News
Jumat, 23 Februari 2018 - 22:00 WIB

Kecolongan, Jokowi Diminta Tanggung Jawab Soal UU MD3

Redaksi Solopos.com  /  Adib Muttaqin Asfar  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Menkum HAM Yasonna Laoly bersiap menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Senin (3/7/2017). (JIBI/Solopos/Antara/Hafidz Mubarak A)

Presiden Jokowi dinilai kecolongan terkait penetapan revisi UU MD3.

Solopos.com, JAKARTA — Presiden Jokowi diminta menegur keras Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkum HAM) Yasonna Laoly karena tidak melaporkan materi UU MD3 yang dianggap menghambat demokrasi.

Advertisement

Agung Sulistyo, peneliti hukum sekaligus Deputi Direktur PARA Syndicate, mengatakan bahwa kesalahan Yasonna Laoly adalah tidak melaporkan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengenai beragam pasal kontroversial dalam Undang-undang MPR DPR DPD dan DPRD (UU MD3).

“Ada apa ini? Jika Presiden tahu sejak awal revisi UU ini bisa berjalan lambat. Mungkin di DPR berpikir biar cacat tidak apa-apa yang penting cepat diparipurnakan,” ungkapnya dalam diskusi di Kantor PARA Syndicate, Jumat (23/2/2018).

Menurutnya, saat ini yang menjadi rujukan dari implementasi UU MD3 adalah Presiden Jokowi. Sikapnya yang enggan menandatangani UU tersebut, kata dia, sebaiknya tidak dilihat sebagai bentuk keraguan atau pencitraan, melainkan bentuk ketegasan dari pemimpin negara bahwa dia berpihak kepada publik.

Advertisement

“Apakah ketegasan itu berhenti sampai di sini, tidak juga. Jokowi harus akui kecolongan, untuk menjaga marwah hukum yang harus mereka pertanggungjawaban. Menkumham memang mewakili pemerintah, tapi Presiden harus tanggung jawab,” tuturnya.

Bentuk pertanggungjawaban tersebut lanjutnya, pertama tidak menandatangani UU. Kedua menegur Menkumham Yasonna Laoly karena dia tidak memainkan peran besar sebagai penjaga rambu dalam pembahasan RUU dan bisa menjadi penyeimbang kekuasaan legislatif.

Dia mengatakan bahwa keengganan Presiden untuk menandatangani UU tersebut merupakan strategi mengulur waktu karena UU tersebut akan berlaku dengan sendirinya 30 hari setelah diputusan dalam rapat paripurna.

Advertisement

Langkah berikut yang bisa diambil oleh Presiden adalah menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) yang isinya membatalkan berbagai pasal yang dianggap kontroversial.

Langkah berikutnya, lanjatnya, pemerintah mengusulkan revisi UU MD3 yang nantinya akan dibahas bersama DPR. Pasalnya, Perppu hanya bersifat sementara meski proses ini memerlukan lobi-lobi politik yang kuat, mengingat hanya dua fraksi saja yang menolak revisi UU MD3, yakni Nasdem dan PPP.

“Yang paling mungkin batalkan ini di MK. Tapi kita juga tahu kondisi MK dengan keberadaan Ketua MK yang kredibilitas diragukan. Sehingga saya psimistis bahwa gugatan ini akan dimenangkan oleh MK,” pungkasnya.

Seperti diketahui, UU MD3 dikritik oleh berbagai kalangan karena dianggap melabrak demokrasi. Pasalnya, DPR berhak melaporkan para pihak yang dianggap merendahkan martabat anggota DPR. Selain itu, anggota DPR tidak dapat langsung diperiksa oleh penegak hukum meski hanya menjadi seorang saksi karena memiliki hak imunitas.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif