Kolom
Rabu, 31 Januari 2018 - 06:00 WIB

GAGASAN : Kebon Raja Menggugat

Redaksi Solopos.com  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Heri Priyatmoko (Istimewa)

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Kamis (18/01/2018). Esai ini karya Heri Priyatmoko, dosen Ilmu Sejarah di Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Alamat e-mail penulis adalah heripriyatmoko@usd.ac.id.

Solopos.com, SOLOGolek laras angel kaya larase wong Sala. Tempe bosok disambel tumpang bisa ngogelke ilat” (Soewidji S.H., 1977). Masyarakat Solo dan sekitarnya pada masa lampau begitu bangga dengan Taman Sriwedari alias kebon raja, jamak disebut bonraja dalam tradisi lisan orang Jawa.

Advertisement

Terciptanya ruang publik tersebut pada permulaan abad XX bukan sekadar untuk nglaras dan manusia bertemu sesamanya, tapi juga simbol modernitas. Berbekal perspektif zoologi, pembesar kerajaan menempatkan kebun binatang di lokasi pelesiran di tengah kota tersebut.

Realitas ini memamerkan suatu tanda kemajuan peradaban bahwa manusia mampu menaklukkan dan menjinakkan hewan. Dari kacamata pariwisata perkotaan, Taman Sriwedari merupakan artefak dan sosiofak yang memberi predikat warga Solo segala bangsa (lintas ras) doyan pelesiran.

Fakta ini termaktub dalam Djawi Kanda (17 Agustus 1907) yang menerbitkan berita berjudul Gemar Plesir. Di berita itu adalah paragraf: … semua orang, baik lelaki atau perempuan, plesir itu amat disukai, karena menghibur hati yang lagi capek, susah, dan lainnya. Tiada orang yang amat gemar plesir melebihi orang Solo, baik bangsa apapun, entah ada keramaian ataupun di hari biasa.

Tuturan Yasaharjana pada 1926 menguatkan Sriwedari sebagai idola orang plesiran.  Menawi malem Jumuwah sarta malem Ngahad mawi tetingalan gambar sorot, ringgit tiyang, manawi Ngahad siyang ringgit tiyang inggih main. Ingkang dhateng ningali boten ngemungaken bangsa Jawi kemawon, bangsa Cina, Koja, Jepan, Kaji Arab, Wlanda punapadene bangsa sabrang sanesipun.

Selanjutnya adalah: Tontonan di Sriwedari kala itu mencuri perhatian turis

Perhatian Turis

Advertisement

Tontonan di Sriwedari kala itu mampu mencuri perhatian turis dari Amerika Serikat. Darmo Kondo (29 Januari 1935) memberitakan sepanjang hari pegawai Taman Sriwedari sibuk menyiapkan sambutan untuk kedatangan turis dari luar negeri yang akan merekam wayang orang.

Panitia dan pemain wayang bersiap diri sejak pukul 07.00 WIB. Rombongan turis datang mengendarai auto, lalu bergegas merampungkan misi mereka. Dalam berita itu ada paragraf: Dengan kejadian ini, mudah-mudahan menambah termasyurnya kebudayaan Indonesia, dengan menyangking nama Sriwedari, bukan di Indonesia saja tapi di benua Eropa seluruhnya.

Sebelum orang Amerika Serikat dolan ke Sriwedari, raja Siam bersama istri dan dua anak mereka mampir sebentar ke Sriwedari naik mobil dari Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat diantar oleh R.M.H. Josodipoero.

Sriwedari makin bergengsi saat digunakan untuk merayakan kelahiran putri agung di negeri Belanda. Wongsonagoro, comite Oranje Passarmalem, dalam pengantar buku pedoman perayaan (1938) menjelaskan sepekan lamanya di Taman Sriwedari diadakan Oranje Passarmalem guna menghormati prinses yang baru saja lair ceprot.

Pada hari lahirnya Prinses van Oranje, satu malam dan satu hari, Taman Sriwedari dibuka gratis untuk umum dengan penonton dari segala bangsa. Wongsonagoro memanjatkan doa dialamatkan putri agung yang baru lahir itu supaya mendapat perlindungan selamat dan sehat yang akan membuat penduduk yang bernaung di bawah bendera merah putih biru merasa dalam kegembiraan.

Panitia Oranje Passarmalem menyampaikan terima kasih terhadap para pembesar di Solo, standhouders yang buka dalam pasar malam, dan kawan sekerja yang membantu keramaian hingga berjalan lancar.

Selanjutnya adalah: Ruang publik Sriwedari menyatu dengan hati warga

Advertisement

Menyatu

Ruang publik Sriwedari menyatu dengan hati warga, sampai-sampai laba hiburan maleman Sriwedari dari hasil penjualan karcis juga dilaporkan Darmo Kondo (8 Januari 1935). Tanggal 27-30 Desember 1934 perolehan uang di Sriwedari 10.372,79 gulden.

Duit ini belum dipotong belasting (pajak). Hasil bersihnya ditambah uang borg sepeda 150 gulden berjumlah 9.427 gulden. Menurut begrooting (anggaran) tahun itu hanya 7.000 gulden.

Maleman Sriwedari tahun itu mereguk laba 2.427 gulden. Nilai keuntungan ini dianggap bagus sebab kala itu zaman susah akibat diguncang krisis malaise. Pelancong dari luar Solo ingar bingar menyambut keramaian di Taman Sriwedari yang disertai pameran.

Banyak servis ”istimewa” bagi peserta pasar malam dari panitia yang menggandeng lembaga transportasi nasional, seperti kereta api dan kapal laut. Panitia Maleman Jaarmarkt menguraikan mulai 3-18 April 1926 di kebon raja diadakan Jaarmarkt selama keramaian maleman berlangsung setiap  bulan puasa.

Peserta pameran mendapat potongan dari perusahaan transportasi KMP, NIS, dan SS. Mereka pergi ke Solo dipastikan membayar, demikian juga pulangnya, tapi mereka memeroleh potongan 50% dari perusahaan kereta api SS dan NIS.

Advertisement

Permainan gelangan, tujon, tombola, dan lainnya laris dan menarik perhatian orang-orang dari luar Solo. Banyak pedagang dari segala bangsa dari berbagai daerah meminta tempat. Taman Sriwedari dengan luas 105.000 meter persegi hampir dipenuhi tenda.

Pintu gapura dibikin dua. Masing-masing ada tempat penjualan karcis untuk bangsa Eropa serta Timur asing dan bumiputra. Diatur demikian rupa agar penonton tidak berdesak-desakan.

Selanjutnya adalah: Pintu gerbang dibangun seperti candi yang molek

Seperti Candi

Pintu gapura dibangun seperti candi yang molek, dilukisi gambar dan perkataan yang ada artinya. Arena Jaarmarkt dilengkapi sarana penerangan aneka rupa dan warna. Di dalamnya adalah yang menggelar tentoonstelling hewan, kembang, pertanian, pesta dansa, pesta topeng, dan sedekah rebutan. Tidak ketinggalan pula perlombaan olahraga dan pertunjukan tarian Solo yang masyhur. Setiap malam kebanjiran pengunjung hingga 40.000 orang.

Keriuhan Sriwedari itu juga digambarkan oleh jurnalis cum aktivis pergerakan Mas Marco Kartodikromo. Dalam novel Student Hidjo diceritakan Solo pada suatu sore. Awan-gemawan bersinar terang sehingga bikin masyarakat kota jadi amat bahagia.

Advertisement

Pada malam hari di Sriwedari ada keramaian yang diselenggarakan oleh istana Kasunanan Surakarta. Saat itu juga di jalanan banyak orang berbusana bagus hendak datang ke Sriwedari. Orang-orang berkumpul sesuai selera masing-masing.

Ada yang menonton wayang orang, bioscoop, dan ada pula yang duduk-duduk di restoran sembari omong-omongan satu sama lainnya. Marco dalam Doenia Bergerak edisi 27 Juni 1914 memberikan informasi restoran di ruang hiburan Sriwedari.

Dia ceritakan rumah sudah sepi, kurang senang jika hanya duduk manyun seorang diri. Orang-orang pergerakan pergi melancong ke (kebun raya) Sriwedari. Di ruang publik ini mereka bertemu dengan tuan polisi opziener yang juga emoh ketinggalan turut melancong.

“Di sini, kita orang sama masuk di restaurant, makan, minum, dan bersuka-suka,” demikian tulisan Marco. Keterangan tentang restoran di Sriwedari yang dimunculkan Marco tentu baik untuk dikupas.

Selanjutnya adalah: Menyajikan ruang bersantap

Bersantap

Advertisement

Tempat hiburan terpopuler di Solo yang didatangi masyarakat setempat dan pelancong dari berbagai ras ini menyediakan ruang bersantap.

Darmo Kondo (29 Januari 1935) turut menyebut rumah makan Soponjono yang bersebelahan dengan gedung wayang orang. Salah satu restoran yang melegenda dan menghidangkan bermacam makanan itu adalah Restoran Pak Amat. Menurut Onghokham (1997), di Restoran Pak Amat di Sriwedari periode permulaan 1960-an masih bisa menikmati rijsttafel seperti aslinya. Memang jumlahnya tidak lagi puluhan, tapi masih lebih dari 10 jenis.

Seabad setelah Marco dan ”pujangga” lainnya menggoreskan tinta emas tentang Taman Sriwedari, Pemerintah Kota Solo Surakarta memperlakukan dan memaknai ruang publik ini dengan tindakan ”aneh”.

Membangun masjid raya sebagai pemenuhan janji politik tentu bakal membabat unsur sejarah dan nilai budaya yang terkandung di taman yang berstatus sosial sebagai ruang publik itu. Di sinilah kebon raja sebagai artefak, ekofak, dan sosiofak berhak menggugat.

Advertisement
Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif