Jogja
Senin, 12 Maret 2018 - 05:20 WIB

Alam Rusak, Manusia Tak Akan Sejahtera

Redaksi Solopos.com  /  Kusnul Istiqomah  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - GKR Hayu sedang memberikan materi saat seminar Nilai-Nilai Filosofis Budaya Jawa, Sabtu (10/3/2018). (Harian Jogja/I Ketut Sawitra Mustika)

Manusia bertugas mengelola alam semesta agar lestari untuk kesejahteraan alam seisinya

Harianjogja.com, JOGJA-Jogja dikenal sebagai daerah ‘banyak filosofi’ yang berpengaruh pada kehidupan masyarakat. Adapun makna filosofi itu dinamis, tidak ada pemahaman yang baku. Keadaan ini membuat berbagai bentuk pelaksanaan sesuai pemaknaan masing-masing.

Advertisement

Hal tersebut disampaikan Penghageng urusan Pambudaya Puro Pakualaman KPH Kusumo Parastho pada seminar Nilai-Nilai Filosofis Budaya Jawa di Sekar Kedhaton Resto, Kotagede, Sabtu (10/3/2018). Acara ini diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan Kota Jogja. Hadir pula sebagai pembicara GKR Hayu dan Dosen Sastra Jawa UGM Sri Ratna.

Karena itulah, kata KPH Kusumo Parastho, perlu diusahakan beberapa filosofi yang dapat dijadikan dasar untuk dirangkul dalam sebuah sistem guna membangun keistimewan Jogja. Salah satu di antaranya adalah filosofi Hamemayu Hayuning Bawana.

Ajaran ini meyakini manusia adalah mahkluk yang diciptakan untuk jadi wakil Tuhan di dunia. Sebagai wakil-NYA, manusia bertugas mengelola alam semesta agar lestari untuk kesejahteraan alam seisinya (Hamemayu Hayuning Bawana). Maka dunia diserahkan kepada manusia.

Advertisement

“Untuk mendukung kesejahteraan manusia, ada dua unsur, yakni unsur kelestarian alam semesta dan unsur manusia itu sendiri. Kalau alam semesta rusak, maka manusia tak akan sejahtera. Begitu pula jika manusia rusak, tak ada kemanusiaan pada kehidupannya, manusia juga akan hancur,” jelasnya.

Hamemayu Hayuning Bawana, lanjutnya, adalah falsafah dasar. Ada pula filosofi penunjangnya, yakni sangkan paraning dumadi yang artinya dari mana manusia berasal dan akan ke mana pulangnya.

Ia menjelaskan, manusia lahir tidak membawa apa-apa. Begitu juga saat mati. Anak, istri, suami harta tidak ikut dibawa. Yang dibawa adalah amal. “Sehingga jangan terkecoh. Ketika hidup mengejar dunia dengan merusak alam dan perbuatan tidak baik. Ingat harta tidak dibawa mati, walau harta jangan diabaikan.”

Advertisement

GKR Hayu menerangkan, tantangan yang sekarang dihadapi adalah keseimbangan antara mempertahankan identitas budaya tanpa menjadi ekslusif. Ia menyebut ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menyikapi budaya lain di tempat sendi.

Pertama, jangan memaksakan budaya sendiri agar terus dituruti oleh orang lain. GKR Hayu mengajak masyarakat untuk memahami orang lain tidak selalu mengerti norma sosial di sebuah daerah. “Lalu ajak mereka berpartisipasi dan berani menolak apabila budaya yang datang menggerus kearifan lokal.”

Sementara itu, Kepala Bidang Pelestarian Warisan dan Nilai Budaya Dinas Kebudayaan Kota Jogja Pratiwi Yuliani mengungkapkan, seminar Nilai-Nilai Filosofis Budaya Jawa sengaja dilaksanakan agar generasi terkini bisa memahami makna-makna filosofi Hamemayu Hayuning Bawana. “Sehingga tidak ada kesalahan persepsi. Nanti malah salah kaprah.”

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif