News
Selasa, 13 Februari 2018 - 18:04 WIB

Tak Sanggup Biayai Saksi Rp30 Miliar, Tifatul Ogah Ikut Pilkada Sumut

Redaksi Solopos.com  /  Adib Muttaqin Asfar  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Tifatul Sembiring saat masih menjabat Menteri Komunikasi dan Informatika (Wahyu Darmawan/JIBI/Bisnis)

Absen di Pilkada Sumut, Tifatul Sembiring blak-blakan tentang biaya mahal. Untuk saksi saja, calon bisa habiskan Rp30 miliar.

Solopos.com, JAKARTA — Mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang juga mantan Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring sebenarnya masuk radar partainya sebagai sosok potensial bakal calon Gubernur Sumatra Utara. Namun, nyatanya partainya mengusung nama lain.

Advertisement

Walaupun lahir di Sumatra Barat, marga Sembiring di belakang namanya mengindikasikan Tifatul berdarah suku Batak Karo asal Sumut. Dia pun menggenggam kursi DPR periode 2014-2019 dari Daerah Pemilihan Sumut I.

Sebagai kader senior, Tifatul menjadi harapan PKS mencetak hattrick di Sumut setelah partai itu menang saat Pilkada Sumut 2008 dan 2013. Kasus yang menimpa kadernya, Gatot Pujo Nugroho, tidak menyurutkan keinginan Partai Dakwah menguasai provinsi tergemuk di Sumatra itu.

Advertisement

Sebagai kader senior, Tifatul menjadi harapan PKS mencetak hattrick di Sumut setelah partai itu menang saat Pilkada Sumut 2008 dan 2013. Kasus yang menimpa kadernya, Gatot Pujo Nugroho, tidak menyurutkan keinginan Partai Dakwah menguasai provinsi tergemuk di Sumatra itu.

Sayangnya, tidak ada nama Tifatul ketika PKS mengumumkan nama jagoannya pada 27 Desember 2017. Partai itu bersama-sama dengan Partai Gerindra dan Partai Amanat Nasional memilih pasangan Edy Rahmayadi dan Musa Rajekshah. Keduanya bukan kader PKS.

Usut punya usut, terpentalnya nama Tifatul rupanya karena keinginan dia sendiri. Mantan Presiden PKS ini ciut nyali tatkala mengetahui kebutuhan dana mengarungi Pilgub Sumut 2018.

Advertisement

Tifatul memahami betul ongkos kontestasi pilkada. Lima tahun menjadi Presiden PKS membuat dia dekat dengan soal-soal pencalonan kepala daerah. Contoh paling sahih adalah di Jawa Timur.

Di provinsi itu, terdapat sekurang-kurangnya 75.000 tempat pemungutan suara (TPS). Guna mengamankan suara, setiap kontestan paling tidak membutuhkan 2 orang saksi untuk menjaga lokasi selama 2 hari.

“Kalikan saja 75.000 TPS dengan 2 orang saksi selama 2 hari. Kalau per saksi Rp100.000 per hari maka totalnya bisa Rp30 miliar,” ujar Tifatul.

Advertisement

Di Jatim ada 38 kabupaten dan kota dengan jumlah pemilih 31 juta orang. Sebagai pembanding, Sumut memiliki 33 kabupaten dan kota dengan pemilih 10 juta jiwa dan sekitar 27.000 TPS. Artinya, kontestan butuh Rp10 miliar untuk membayar saksi di Sumut.

Itu baru biaya untuk membayar para saksi saat pencoblosan. Duit lebih besar tersedot untuk sosialisasi, kampanye, lembaga survei, dan pengeluaran lainnya.

Setelah mengkalkulasi, Tifatul pun mengurungkan niat mengejar posisi Sumut-1 atau Sumut-2. Apalagi, pengeluaran jumbo itu tidak mungkin impas selama 5 tahun masa jabatan. “Maju pilkada itu tak bisa bual kosong belaka. Di samping popularitas dan elektabilitas, ada isi tas juga,” katanya.

Advertisement

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif