Kolom
Kamis, 22 Februari 2018 - 04:00 WIB

GAGASAN : Murid Kencing Berlari, Guru (Honorer) Mati Seorang Diri

Redaksi Solopos.com  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Lardianto Budhi (Istimewa)

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Senin (5/2/2018). Esai ini karya Lardianto Budhi, guru Pendidikan Seni dan Budaya di SMAN 1 Slogohimo, Kabupaten Wonogiri, Provinsi Jawa Tengah. Alamat e-mail penulis adalah s.p.pandamdriyo@gmail.com.

Solopos.com, SOLO–Bambang Ekalaya atau sering disebut Palgunadi adalah teladan seorang murid yang demikian berbakti kepada guru. Alkisah, meskipun ditolak untuk berguru langsung kepada Durna, Bambang Ekalaya dengan segenap rasa bakti dan takzim membuat patung Durna dan berlatih ilmu memanah seorang diri ditengah rimba.

Advertisement

Lardianto Budhi (Istimewa).

Selama belajar autodidak itu ia merasa dibimbing langsung oleh Durna hanya melalui patung yang dia buat sendiri. Melalui bimbingan guru imajiner Durna itu, Bambang Ekalaya mampu mengalahkan Arjuna, murid kesayangan Durna sesungguhnya.

Kisah Ekalaya berakhir tragis karena menuruti permintaan Durna, guru yang dia kagumi itu. Ia diminta memotong ibu jari tangan kanannya sendiri untuk membuktikan kesungguhan menjadi murid Durna.

Advertisement

Kisah Bambang Ekalaya mengandung pesan bahwa modal penting setiap murid untuk menyerap ilmu pengetahuan di samping motivasi yang kuat untuk mencari ilmu adalah sikap ngabekti dan rasa hormat kepada guru.

Dari kisah wayang pula kita mengetahui bahwa kepatuhan dan penghormatan Bratasena terhadap guru yang mengantarkan dia bertemu dengan Dewa Ruci, ilmu kesejatian hidup. Begawan Durna meminta Bratasena mencari kayu gung susuhing angin agar ia menguasai ilmu kasampurnan.

Maksud Durna menyuruh Bratasena menemukan kayu gung susuhing sngin sebenarnya untuk menjerumuskan Bratasena dalam kecelakaan dan kematian. Oleh karena rasa patuh dan rasa hormat yang mendalam Bratasena kepada gurunya, ia menuruti permintaan gurunya meskipun harus menerabas hutan dan membelah keganasan ombak lautan serta menyelam hingga ke dasar samudra.

Bukan kecelakaan dan kematian yang didapatkan Bratasena, tapi justru ia bertemu dengan Dewa Ruci yang merupakan gambaran hati nuraninya sendiri dan mendapat inti ilmu kehidupan.

Advertisement

Dua ringkasan cerita yang bersumber dari kisah klasik pewayangan ini menyiratkan pesan betapa pentingnya penghormatan kepada seorang guru. Di Jawa Timur ada kabar Ahmad Budi Cahyono, seorang guru honorer (guru tidak tetap) SMA N 1 Torjun, Kabupaten Sampang, Madura, meninggal dunia.

Selanjutnya adalah: Ia meninggal tidak wajar yang berawal dari insiden

Insiden

Advertisement

Ia meninggal tidak wajar yang berawal dari insiden di dalam kelas karena menegur salah seorang siswa yang mengganggu suasana pembelajaran. Guru muda yang mengajar mata pelajaran Seni Rupa itu mengembuskan napas terakhir setelah dirawat di rumah sakit.

Kabar yang beredar menyatakan Ahmad Budi Cahyono meninggal karena dianiaya oleh seorang murid yang tidak terima karena ditegur. Ia meninggal dunia meninggalkan seorang istri yang sedang mengandung janin berumur empat bulan hasil buah cinta mereka.

Peristiwa ini menimbulkan keprihatinan masyarakat di tengah berbagai macam persoalan pendidikan yang belum semuanya terselesaikan. Tragedi yang menimpa Ahmad Budi Cahyono menambah deretan cerita buram tentang nasib guru, terkhususnya guru honorer.

Mantan menteri sosial Khofifah Indar Parawansa turut menyampaikan keprihatinan dan ikut urun rembug menyikapi kejadian ini. Guru seharusnya tidak hanya berperan sebagai penyampai ilmu pengetahuan (transfer of knowledge) namun harus berperan dalam proses pembentukan karakter siswa (bulding of character).

Advertisement

Tidak bisa dimungkiri adanya dilema yang dihadapi guru terkait tugas dan fungsi dalam proses pembelajaran di sekolahan. Harapan terwujudnya guru ideal sebagaimana yang diamanatkan undang-undang maupun ekspektasi masyarakat terhadap guru sebagai sosok yang harus selalu bisa digugu lan ditiru pada kenyataannya sering mengalami problem yang tidak sederhana.

Sebagaimana manusia pada umumnya dari berbagai bidang profesi di luar bidang pendidikan, guru tetaplah seorang manusia. Realitas yang terjadi selama penyampaian materi pembelajaran di ruang-ruang kelas senyatanya menghadapi tantangan yang cukup rumit.

Tantangan itu tidak sekadar menyangkut metodologi pembelajaran atau penyusunan rancangan pembelajaran, ketersediaan sarana dan prasarana, serta hal-hal teknis lainnya. Pengelolaan kelas untuk mendapatkan situasi yang kondusif bagi berlangsungnya proses pembelajaran merupakan satu aspek tersendiri yang menuntut kecakapan dan kesabaran guru.

Gejala perilaku negatif generasi muda usia sekolah sebagai dampak dari perubahan nilai-nilai budaya seperti rendahnya rasa hormat terhadap orang tua, lunturnya empati, disorientasi diri, dan lain sebagainya menjadi faktor penting yang ikut memengaruhi suasana proses pembelajaran di kelas.

Selanjutnya adalah: Guru menghadapi buah simalakama ketika mendapati siswa

Advertisement

Buah Simalakama

Pada kasus ini, guru menghadapi buah simalakama ketika mendapati siswa yang menunjukkan sikap atau ulah berlebihan yang mengganggu ketertiban kelas yaitu terus membentangkan usus kesabaran atau mengambil tindakan agak ”tegas” dan ”keras”.

Pilihan kedua agaknya terlalu sulit untuk diambil pada masa sekarang ini. Guru mau tidak mau harus mengambil posisi ”aman” dengan menghindari mengambil tindakan yang rawan dengan tuduhan kekerasan. Kisah seorang guru yang terpaksa menghadapi tuntutan hukum karena mencubit siswa beberapa waktu yang lalu memperlihatkan bukti posisi dilematis guru.

Kisah terjadinya kekerasan di sekolahan hanya satu dari sekian banyak masalah pendidikan. Tidak mungkin menyelesaikan permasalahan pendidikan dan peserta didik dengan meletakkan tanggung jawab pada institusi sekolah formal saja.

Anggapan yang berkembang selama ini menunjukkan seolah-olah sekolah formal adalah institusi paling menentukan keberhasilan pendidikan. Kita semua barangkali sepakat pendidikan bukan hanya berurusan dengan penguasaan ketrampilan, pengetahuan, atau teknologi.

Lebih penting dari itu pendidikan adalah proses panjang pembentukan karakter dan watak seseorang. Membangun pendidikan adalah membangun mutu peradaban masyarakat. Sekolahan bukan satu-satunya tempat berlangsungnya pembentukan watak dan kepribadian seseorang, apalagi bila ternyata lembaga pendidikan formal mendegradasi posisi hanya sebagai pabrik ijazah dan produsen formalisme.

Pranata sosial, lingkungan tempat tinggal, tempat kursus, kegiatan ekstrakurikuler, karang taruna, dan berbagai kelompok generasi muda tertentu sebagai institusi pendidikan nonformal kembali mengambil posisi penting.

Begitu juga keberadaan media massa, nasihat-nasihat orang tua, teladan orang-orang terdekat, atau petuah para bijak sebagai media pendidikan informal sangat mendesak untuk turut berperan lebih besar dalam proses penyelenggaraan pendidikan.

Peristiwa meninggalnya Ahmad Budi Cahyono ini semoga menjadi titik balik untuk memperbarui konsep dan sikap kita bersama tentang pentingnya institusi sekolah informal dan sekolah nonformal yang selama ini barangkali terlupakan. Jangan lagi muncul kisah sebagai pelesetan pepatah ”murid kencing berlari, guru (honorer) mati seorang diri”.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif