Kolom
Senin, 5 Februari 2018 - 05:00 WIB

GAGASAN : Perempuan pada Tahun Politik

Redaksi Solopos.com  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Tiyas Nur Haryani (Istimewa)

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Kamis (01/02/2018). Esai ini karya Tiyas Nur Haryani, dosen Ilmu Administrasi Negara di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sebelas Maret. Alamat e-mail penulis adalah tiyasnur@gmail.com.

Solopos.com, SOLO–Tahun 2018 menjadi momen pelaksanaan pemilihan kepala daerah langsung di sejumlah daerah. Tahun berikutnya, 2019, adalah momen pemilihan presiden dan wakil presiden serta pemilihan wakil rakyat di DPR, DPRD, dan DPD.

Advertisement

Publik menyebut tahun ini sebagai tahun politik. Wajah para elite dan aktor politik lebih sering muncul di layar televisi, media cetak, serta portal berita dalam jaringan (daring). Iklan-iklan dan lagu mars partai politik berseliweran dan berkumandang di televisi agar semakin akrab di telinga dan ingatan publik.

Baliho dan spanduk berisi wajah para kandidat kepala daerah dan wakil kepala daerah hadir di jalan-jalan guna menyapa masyarakat. Politik acap kali dihubungkan dengan upaya mendapatkan kekuasaan. Cara pandang tersebut telah lama dirumuskan oleh pakar politik Harold Laswell.

Ia menyatakan politik adalah mengenai siapa mendapatkan apa serta kapan dan bagaimana cara mendapatkan. Tak salah jika para kandidat politik berlomba-lomba mendapatkan suara para pemilih. Pada dasarnya setiap individu laki-laki maupun perempuan, kaya atau miskin, selalu bersinggungan dengan politik dalam kehidupan sehari-hari.

Advertisement

Kebijakan publik adalah hasil dari sistem politik dan masyarakat adalah kelompok sasaran dan/atau kelompok penerima manfaat dari sebuah kebijakan publik. Masyarakat adalah penerima dampak dari hasil proses dalam sistem politik.

Kebutuhan dan aspirasi masyarakat adalah bagian dari masukan sistem politik, sedangkan para elite dan aktor politik, baik perempuan maupun laki-laki, adalah aktor penentu keputusan kebijakan publik. Di dalam sistem politik terdapat penduduk perempuan dan laki-laki sebagai entitas yang memiliki perbedaan dan keunikan masing-masing.

Politik awalnya dipandang sebagai sesuatu hal yang maskulin sehingga memandang laki-laki dan perempuan adalah entitas yang tidak sama dalam sebuah kebijakan. Pola pikir tersebut kemudian digeser dengan pandangan arus utama gender dalam pembangunan.

Pembangunan diharapkan dapat memberikan manfaat yang sama kepada penduduk perempuan dan laki-laki sesuai dengan kebutuhan mereka. Partisipasi perempuan di ranah politik menjadi harapan lahirnya kebijakan yang memerhatikan masalah dan kebutuhan perempuan dan anak serta upaya pemenuhan kebutuhan praktis dan strategis sektor gender.

Advertisement

Selanjutnya adalah: Geliat perempuan dalam ranah politik di Indonesia

Ranah Politik

Geliat perempuan dalam politik di Indonesia makin menonjol setelah dikeluarkan kebijakan aksi afirmatif kuota perempuan dalam politik pada 2003. Sebelum itu keterwakilan perempuan dalam politik telah lama diperbincangkan. Kongres Perempuan Indonesia I pada 1928 yang kemudian diperingati sebagai Hari Ibu setiap 22 Desember berupaya memperjuangkan keterwakilan perempuan sebagai anggota dewan perwakilan tingkat kotapraja, kabupaten, dan provinsi.

Advertisement

Tuntutan tersebut akhirnya dipenuhi pemerintah colonial Belanda dengan sistem penunjukan sejumlah tokoh perempuan untuk duduk di kursi dewan perwakilan. Perkembangan lebih lanjut perempuan dalam politik adalah pada pemilihan umum pertama di Indonesia, pada 1955, yang menghasilkan 6% perempuan di Dewan Perwailan Rakyat.

Pada pemilihan umum 1999 terdapat 9% perempuan di parlemen. Setelah pemberlakuan kebijakan aksi afirmasi terdapat 11% perempuan sebagai wakil rakyat hasil pemilihan umum 2004 dan 18% perempuan di parlemen hasil pemilihan umum 2009 yang kemudian turun menjadi 17% pada pemilihan umum 2014.

Kuantitas tersebut masih minim untuk menyuarakan aspirasi pengalaman dan kebutuhan penduduk perempuan dan anak dalam perumusan kebijakan publik. Peluang perempuan di ranah politik masih kecil di tengah politik yang masih seksis.

Pasal 173 UU No. 7/2017 tentang Pemilihan Umum hanya menetapkan kuota 30% bagi keterwakilan perempuan di kepengurusan partai politik tingkat pusat. Undang-undang tersebut tidak lagi menyebutkan keharusan minimal keterwakilan 30% perempuan di tingkat pengurus daerah.

Advertisement

Di arena pemilihan kepala daerah, dari 7% perempuan yang ikut dalam pemilihan kepala daerah pada 2017 sebanyak 2% perempuan calon kepala daerah menang, sedangkan dalam pemilihan kepala daerah 2015 ada 8,7% perempuan yang terpilih.

Selanjutnya adalah: Ada 7,25% perempuan calon kepala daerah

Calon Kepala Daerah

Dalam pemilihan kepala daerah tahun ini, di Komisi Pemilihan Umum (KPU) ada data 7,25% perempuan calon kepala daerah yang mendaftar. Elektabilitas perempuan calon kepala daerah yang masih dinilai rendah menjadi faktor penghambat pencalonan perempuan oleh partai polituk dalam pemilihan kepala daerah 2018.

Di sisi pemilih, ada pemilih perempuan dalam setiap agenda pemilihan umum. Jumlah mereka banyak. Saat ini ada 49,8% jumlah pemepuan pemilih dan 50,2% laki-laki berhak pilih. Pemilihan kepala daerah 2018 dapat menjadi barometer pemilihan umum pada 2019 sebab 80% pemilih akan berpartisipasi dalam pemilihan kepala daerah pada 2018.

Advertisement

Kelompok perempuan pemilih, perempuan yang mempunyai hak memilih, di kota dan desa dapat menjadi faktor penentu kemenangan para kandidat kepala daerah sebab sering kali mereka menjadi kelompok pemilih yang mengambang menjelang masa pemilihan umum.

Kelompok perempuan pemilih menjadi target strategis dalam kampanye para kandidat kepala daerah. Masa kampanye sebetulnya masa yang paling kritis dalam pesta demokrasi. Para kandidat kepala daerah yang berkompetisi menjual ”ideologi” mereka kepada masyarakat lewat program-program yang direncanakan dan/atau ditawarkan kepada para calon pemilih.

Para pemilih akan memilih sesuai dengan ”ideologi” yang mereka yakini.  Permasalahan, kebutuhan, pengalaman, dan aspirasi perempuan seyogianya menjadi bahan masukan dalam penyusunan visi, misi, sasaran, tujuan, dan program kerja para kandidat kepala daerah.

Jika diperhatikan dalam hiruk pikuk tahun politik ini masih bernuansa maskulin dan belum banyak mengetengahkan pemenuhan hak-hak dan kesejahteraan kelompok perempuan, anak, warga lanjut usia, maupun kaum difabel. Di sisi pemilih, khususnya perempuan, perlu peningkatan kapasitas pendidikan politik mereka.

Ini penting agar mereka melek politik terkait apa, siapa, dan bagaimana sesungguhnya politik bekerja untuk kesejahteraan atau untuk kekuasaan. Pendidikan politik yang mengedepankan kesantunan menjadi kebutuhan para pemangku kepentingan dalam politik, baik mereka yang dipilih maupun untuk mereka yang memilih.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif