Kolom
Minggu, 25 Februari 2018 - 02:00 WIB

GAGASAN : Kids Zaman Now Membaca Media Cetak?

Redaksi Solopos.com  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Koran (foto: liputan6.com)

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Senin (12/2/2018) dan Harian Bisnis Indonesia edisi Sabtu (10/2/2018). Esai ini karya Lahyanto Nadie, pengampu Manajemen Media Massa di Kwik Kian Gie School of Business dan pengurus Yayasan Lembaga Pers dr. Soetomo Jakarta.

Solopos.com, SOLO–Siapa yang sudah membaca koran hari ini? Pertanyaan itu sering saya lontarkan ketika mengajar di Kwik Kian Gie School of Business atau saat memberikan training jurnalistik dalam 10 tahun terakhir.

Advertisement

Jawabannya selalu saragam: tidak ada. Jika jawabannya selalu sama dalam setiap ruang dan waktu, mungkin banyak yang sepakat tentang senja kala media cetak. Perdebatan mengenai prospek hidup atau mati media cetak selalu menarik.

Sesungguhnya perdebatan soal tiras media cetak di Indonesia mengalami penurunan cukup signifikan bukan hal baru. Diskusi, seminar, hingga kovensi digelar membahas soal itu. Lagi pula, pers Indonesia tidak sendirian. Jauh sebelumnya media cetak di Amerika Serikat, Eropa, Asia, juga turun.

Menurut data yang dilansir Biro Audit Sirkulasi ABC (sebuah kantor berita di Amerika Serikat) dalam beberapa tahun terakhir, oplah koran di Amerika Serikat menurun signifikan. USA Today mengalami penurunan oplah 13,58% menjadi 1,83 juta eksemplar per hari, The Los Angeles Times turun 14,74% (616.606 eksemplar), The Washington Post turun 13,06% (578.482 eksemplar), dan The New York Times melemah 8,47% (951.063 eksemplar).

Advertisement

Di Indonesia, jumlah media cetak per 2017 sebanyak 793 penerbit dengan oplah sebanyak 17,175 juta eksemplar. Jumlah tiras itu turun dibandingkan 10 tahun lalu yang sekitar 20 juta eksemplar. Memang tampaknya penurunan itu tidak terlau signifikan, namun tren menurun itu akan terus terjadi pada tahun-tahun mendatang.

Dari data Serikat Penerbit Pers (SPS) Pusat menunjukkan dari jumlah oplah sebanyak itu, perinciannya adalah jumlah surat kabar harian 399 penerbit dan 7,1 juta eksemplar; surat kabar mingguan 67 penerbit (173.724 eksemplar), majalah 194 penerbit (6,4 juta eksemplar); dan tabloid 133 penerbit (3,4 juta eksemplar).

Selanjutnya adalah: Kemerosotan sirkulasi pers cetak, ditambah meluasnya digitalisasi

Advertisement

Digitalisasi

Mencermati kemerosotan sirkulasi pers cetak, ditambah meluasnya digitalisasi di bidang komunikasi dan informasi, pada 1990 Bill Gates pernah meramalkan “surat kabar akan mati” dalam waktu 10 tahun. Ternyata ramalan pendiri Microsoft itu meleset.

Gates mengoreksi pernyataan dia dan April tahun lalu ia menyampaikan prediksi baru, mungkin sampai lebih 50 tahun ke depan masih ada orang yang mencetak koran. Melihat pameran mesin cetak di Jerman tahun lalu, teknologi yang terus berkembang, dan pelaku industri itu masih optimistis, rasanya pernyataan Gates masih realistis.

Gates memang tetap berkeras suatu saat pada masa depan tidak akan ada lagi buku, majalah, dan surat kabar. Semua itu akan tampil secara digital melalui sebuah alat berbentuk tablet. Pembahasan mengenai matinya media cetak tak pernah surut dari tahun ke tahun.

Advertisement

World Association of Newspapers and News Publishers (WAN IFRA), organisasi perusahaan penerbit surat kabar seluruh dunia, rutin menggelar kovensi dan hampir setiap tahun berkesimpulan sama, masih prospektif.

Tahun ini, Publish Asia kembali menggelar acara serupa di Bali. Lebih dari 400 eksekutif media dari 30 negara berbeda akan berkumpul pada 24-26 April menggelar konferensi dan tentu saja untuk menggalang networking yang menarik.

Berdasarkan pengalaman saya mengikuti program WAN IFRA dalam 10 tahun terakhir, solusinya masih sama. Setidaknya ada tiga strategi yang patut diperhatikan. Pertama, cermati perilaku kaum muda. Melayani kebutuhan kaum muda melalui koran adalah investasi karena mereka adalah pembaca masa depan koran.

Kultur membaca pada masa depan tidak akan sama lagi. Itulah yang sekarang terjadi. Cara dan kultur kaum muda sebagai generasi mendatang tak lagi sama dalam mengonsumsi berita dan informasi. Kids zaman now tak lagi membaca koran, setidaknya tidak membaca dengan cara lama.

Advertisement

Selanjutnya adalah: Mereka mengonsumsi informasi sebagai komoditas gratis

Komoditas Gratis

Mereka mengonsumsi informasi sebagai komoditas gratis di Internet dan mereka temukan di jaringan pertemanan di media sosial. Kedua, fokus pada niche atau ceruk pasar. Pembaca sebagai stakeholders utama koran akan bersedia membayar demi nilai unik yang terkandung dalam komoditas.

Lihatlah The Economist yang fokus pada niche market seputar ekonomi dan bisnis serta berhasil membangun reputasi. Di Indonesia kita mengenal Bisnis Indonesia. Ketiga, fokus pada user experience.

Inovasi teknologi media memunculkan persaingan yang mengakibatkan perkembangan teknologi komunikasi dan informasi. Begitu pula dengan koran yang mencapai puncak masa kejayaan dari sejak ada ilmu pengetahuan seputar jurnalistik.

Advertisement

Selama 35 tahun menjadi praktisi pers, kekhawatiran yang berulang setiap tahun itu sebenarnya tak perlu menjadikan risau. Nyatanya para pelaku dan pembaca tetap yakin industri media cetak masih prospektif. Lihat saja, banyak orang yang tak bisa meninggalkan kebiasaan mereka membaca koran.

Bukan hanya generasi tua, kaum muda pun ada yang demikian. Joni Tjeng, misalnya, profesional di Tri Putra Group, yang baru berusia 30-an tetap berlangganan koran. “Kasihan lopernya sudah mengantar, nanti kalau saya berhenti berlangganan bagaimana nasib mereka?”

Selanjutnya adalah: Pada saatnya nanti akan semakin sedikit

Semakin Sedikit

Sikap kaum muda seperti Joni tidak sedikit meskipun pada saatnya nanti akan makin sedikit. Realitas itulah yang harus dicermati oleh manajemen yang mengelola koran. Dari berbagai diskusi, menyikapi dunia cetak koran hendaknya harus mereposisi nilai dan model bisnis.

Misalnya, mengubah target meningkatkan oplah koran cetak menjadi lebih fokus menaikkan jumlah pelanggan e-paper. Harus diakui bahwa dalam lima tahun terakhir kenaikan pelanggan e-paper cukup signifikan, bahkan hingga mencapai ratusan persen. Bandingkan dengan penurunan oplah media cetak yang hanya puluhan  persen.

Para jurnalis senior menegaskan bahwa jurnalisme surat kabar bukan jurnalisme Internet. Teknologi itu mudah, namun jurnalisme itu keras. Dari diskusi di Lembaga Pers dr. Soetomo (LPDS) pekan lalu, jawaban untuk itu adalah penguasaan teknologi dan pendidikan jurnalistik yang berkualitas akan membuat kids zaman now tetap membaca koran.

Sebenarnya yang lebih signifikan yang perlu dibahas adalah soal kualitas sumber daya manusia pers dan kesejahteraan mereka. Soal oplah turun itu hukum alam, sunatullah, dan solusinya sudah diketahui, tinggal bagaimana manajemen pers menerapkannya dalam perusahaan masing-masing. Do it!

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif