Soloraya
Rabu, 7 Februari 2018 - 10:15 WIB

PENATAAN SRIWEDARI: Abaikan Nilai Kebudayaan, Budayawan Sesalkan Kebijakan Pemkot Bangun Masjid di Sriwedari

Redaksi Solopos.com  /  Farida Trisnaningtyas  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Sejumlah tokoh ikut meletakkan batu pertama pembangunan Masjid Taman Sriwedari, Solo, Senin (5/2/2018). (Nicolous Irawan/JIBI/SOLOPOS)

Budayawan Solo kritik sikap Pemkot soal pembangunan masjid di Sriwedari.

Solopos.com, SOLO—Kalangan budayawan angkat bicara soal pembangunan Masjid Taman Sriwedari. Mereka menyesalkan sikap Pemerintah Kota (Pemkot) Solo yang abai pada nilai-nilai kebudayaan dengan tetap mendirikan bangunan masjid di kawasan yang sejak dulu dikenal sebagai Kebon Raja tersebut.

Advertisement

Salah seorang budayawan Solo, Suprapto Suryodarmo, menilai Pemkot Solo tidak bisa menjaga nilai Kota Solo sebagai kota pusaka dunia atau kota yang berjuluk Spirit of Java. Ia mengatakan ingatan masa lalu pada Taman Sriwedari yang hingga kini terpatri sebagai sebuah image Kota Solo akan sirna dengan keberadaan masjid raya. (baca: PENATAAN SRIWEDARI: Potensi Langgar Hukum, Malaka Tolak Rencana Pemkot Solo Bangun Masjid Sriwedari)

“Saya sama sekali tidak menolak pembangunan masjid. Tapi kalau ditempatkan di Sriwedari, saya pikir tidak tepat. Sriwedari adalah image Kota Solo sejak lama,” ujarnya kepada Solopos.com, Selasa (6/2/2018).

Advertisement

“Saya sama sekali tidak menolak pembangunan masjid. Tapi kalau ditempatkan di Sriwedari, saya pikir tidak tepat. Sriwedari adalah image Kota Solo sejak lama,” ujarnya kepada Solopos.com, Selasa (6/2/2018).

Menurut lelaki yang akrab disapa Mbah Prapto itu, membangun image adalah pekerjaan yang tidak mudah. Tak hanya dana, tetapi waktu yang diperlukan juga relatif lama. Jika image Sriwedari berubah, hal itu bakal mengacaukan banyak aspek khususnya dalam kehidupan berkebudayaan.

“Ingat Solo berarti  ingat Sriwedari sebagai Kebon Raja. Di dalamnya terdapat Gedung Wayang Orang (GWO) Sriwedari, Stadion Sriwedari, dan Museum Radya Pustaka. Museum Radya Pustaka sebagai tempat olah pikir. Kebon Raja dengan GWO Sriwedari sebagai tempat olah rasa, dan stadion sebagai tempat olahraga. Ketiganya menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan,” papar lelaki yang lahir di Kemlayan, Kecamatan Serengan tersebut.

Advertisement

“Tempat itu lebih luas dan indah karena berada di tepi Sungai Bengawan Solo yang sudah sangat terkenal,” tutur perintis Padepokan Lemah Putih itu.

Selain itu, ia menyoroti lampion Imlek yang dipasang hingga Bundaran Gladak. Lampion-lampion itu telah melewati Tugu Pamandengan atau tugu titik nol Kota Solo. Hal itu dinilai kurang tepat.

Ia mendapat informasi dari penggagas Grebeg Sudiro bahwa grebeg seharusnya dirayakan di muka Pasar Gede dan menyebar ke arah timur seperti Kampung Balong, Warung Miri  hingga Gedung Perkumpulan Masyarakat Surakarta (PMS).

Advertisement

Hal itu akan “menghidupkan” kawasan timur Pasar Gede yang memang ditinggali oleh warga keturunan Tionghoa. Gemerlap lampion di kawasan timur sekaligus bakal menghidupkan perekonomian masyarakat.

“Kedua kasus ini bisa menjadi dasar-dasar pembahasan di dunia pendidikan dan pemajuan  kebudayaan di Kota Solo sebagai kota budaya. Saya pikir memang perlu ada gerakan moral kebudayaan di masyarakat untuk Indonesia,” kata lelaki yang malang melintang di luar negeri tersebut.

Anggota Dewan Kesenian Solo (DKS) Bedjo Riyanto, mengatakan selama ini kalangan seniman tidak dilibatkan dalam perencanaan pembangunan Masjid Taman Sriwedari. Meski demikian, ia tak terlalu heran karena Pemkot memang acap kali melakukan tindakan semacam itu.

Advertisement

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif