News
Selasa, 13 Februari 2018 - 10:20 WIB

PENYERANGAN GEREJA : Kepolisian Disarankan Gandeng IDI Periksa Kejiwaan Pelaku

Redaksi Solopos.com  /  Kusnul Istiqomah  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Sejumlah jemaat membersihkan Gereja Santa Lidwina, Bedog, Trihanggo, Gamping, Sleman, Senin (12/02/2018). (Harian Jogja/Desi Suryanto)

Keterangan dari IDI itulah yang bisa menjamin objektif dan independensi dari hasil pemeriksaan

Harianjogja.com, SLEMAN-Pakar hukum pidana menyarankan kepada kepolisian untuk menggandeng Ikatan Dokter Indonesia (IDI) jika akan melakukan pemeriksaan kejiwaan terhadap pelaku penyerangan gereja agar hasilnya independen. Pemeriksaan kejiwaan diperlukan di tengah situasi politik yang tidak menentu sekaligus untuk menanggapi isu yang berkembang di tengah masyarakat.

Advertisement

Pakar Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Prof. Mudzakir menjelaskan, terkait tindakan terhadap orang yang sedang beribadah itu ada aturannya sendiri, namanya tindak pidana terhadap orang yang sedang menjalankan ibadah dan telah diatur dalam hukumnya secara lengkap. Jika pelakunya normal maka dapat dikenakam hukuman sesuai yang berlaku dengan pasal menghalang-halangi orang yang sedang menjalankan ibadah.

Namun, jika pelakunya sesuai dengan identifikasi psikiater dinyatakan gila harus dilihat tingkat keparahan gangguan jiwa tersebut terutama dalam menganggu orang yang sedang beribadah. Karena tindakan orang gila biasanya tidak terstruktur dengan melakukan tindakan kapan saja tanpa harus menunggu seseorang atau kelompok melakukan ibadah.

“Tidak dalam konteks sedang beribadah, kalau benar-benar gila kan tidak tahu waktu harusnya. Kenapa melakukan saat orang sedang beribadah ini menjadi pertanyaan,” tegasnya, Senin (12/2/2018).

Advertisement

Mengingat situasi politik saat ini tidak menentu, ia menyarankan penyidik akan melakukan pemerikaan kejiwaan kepada pelaku sebaiknya jangan menggunakan psikiater yang biasa. Melainkan diserahkan langsung kepada institusi profesi dalam hal ini Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang membawahi paikiater dengan memberikan kewenangan kepasa organisasi tersebut untuk membentuk tim pemeriksaan.

“Keterangan dari IDI itulah yang bisa menjamin objektif dan independensi dari hasil pemeriksaan itu. Karena setiap ada pelaku penyerangan ibadah seringkali dilabeli gila. Kalau memang IDI memberikan keterangan, barulah menjadi patokan untuk melakukan tindakan hukum yang bersangkutan,” imbuhnya.

Jika terbukti hasil pemerikaan dinyatakan sepenuhnya gila nantinya dapat dimintakan penetapan hakim bahwa yang bersangkutan tidak dapat dimintai pertanggungjawaban. Namun jika setengah-setengah, maka sebaiknya tetap harus diproses ke pengadilan, biarkan hakim. “Kalau gila kambuhan saja tetap harus diproses,” kata dia.

Advertisement

Peneliti Pusat Studi Agama dan Lintas Budaya UGM Samsul Maarif mengatakan, penyerangan aktivitas ibadah di Gereja St LIdwina, Gamping, Sleman harusnya tidak bisa ditoleransi lagi. Karena telah melampaui batas ajaran agama yang semestinya harus mempromosikan perdamaian, malah dipakai untuk melegitimasi kekerasan.

“Semua pihak harus meletakkan posisi dan bergandengan tangan untuk secara bersama tidak terprovokasi dan menangani persoalan ini,”

Apalagi, kata dia, ia mengibaratkan Indonesia seperti rumput kering di padang yang luas, jika sedikit saja tersulut akan dengan mudah terbakar jika tidak saling menjaga toleransi satu sama lain. Ia tidak berani menyatakan kasus penyerangan itu paling parah dibandingkan kasus intoleransi di DIY sebelumnya, namun ia menyatakan DIY harusnya sebagai barometer toleransi bagi kota lain di Indonesia.

“Kita [DIY] yang seharusnya menjadi guru toleransi bagi murid-muridnya dalam hal ini kota lain di Indonesia. Tetapi justru kita [DIY] mengajari siswanya dengan tindakan buruk atas adanya peristiwa ini,” kata dia.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif