Jateng
Minggu, 11 Februari 2018 - 07:50 WIB

IMLEK 2018 : Ini Bukti Gus Dur Dihormati Masyarakat Tionghoa di Semarang

Redaksi Solopos.com  /  Imam Yuda Saputra  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Papan kayu nisan bertuliskan K.H. Abdurrahman Wahid yang diletakkan di altar di Gedung Saba Dharma. (JIBI/Semarangpos.com/Imam Yuda S.)

Imlek 2018, perayaannya tak bisa dilepaskan dari jasa Presiden ke-4, Abduurrahman Wahid atau Gus Dur.

Semarangpos.com, SEMARANG – Bangunan tua di Gang Pinggir, Kranggan, Semarang, itu tampak ramai, Rabu (7/2/2018) siang. Beberapa orang lanjut usia (lansia) yang tergabung dalam Perkumpulan Sosial Boen Hian Tong atau Rasa Dharma terlihat menggelar aktivitas sosial di gedung yang sudah berdiri sejak 1876 itu.

Advertisement

Seperti layaknya bangunan lain milik masyarakat Tionghoa, gedung yang dikenal dengan nama Gedung Rasa Dharma itu juga terdapat tempat sembahyang di dalamnya. Uniknya, di tempat pemujaan itu terdapat sebuah papan kayu nisan bertuliskan K.H. Abdurrahman Wahid atau yang populer dengan sapaan Gus Dur. Nama K.H. Abdurrahman Wahid di papan kayu nisan itu bahkan ditulis dengan warna emas.

Gedung Saba Dharma di Gang Pinggir, Kranggan, Semarang, menjadi tempat berkumpulnya masyarakat Tionghoa di Semarang. (JIBI/Semarangpos.com/Imam Yuda S.)

Advertisement

Gedung Saba Dharma di Gang Pinggir, Kranggan, Semarang, menjadi tempat berkumpulnya masyarakat Tionghoa di Semarang. (JIBI/Semarangpos.com/Imam Yuda S.)

Seorang pengurus Gedung Rasa Dharma, Lie Rizki Kencana Dewi atau yang akrab disapa Dewi Amor, menyebutkan Gus Dur memang sangat disegani oleh masyarakat Tionghoa, tak terkecuali yang tinggal di Pecinan, Semarang. Peran Presiden ke-4 Indonesia dalam mengakomodasi perayaan Tahun Baru China atau Imlek menjadi hari libur nasional sehingga bisa dirayakan secara terbuka layak diapresiasi.

“Papan nisan di altar pemujaan itu bukan untuk disembah. Hanya sebagai bentuk penghormatan kami pada beliau,” ujar Dewi saat berbincang dengan Semarangpos.com di Gedung Rasa Dharma, Rabu.

Advertisement

Bahkan, saat Rezim Orde Baru itu, Presiden Soeharto melalui Inpres No. 147/1967 melarang segala hal berbau Tionghoa, termasuk Imlek.

Papan kayu nisan bertuliskan K.H. Abdurrahman Wahid yang diletakkan di altar di Gedung Saba Dharma. (JIBI/Semarangpos.com/Imam Yuda S.)

Akan tetapi, semua berubah saat Gus Dur menjabat sebagai presiden. Inpers No. 147/1967 itu dicabut pada tahun 1999 dan membuat masyarakat Tionghoa di Indonesia kembali mendapatkan kebebasan merayakan Imlek. Berbagai kebudayaan Tionghoa, seperti barongsai pun mulai dipertontonkan di depan umum hingga dikenal masyarakat luas.

Advertisement

Dewi menyebutkan Imlek sebenarnya selalu dirayakan masyarakat Tionghoa setiap tahun. Namun di era Orde Baru, perayaan itu digelar secara sembunyi-sembunyi alias tidak terbuka.

“Dulu sebelum Gus Dur jadi presiden, jangankan merayakan Imlek secara terbuka. Pergi ke kelenteng saja kami tidak nyaman. Tapi, sekarang beda. Perayaan Imlek sudah bisa digelar secara terbuka, bahkan tidak hanya dirayakan masyarakat Tionghoa tapi seluruh lapisan masyarakat,” ujar Dewi.

Semenjak dirayakan secara terbuka, masyarakat Tionghoa di Semarang pun selalu menggelar Imlek secara meriah. Tak hanya menghiasi rumahnya dengan berbagai lampion, mereka bahkan menggelar semacam perayaan saat Imlek.

Advertisement

Perayaan Imlek di Semarang setiap tahunnya biasanya ditandai dengan acara Pasar Semawis yang digelar di sepanjang Jl. Wot Gandul-Gang Pinggi, mulai 14-16 Februari 2018.

KLIK dan LIKE di sini untuk lebih banyak berita Semarang Raya

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif