Jogja
Rabu, 7 Maret 2018 - 14:20 WIB

Terkait Pembinaan Mahasiswi Bercadar, Kampus Diminta Hati-Hati

Redaksi Solopos.com  /  Kusnul Istiqomah  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Foto ilustrasi (Paulus Tandi Bone/JIBI/Bisnis Indonesia)

Institusi tidak bisa serta-merta melarang ketika cadar dinilai untuk menjalankan kewajiban agama bagi pemakainya

Harianjogja.com, SLEMAN-Direktur Eksekutif Human Right Working Group (HRWG) Muhammad Hafidz menyatakan, kampus diminta berhati-hati dalam menentukan kebijakan terkait pembinaan mahasiswi bercadar yang berpotensi melarang mereka menggunakan cadar.

Advertisement

Pelarangan itu bisa berpotensi melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) jika seseorang menggunakan cadar merupakan suatu keyakinan dalam menjalankan perintah agama. Oleh karena itu kampus tidak bisa serta-merta melarang siapapun untuk mengenakan cadar ketika tujuan utama institusi tersebut adalah untuk menghilangkan atau mengalihkan suatu kepercayaan.

“Harus hati-hati dibuat dengan ukuran yang jelas. Kalau sudah diajak dialog dan pemakai itu tetap berkeyakinan bahwa itu menurutnya mutlak menjalankan keyakinannya atau sebagai kewajiban [agama], ya tidak bisa dilarang,” terangnya kepada Harianjogja.com, Senin (5/3/2018).

Advertisement

“Harus hati-hati dibuat dengan ukuran yang jelas. Kalau sudah diajak dialog dan pemakai itu tetap berkeyakinan bahwa itu menurutnya mutlak menjalankan keyakinannya atau sebagai kewajiban [agama], ya tidak bisa dilarang,” terangnya kepada Harianjogja.com, Senin (5/3/2018).

Hafidz memastikan, institusi tidak bisa serta-merta melarang ketika cadar dinilai untuk menjalankan kewajiban agama bagi pemakainya. Akan tetapi, institusi bisa menggunakan dialog untul mempengaruhi karena keyakinan seseorang bisa berubah.

Bisa jadi saat ini menyampaikan cadar sebagai suatu kewajiban namun ketika dihadapkan pada situasi pandangan yang berbeda. Sehingga kewajiban kampus menyampaikan alternatif pandangan dengan berbagai argumen yang kuat.

Advertisement

Baca juga : Bercadar Tak Selalu Eksklusif dan Radikal

Jika arahnya kampus ingin mendidik atau memberikan penyadaran tentang memeluk Islam terhadap para mahasiswa yang mengenakam cadar, lanjutnya, maka prosesnya yang harus ditekankan. Proses diskusi atau konseling harus diperbanyak, bukan langsung melakukan pelarangan atau memberikan perintah agar tidak memakainya.

Namun, secara bertahap harus diarahkan, terutama menentukan siapa pihak yang akan mendampingi, mendiskusikan dengan mahasiswa pemakai cadar. Kemudian kampus harus jelas menunjuk pihak yang harus melacak sekaligus memberikan pemahaman dari awalnya bersikukuh tetap memakai hingga mahasiswi itu nyaman tidak menggunakan cadar.

Advertisement

Akan tetapi, kampus bisa melakukan pelarangan jika untuk alasan keamanan bukan untuk mempengaruhi kepercayaan. Alasan keamanan seperti saat ujian wanita bercadar harus membuka wajahnya, hal itu masih diperbolehkan. Namun wajah tersebut boleh dibuka di hadapan penguji atau pengawas dengan jenis kelamin perempuan.

“Kalau itu [untuk alasan keamanan boleh], sekalipun pemakainya itu menganggap cadar sebagai suatu keyakinan pribadi yang terdalam bukan sebagai kenyamanan. Cuma yang melihat adalah dosen atau pengawas perempuan. Kalau dalam kondisi itu pemakai tetap tidak mau [menunjukkan wajahnya], kampus bisa ambil sikap tegas,” jelasnya.

Hafidz mengakui, keputusan kontroversial terkait cadar belum pernah ia temukan sebelumnya dan baru ia dapatkan di UIN Sunan Kalijaga. Isu pelarangan yang selama ini terjadi fenomena pada secara tidak langsung memaksa untuk menggunakan jilbab di sekolah. “Kalau tidak ada alasan tiba-tiba dilarang, itu diskriminatif, kebijakan muncul kan banyak pertimbangane,” tegasnya.

Advertisement

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif