya meningkatkan prestise pejalan kaki dan pesepeda sehingga warga beralih dari kendaraan bermotor; membangun ruang publik bagi warga; serta membatasi parkir di kota sebagai upaya pembatasan penggunaan kendaraan bermotor.

Selanjutnya adalah: Kota Solo memiliki basis konsep membentuk kota yang lebih baik

Basis Konsep

Tentu saja yang dilakukan Enrique di Bogota tidak lantas kita tiru begitu saja. Kota Solo sebetulnya juga memiliki basis konsep untuk membentuk kota yang lebih baik. Beberapa tahun lalu kita tentu mendengar sebutan-sebutan kota ini seperti kota layak anak, kota inklusif, dan yang baru saja, kota ramah pesepeda.

Advertisement

Kota Solo juga sudah medapatkan penghargaan Wahana Tata Nugraha selama 10 tahun berturut-turut. Tak terlupa juga, kota ini belum lama ini mendapatkan predikat kota paling layak huni se-Indonesia.

Jika kita melihat dari sisi penyediaan infrastruktur transportasi, kota ini cukup lamban dalam membangun fasilitas bagi pengguna jalan yang tidak naik kendaraan bermotor—pejalan kaki, kaum difabel, pesepeda, dan pengemudi serta penumpang becak.

Pada perencanaan pembangunan infrastruktur flyover di Manahan, fasilitas bagi pengguna jalan lain belum terencanakan dengan baik. Fasilitas penyeberangan bagi pengguna jalan lain—nonkendaraan bermotor--tidak termasuk dalam perencanaan untuk dikerjakan bersamaan. Di ruas Jl. dr. Moewardi kita bisa melihat trotoar dipotong hingga menyisakan lebar sekitar 30 cm tanpa mempertimbangkan ruang gerak pejalan kaki.

Berdasarkan Pedoman Perencanaan, Penyediaan, dan Pemanfaatan Prasarana dan Sarana Jaringan Pejalan Kaki di Kawasan Perkotaan dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 03/PRT/M/2014, kebutuhan ruang gerak minimum pejalan kaki seluas 1,35 meter persegi sampai 1,62 meter persegi dalam kondisi bergerak membawa barang dan ruang gerak minimum pejalan kaki berkebutuhan khusus sekitar 0,9 meter persegi sampai 1,5 meter persegi.

Di sisi utara, jalur lambat dipotong untuk mengakomodasi ruang untuk flyover. Hilangnya fasilitas ini dapat berakibat pada semakin rentannya pesepeda onthel berhadapan dengan lalu lintas kendaraan bermotor, padahal tidak sedikit pesepeda di Solo adalah anak sekolah.

Selanjutnya adalah: Perlunya perencanaan yang matang dalam pembangunan infrastruktur

Advertisement

Perencanaan Matang

Satu hal yang patut diperhatikan dalam kasus ini yaitu perlunya perencanaan yang matang dalam pembangunan infrastruktur skala besar di kota. Pembangunan tidak boleh hanya berfokus pada pelayanan kendaraan bermotor dan menomorduakan fasilitas bagi pejalan kaki, kaum difabel, pesepeda, dan becak.

Kekurangan yang terjadi pada perencanaan ini tidak boleh terulang pada saat pemerintah melakukan pembangunan lain, termasuk rencana pembangunan flyover Purwosari yang sudah digadang-gadang sejak tahun lalu.

Upaya membangun kota bebas macet dan beriorientasi angkutan umum mensyaratkan kebijakan dan  tersedianya infrastruktur yang berorientasi multimoda (trotoar, jalur sepeda, dan halte) yang berkeadilan bagi seluruh masyarakat.

Ketiadaan fasilitas pendukung ini akan berdampak pada keengganan masyarakat untuk berpindah menggunakan angkutan umum atau moda transportasi selain kendaraan pribadi dan tetap memilih menggunakan kendaraan pribadi.

Jika kita mengamati data statistik yang diterbitkan Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Surakarta pada 2017, kita dapat melihat bahwa kepemilikan mobil dan sepeda motor terus meningkat dengan stabil sejak 2011-2012. Kenaikan jumlah mobil dan sepeda motor pada 2016 yakni sebesar 1,8% dan 5,9% dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Kondisi ini berbanding terbalik dengan tren kepemilikan sepeda onthel di Solo. Pada tahun yang sama, kepemilikan sepeda onthel di Solo mengalami penurunan sebesar 17,2%. Penurunan kepemilikan sepeda onthel ini telah terjadi sejak 2013.

Advertisement

Kondisi ini menarik, terlebih mengingat tahun lalu terdapat laporan ekonomi yang menyebutkan bahwa kondisi konsumsi masyarakat Indonesia sedang lesu. Dengan semakin banyaknya kendaraan bermotor yang beroperasi di jalanan, kita juga berhadapan dengan permasalahan polusi udara dan bencana terbesar zaman ini: perubahan iklim.

Hasil riset Matthias Mengel dkk. yang terbaru yang diterbitkan Jurnal Nature pada 20 Februari lalu menunjukkan bahwa perlambatan upaya menurunkan emisi tiap lima tahun di bawah perjanjian Paris dapat menyebabkan penambahan kenaikan permukaan air laut setinggi 20 cm dan, dalam kondisi ekstrem, hingga satu meter pada 2300.

Riset yang lain, yang dilakukan oleh R. S. Nerem, yang diterbitkan dalam Proceedings of The National Academy of Sciences (PNAS) Amerika Serikat pada 12 Februari lalu, menunjukkan hasil yang lebih ekstrem. Permukaan air laut akan naik setinggi kurang lebih 65 cm pada 2100. Ini dua kali lebih tinggi jika kenaikan muka air laut sebesar tiga milimeter per tahun.

Selanjutnya adalah: Lima pulau kecil di Kepulauan Solomon tenggelam...

Kepulauan Solomon

Sebagai perbandingan untuk membaca data ini, pada 2016 lima pulau kecil di Kepulauan Solomon tenggelam sebagai akibat kenaikan permukaan air laut setinggi 10 mm selama kurang lebih dua dekade. Hal itu menyebabkan desa di dua pulau tersebut hancur dan masyarakat harus pindah dengan terpaksa dari tanah tempat hidup mereka.

Advertisement

Permasalahan ini belum termasuk dampak dari perubahan iklim lain seperti cuaca yang tak menentu, kekeringan, dan bencana alam ekstrem. Kisah tentang perubahan iklim di sini bukan untuk menakut-nakuti, tetapi agar kita memahami permasalahan yang kini dihadapi umat manusia di seluruh bumi dan tanggung jawab besar yang sebenarnya kita pikul bersama.

Tanggung jawab bukan hanya dipikul pemerintah tetapi juga warga. Kita saat ini tengah berada posisi kritis. Apa yang kita pilih, kebijakan apa yang kita putuskan, dan apa yang kita lakukan berdampak panjang pada masa depan, termasuk masa depan anak-anak kita.

Kita hari ini bisa dan boleh saja berbicara esok hari anak saya akan bersekolah tinggi di perguruan paling keren di negeri ini atau saya hari ini mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya agar hidup anak saya tidak menderita pada masa mendatang.

Apa artinya semua itu jika kita mengabaikan lingkungan dan tidak menyiapkan tempat hidup mereka sebaik-baiknya mulai dari sekarang? Dengan tidak melakukan apa pun yang berarti mulai hari ini, kita sebetulnya turut mempertaruhkan kehidupan anak-anak kita baik pada masa kini maupun pada masa depan.

 

 

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif