Jogja
Senin, 29 Januari 2018 - 10:55 WIB

Gizi Buruk Tidak Hanya Berhubungan dengan Kemiskinan

Redaksi Solopos.com  /  Kusnul Istiqomah  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi gizi buruk (JIBI/Solopos/Dok.)

Di kota, masalah gizi tidak berhubungan dengan kemiskinan, tetapi pola asuh

Harianjogja.com, SLEMAN-Gizi kurang dan buruk masih saja diderita ribuan bayi di Indonesia, tak terkecuali DIY. Kasus ini tidak melulu berkaitan dengan kemiskinan. Kebanyakan malah disebabkan ketidakpedulian orang tua mengenai nutrisi.

Advertisement

Ketua Departemen Gizi Kesehatan Fakultas Kedokteran UGM Toto Sudargo mengatakan, jenjang kecukupan gizi terbagi dalam gizi baik, kurang dan buruk. Asupan gizi memengaruhi tubuh dalam bentuk obesitas, kegemukan, normal, kurus dan sangat kurus. “Stunting [tubuh pendek] termasuk gizi buruk,” ujar dia di rumahnya, Rabu (24/1/2018).

Anak-anak yang menderita gizi buruk biasanya kekurangan salah satu jenis nutrisi. Jika kurang protein, anak menjadi sangat kurus, tulang-tulang iga sampai terlihat, lalu ada atrofi atau penyusutan otot dan lemak. “Ini disebut marasmus. Kalau perutnya membesar dan ada edema ini disebut kwashiorkor atau karena kekurangan energi,” ujar dia.

Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan, daerah yang masuk tiga besar gizi buruk di Indonesia adalah Sulawesi Barat, Nusa Tenggara Timur dan Papua. Menurut dia, komoditas pangan dari laut yang tak diimbangi dengan bahan makanan lain menjadi persoalan besar sehingga gizi buruk tetap terjadi di kawasan itu.

Advertisement

Meski wilayah Indonesia bagian timur berada di peringkat atas gizi buruk, Toto menyatakan, bukan berarti kota besar seperti DIY terbebas dari kasus ini. Setidaknya 2%-5% anak di perkotaan mengalami kurang gizi dan 0,5% anak gizi buruk. “Di kota, masalah gizi tidak berhubungan dengan kemiskinan, tetapi pola asuh. Asal anak enggak rewel, anak kenyang, orang tua sudah puas. Mereka tidak melihat asupan gizi yang dikonsumsi. Tidak melihat rasio tinggi badan dan berat badan. Pokoknya asal anak tidak sakit, ibu tenang,” ucapnya.

Ketika keganjilan ini tidak diperhatikan orang tua, praktis anak akan mudah mengalami flu, demam, campak, infeksi saluran nafas yang berujung pada paru-paru basah. Jika sudah seperti ini, anak akan mengalami anoreksia alias kehilangan selera makan dan selanjutnya menderita gizi buruk.

Masalah Nasional
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang dirilis Kementerian Kesehatan pada 2013 melaporkan prevalensi anak balita kurus di kategori aman berkisar 10%-14% dari seluruh anak balita, sedangkan persentase anak kurus 12,1% dan sangat kurus 5,3%. Adapun prevalensi anak balita pendek (stunting) sekitar 19,2% dan sangat pendek 18%. Sementara, prevalensi anak balita yang kurang gizi sekitar 13,9% dan yang mengalami gizi buruk sekitar 5,7%. “Artinya jika ada satu juta anak, 5.700 anak di antaranya mengalami gizi buruk. Begitu juga yang lainnya,” ujarnya.

Advertisement

Sementara, stunting terjadi di seluruh daerah di Indonesia. Menurut laporan Situasi Balita Pendek yang diterbitkan Kementerian Kesehatan, pada 2013, 37,2% anak balita menderita tubuh pendek. Persentase ini lebih tinggi ketimbang 2010 (35,6%) dan 2007 (36,8%). Angka stunting terbesar ada di  Nusa Tenggara Timur (51,7%), Sulawesi Barat (48,0%) dan Nusa Tenggara Barat (45,3%), sedangkan persentase terendah di Kepulauan Riau (26,3%), DIY (27,2%) dan DKI
Jakarta (27,5%).

Adapun berdasarkan Pemantauan Status Gizi (PSG) oleh Kementerian Kesehatan pada 2015, 29% bocah baliya di Indonesia bertubuh pendek. Menurut Badan Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO), prevalensi balita pendek tergolong masalah kesehatan masyarakat apabila angkanya di atas 20%. Global Nutrition Report pada 2014 menyatakan Indonesia termasuk dalam 17 negara, di antara 117 negara, yang mempunyai tiga masalah gizi yaitu stunting,
kurus (wasting), dan kelebihan bobot (overweight) pada anak balita.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif