Kolom
Sabtu, 10 Februari 2018 - 04:00 WIB

GAGASAN : Demitologi Jurnal Internasional

Redaksi Solopos.com  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Nur Fatah Abidin (Istimewa)

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Rabu (24/01/2018). Esai ini karya Nur Fatah Abidin, alumnus program pascasarjana Universitas Sebelas Maret. Alamat e-mail penulis adalah ikbenfatah@gmail.com.

Solopos.com, SOLO–Belakangan ini dunia pendidikan tinggi Indonesia terguncang seiring penerapan Peraturan Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Nomor 44 Tahun 2015 dan Nomor 20 Tahun 2017.

Advertisement

Peraturan tersebut mewajibkan dosen dengan jabatan lektor kepala menghasilkan satu publikasi di jurnal internasional. Seorang profesor wajib menghasilkan satu publikasi di jurnal internasional bereputasi dalam jangka waktu tiga tahun.

Mahasiswa minimal wajib memublikasikan hasil penelitian di jurnal internasional sebagai syarat kelulusan. Kewajiban ini disertai sanksi pemberhentian tunjangan profesi atau ketidaklulusan. Kewajiban ini mengundang polemik dari akademisi, baik di mimbar akademik maupun di ruang publik.

Harian Solopos telah memuat dua esai terkait masalah ini yaitu Intelek Banal Kampus Milenial tulisan Adi Putra Surya Wardhana (Solopos edisi 9 Desember 2017) dan Kanibalisasi Akademis tulisan Abdul Gaffar (Solopos edisi 11 Januari 2018). Dua esai itu mengkritik objek yang sama yaitu kriteria jurnal bereputasi, kapitalisme global, dan bobroknya nalar akademisi.

Dalam aspek tertentu saya sepakat dengan kedua esai tersebut, tetapi dari segi prespektif dan idealisasi, saya memiliki pandangan yang berbeda. Hemat saya, saat ini pendidikan Indonesia sedang berada di periode krusial, yaitu fase ketika Indonesia semakin terintegrasi dalam komunitas keilmuan global yang kapitalistis.

Selanjutnya adalah: Fase ini tidak dapat dihindari dan bergantung pada peran

Bergantung pada Peran

Advertisement

Fase ini tidak dapat dihindari dan bergantung pada peran akademisi dan lembaga pendidikan tinggi menyikapi, khususnya perihal kapitalisme global dan pandangan terhadap itu. Anggapan bahwa lembaga pemeringkat internasional adalah bagian dari kapitalisme global benar adanya.

Lembaga pemeringkat yang diacu Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi untuk menetapkan kriteria bereputasi, yaitu Scopus, Thomson Reuters, dan Index Copernicus Internasional, secara historis adalah mutasi kapitalisme buah revolusi mesin cetak yang berkembang sejak abad ke-15 di Eropa.

Scopus secara genealogis berakar dari dua penerbit kawakan Eropa, NV Uitgeversmaatshappij Elsevier (1880) dan Reed Group (1895). Pada 1990-an, dua penerbit ini bergabung dalam RELX Group. Elsevier kemudian meluncurkan Scopus pada 2004 sebagai basis data abstrak dan sitasi artikel jurnal dan proseding berskala global.

Pada 2007, Scopus memperkuat diri dengan meluncurkan SCImago Journal and Country Rank (SCImago JR) sebagai lembaga pemeringkat basis data milik Scopus. Hingga kini Scopus telah menjadi lembaga pemeringkat bereputasi global dan diakui di segala penjuru dunia

Akar historis dan mekanisme perkembangan ini tidak hanya dimiliki Elsevier dan Scopus, tetapi juga penerbit besar lain seperti Sage Publications, Taylor & Francis, Springer, dan Wiley-Blackwell. Hasilnya adalah penerbit-penerbit tersebut berhasil membangun struktur kapitalisme media cetak modern berskala global.

Struktur ini bermutasi secara masif dan tidak hanya dihuni oleh penerbit kelas kakap. Dalam struktur ini terdapat penulis, penerbit, jasa penyuntingan dan konsultan naskah, dan komponen lain dari tingkat lokal hingga internasional yang turut ambil bagian dalam perputaran kapital.

Selanjutnya adalah: Di manakah posisi Indonesia?

Advertisement

Posisi

Lantas di manakah posisi Indonesia dalam struktur tersebut? Basis data SCImago JR pada 2016 melingkupi 28.606 penerbit jurnal dan 27 di antaranya berasal dari Indonesia. Dalam pemeringkatan negara, Indonesia berada di urutan ke-11 dari 33 negara Asia dan peringkat ke-55 dari 239 negara di seluruh dunia.

Keberadaan kapitalisme media cetak modern berskala global ini sudah menjadi rahasia umum. Pertanyaannya adalah bagaimana akademisi Indonesia menanggapi kewajiban publikasi dan kesadaran ada hegemoni struktur kapitalisme ini?

Boikot adalah pengucilan diri dan menjadi langkah mustahil pada era globalisasi. Saya cenderung mengharapkan akademisi Indonesia menjadi lebih kuat. Sejarah menunjukkan bahwa struktur kapitalis tidak selalu destruktif.

Kajian Joel Mokyr (2016) berjudul A Culture of Growth: Origins of The Modern Economy menunjukkan salah satu faktor penopang kemajuan Eropa saat ini adalah struktur kapitalisme cetak yang menjadi saluran diseminasi ide ilmuwan Eropa dari abad ke-17 hingga kini.

Pengalaman historis ini merefleksikan efek konstruktif dari struktur kapitalisme cetak. Akademisi Indonesia seharusnya dapat menggunakan struktur tersebut untuk membangun reputasi dan jaringan di tingkat global.

Advertisement

Arus diseminasi pengetahuan dan ide dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kompetensi dan basis inovasi penelitian yang relevan dengan konteks keindonesiaan.

Selanjutnya adalah: Asumsi publikasi di jurnal internasional

Jurnal Internasional

Asumsi bahwa publikasi di jurnal internasional berlawanan dengan tujuan kemaslahatan masyarakat patut dipertanyakan. Jurnal adalah bagian dari diseminasi penelitian dan pengembangan aspek teoretis.

Kesejahteraan masyarakat adalah hasil dari keberhasilan penerapan penelitian. Publikasi internasional dan kemaslahatan masyarakat dapat berjalan beriringan dan tidak ada alasan untuk memperdebatkan keduanya.

Untuk menjadi kuat di arena kapitalisme global diperlukan penguatan dari dalam, salah satunya dalam bentuk kolaborasi akademisi lintas generasi. Sayangnya, salah satu kelemahan akademisi dewasa ini adalah kurangnya tradisi peer review dan keengganan untuk terjun dalam komunitas keilmuan global.

Advertisement

Saya cenderung melihat dua fenomena tersebut sebagai privatisasi pengetahuan yang menggejala ketika dunia pendidikan tinggi di Indonesia sedang mengintegrasikan diri ke dalam komunitas keilmuan global.

Privatisasi dapat diartikan sebagai sifat akademis egoistis yang menganggap pengetahuan sebagai barang pribadi. Sifat ini diikuti dengan penolakan terhadap keberadaan dan kontribusi orang lain dalam proses pengembangan pengetahuan.

Selanjutnya adalah: Privatisasi mengakibatkan akademisi bagaikan hidup

Akademisi

Privatisasi dapat mengakibatkan akademisi bagaikan hidup dalam tempurung, melihat segala tantangan di luar secara skeptis, dan bahkan pada tataran kronis tidak mengetahui perkembangan pesat pengetahuan di tingkat global.

Praktik privatisasi ini dapat ditemukan dengan mudah dalam lingkungan pendidikan tinggi, baik dalam keseharian dosen atau mahasiswa, yaitu ketika komunikasi di antara keduanya tidak dapat berjalan dengan baik.

Advertisement

Ketertutupan ruang diskusi antarakademisi cenderung menghasilkan hasil publikasi penelitian yang kurang berbobot dan hanya dapat diterima di tataran lokal. Oleh karena itu, pada titik yang paling awal, nalar akademis yang perlu dibangun adalah penghilangan hasrat privatisasi pengetahuan dengan cara membangun iklim komunikasi yang sehat pada tingkat paling mikro, yaitu ulasan sejawat, baik antardosen atau antara dosen dan mahasiswa.

Melalui diseminasi ide di tingkat mikro, akademisi Indonesia memiliki kesempatan memperkuat kompetensi mereka untuk terjun dan kemudian mengambil keuntungan dari jaringan keilmuan global.

Opini saya ini tipikal konformis dan utopis, tetapi melihat milieu saat ini, tidak ada jalan selain menjadi kuat dalam struktur kapitalisme global. Tidak mudah, tetapi saya percaya akademisi Indonesia mampu. Rawe-rawe rantas, malang-malang putung!

Advertisement
Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif