Entertainment
Sabtu, 24 Februari 2018 - 15:15 WIB

Ke Solo Putu Wijaya Bicara Masa Depan Teater Indonesia

Redaksi Solopos.com  /  Farida Trisnaningtyas  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Putu Wijaya, 73, (kanan), saat mengisi diskusi teater dalam serangkaian deklarasi Lesehan Teater Kampus Soloraya (Letkas), di Pendapa Wisma Seni Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT), Jumat (23/2/2018). (Ika Yuniati/JIBI/SOLOPOS)

Putu Wijaya bicara teater Indonesia.

Solopos.com, SOLO—Sastrawan serba bisa Putu Wijaya, 73, mengisi deklarasi Lesehan Teater Kampus Soloraya (Letkas), di Pendapa Wisma Seni Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT), Jumat (23/2/2018).

Advertisement

Di hadapan puluhan pegiat teater Soloraya ia bercerita banyak hal. Diawali dari kenangannya soal teater Indonesia saat masih muda hingga sekarang.

Putu paling terkesan dengan pernyataan mendiang Presiden Indonesia Keempat Abdurrahman Wahid atau Gusdur. Saat menjawab pertanyaan seorang anak muda, Gusdur menyatakan berteater itu bukan belajar pura-pura.

Advertisement

Putu paling terkesan dengan pernyataan mendiang Presiden Indonesia Keempat Abdurrahman Wahid atau Gusdur. Saat menjawab pertanyaan seorang anak muda, Gusdur menyatakan berteater itu bukan belajar pura-pura.

Teater adalah usaha bersungguh-sungguh untuk menampilkan pribadi lain di luar pribadi kita. Dan itu disebut hal mulia untuk anak muda karena berarti dia telah berusaha memahami orang lain.

“Lalu saya mengerti iya ya. Kita tidak berpura-pura. Itu warisan Gus Dur yang sangat berarti bagi saya. Dramaturgi barat mengatakan teater adalah representasi kehidupan. Tapi itu dulu. Sekarang teater adalah refleksi kehidupan. Refleksi itu bentuknya berbeda-beda,” kata Putu.

Advertisement

Kethoprak misalnya, di beberapa segmen penonton ikut menimpali. Akhirnya menonton teater tradisi menjadi peristiwa spiritual.

Berbeda dengan dramaturgi Eropa yang cenderung jaga jarak dengan apresiatornya. Pentas teater seolah hanya menjadi milik sang pemain. Tak ada yang boleh ikut campur, apalagi menimpali.

“Kalau baca dramaturgi Barat, penonton kayak dibunuh. Enggak dianggap. Ketawa enggak boleh, apalagi memotret. Formal, terpisah penonton dan pemain tidak boleh ikut campur,” kata Putu.

Advertisement

Untuk itu dalam kesempatan tersebut Putu mengatakan sudah waktunya pegiat teater Indonesia belajar melepaskan diri dari referensi dramaturgi Barat. Kemudian menempatkan posisi setara antara Timur, Barat, dan lainnya. Kecuali memang dalam keadaan mendesak dan harus memilih referensi Barat.

Seusai acara Putu mengatakan masa depan teater tradisi maupun modern di Indonesia sangat suram. Pasar mereka belum terbentuk dengan baik.

Terlebih seniman teater bukanlah pilihan profesi yang tepat sebagai satu-satunya sumber penghidupan. Posisinya masih mendompleng bentuk seni hiburan yang lain.

Advertisement

Akan tetapi, Putu menyemangati anak muda untuk tetap survive dengan kondisi saat ini. Kalau tidak ada yang bertahan, generasi ke depan akan kehilangan jejak seni pertunjukkan di Indonesia.

“Kalau mau mengabdi untuk teater sepenuhnya jangan dulu. Minimal juga punya sumber penghidupan yang lebih layak. Tapi sekarang ini ada juga usaha televisi-televisi untuk membangkitkan kembali teater Indonesia di ranah yang lebih luas,” terangnya.

Salah satu penyelenggara Dinda Srihemas Tamara mengatakan acara ini sebagai bentuk deklarasi komunitas baru mereka yang mewadahi teater kampus se-Soloraya.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif