Kolom
Selasa, 13 Februari 2018 - 06:00 WIB

GAGASAN : Penonton Buku dan Pembaca Film

Redaksi Solopos.com  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Buku dan film (Facebook)

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Sabtu (10/2/2018). Esai ini karya Setyaningsih, esais dan pembimbing anak-anak berbudaya literer. Alamat e-mail penulis adalah langit_abjad@yahoo.com.

Solopos.com, SOLO–Telah difilmkan dan mendapatkan enam nominasi Oscar. Begitu bunyi kalimat di sampul belakang buku biografis Saroo Brierley berjudul Lion, A Long Way Home (2017). Saya tidak sengaja mendapatkan buku ini dari penerbit Gramedia sebagai ganjaran meresensi buku beberapa waktu lalu.

Advertisement

Sebelumnya, saya beberapa kali memegang, melihat, membolak-balik, dan membaca sinopsis di toko buku. Berhasrat memiliki yang tidak kunjung kesampaian, tapi tentu bukan karena bunyi pernyataan provokatif ”difilmkan” atau ”enam calon penghargaan”.

Tidak juga karena gambar Dev Patel di sampul depan, komentar singkat dan padat dari redaksi The New York Post, dan kesimpulan gegabah dari penerbit yang memasukkan buku itu dalam kategori self-improvemen/inspiration. Ini lebih sebuah hasrat membaca cerita-cerita ingatan dan kehilangan, melanglang ke sebuah tempat bersama anak-anak yang bertahan mengingat.

Film telah menjadi media kolaborator buku, bahkan peran film bisa sangat melampaui dan begitu mudah menenggelamkan buku. Belakangan ini kita sadar siapa yang tiba-tiba menyusup dalam jagat sinematografis Indonesia dan mengaku-ngaku sebagai Dilan: Iqbaal Ramadhan.

Advertisement

Film Dilan 1990 (Fajar Bustomi dan Pidi Baiq, 2018) adalah kehebohan yang tanpa sadar menenggelamkan buku meski tidak menenggelamkan penulis, Pidi Baiq. Sebelum menjadi film, pembaca karya Pidi Baiq bisa saja menganggap Dilan itu Budi, Rudi, Irfan, Bambang, pacar saat sekolah, tetangga, kakak kelas, atau seorang lelaki dekil di suatu tempat di suatu masa seperti yang tertuang di sampul buku itu.

Begitu film digarap, jemaah pembaca dan bukan pembaca diajak sepakat bahwa Dilan adalah Iqbaal dengan bayang-bayang jutaan penggemar CJR alias Coboy Junior kala masih jaya. Kita baca saja pengakuan Dilan, eh… Iqbaal, di tabloid Nyata edisi Januari 2018 yang—menurut saya–cukup mengerikan secara psikologis.

Iqbaal berusaha kembali ke raga diri seusai menjalani shooting. “Hampir sebulan penuh saya jadi Dilan. Makan, mandi, atau lagi ngapain saya memainkan karakter Dilan. Tapi, setelah itu saya harus kembali menjadi Iqbaal lagi. Yang tahu Iqbaal dari awal pasti bisa bedain mana Dilan,” kata Iqbaal.

Selanjutnya adalah: Tampak bahwa yang dipermainkan oleh perpaduan, pertarungan

Advertisement

Dipermainkan

Di sini tampak bahwa yang dipermainkan oleh perpaduan, pertarungan, dan persekutuan Dilan-Iqbaal bukan hanya para penggemar atau orang-orang terdekat, tapi juga Iqbaal yang bisa saja tidak terlalu yakin bahwa dirinya memang Iqbaal. Ada pernyataan lebih ambigu yang menjadi kelanjutan bahwa penonton film akhirnya benar-benar terputus dari buku.

Ini tampak dari tuntutan kepada Iqbaal Ramadhan dan Vanesha Priscilla, pemeran Milea, agar ”sungguh-sungguh” saling mencintai demi kepentingan acting. Kita pasti bisa memprediksi kemunculan dugaan cinta lokasi atau cinta sungguhan antara Iqbaal dan Vanesha. Kita sungguh belum selesai dengan kisah cinta Dilan dan Milea dalam novel.

Advertisement

Film yang baru saja digarap dan ditayangkan akhirnya juga harus pamit dari ruang publik. Kita diajak lekas-lekas menghadapi gosip seputar percintaan Iqbaal dan Vanesha di dunia nyata. Vanesha mengatakan,”Rasa itu pasti ada, karena proses shooting jadi Milea dan Dilan. Memang kita harus mencintai dan ikutin alurnya aja sih kalau aku.”

Gosip semacam ini jelas akan laris dan cepat disantap publik daripada novel yang dicetak ulang, laku keras, dan diobrolkan. Di mana novel Dilan 1990 ditenggelamkan? Pada awalnya yang saling jatuh cinta dan melempar gombalan dengan rasa kasih memang Dilan dan Milea, tapi lekas digantikan Iqbaal dan Vanesha.

Orang-orang tidak perlu menonton Dilan dan Milea dalam buku, lebih baik membaca Iqbaal di dunia nyata. Dengan demikian kita tidak pernah menyesali diri sebagai pembaca novel yang difilmkan karena predikat calon pembaca memang tidak termiliki. Menonton telah menyelesaikan predikat sebelum sah sebagai pembaca.

Apalah arti para pembaca novel Dilan dibandingkan dengan penonton film yang berjubel-jubel. Ingat, baru tayang perdana pada 25 Januari 2018 Dilan sudah mengumpulkan 225.000 penonton di hadapan 389 layar bioskop di seluruh Indonesia sebagai ”pengkhiatan novel” (Solopos, 29 Januari 2018).

Advertisement

Selanjutnya adalah: Para pembaca novel dan penikmat film, terutama di Solo

Pembaca Novel

Pada awal tahun ini, para pembaca novel dan penikmat film, terutama di Solo, juga mengalami peristiwa tidak kalah heboh. Acara obrolan buku Laut Bercerita (2017) garapan Leila S. Chudori di Balai Soedjatmoko pada 27 Januari 2018 berhasil mendatangkan massa yang banyak.

Itu adalah peristiwa langka. Balai Soedjatmoko penuh luar dalam. Penuh! Selama saya beracara di Balai Soedjatmoko, inilah massa terbanyak yang menyimak acara bedah buku meski penulis tetap jadi selebritas utama daripada buku.

Kedatangan Leila S. Chudori menjadi jaminan kepercayaan pembaca novel, sosialita acara sastra, calon pembaca, atau orang yang ingin sekadar kepo merasa berakhir pekan di kompleks toko buku.

Advertisement

Tentu kita tidak boleh gegabah menuduh bahwa para hadirin tergoda meminta suvenir sekaligus tanda tangan di novel yang setengah rampung dibaca atau sangat ingin menonton film pendek Laut Bercerita tanpa membaca novel.

Seolah-olah Reza Rahardian, Dian Sastrowardoyo, Tio Pakusadewo, atau Ayushita Nugraha menjamin kesuksesan bedah buku. Di Harian Solopos edisi 29 Januari 2018 Leila S. Chudori mengatakan dengan terang dan penuh keyakinan, “Mereka yang hadir dalam acara bedah buku Laut Bercerita mayoritas telah membaca buku itu, jadi bukan karena ingin menonton film pendeknya lalu hadir di acara bedah buku lalu membeli bukunya dan membaca.”

Selanjutnya adalah: Kita harus percaya pernyataan Leila S. Chudori

Pernyataan

Kita harus percaya pernyataan Leila S. Chudori karena jika tidak ada pembaca, tentu tidak ada pembagian buku secara gratis berjudul Khatam Pembacaan(an) Novel (Bandung Mawardi, ed. 2018) yang berisi 13 tulisan ulasan novel Laut Bercerita oleh orang-orang yang menjadi pembeli, pembaca, dan pengulas tanpa pamrih tanda tangan penulis.

Buku kecil ini tidak kalah keren dan berani daripada novel Laut Bercerita yang diriset sejak 2013. Kita yang sering khusyuk menekuni buku memang sering harus menerima atau terpuruk dalam kekecewaan oleh pengangkatan derajat kata-kata menuju layar visual dan kehebohan setelah itu.

Mata pembaca tidak benar-benar siap menerima kecepatan ”penghilangan” buku. Buku bahkan harus siap segera menghilang setelah ada tulisan ”segera diangkat ke layar lebar” atau ”segera difilmkan”. Tokoh-tokoh tidak berwajah tiba-tiba hidup dalam tubuh orang-orang yang sungguh tidak kita duga dan berekologi di suatu tempat yang ternyata amat jauh dari pembayangan.

Ya, akhirnya saya pun harus menerima Biru Laut (tokoh utama dalam novel Laut Bercerita) itu Reza Rahardian yang ganteng, ganteng, dan lucu dalam versi film pendek visualisasi novel itu, tapi saya tetap tidak terima kalau Anjani (tokoh perempuan aktivis dalam novel Laut Bercerita) itu Dian Sastrowardoyo dalam versi film pendek. Ora trima!

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif