Kolom
Sabtu, 27 Januari 2018 - 05:00 WIB

GAGASAN : Bisnis Global Publikasi Ilmiah

Redaksi Solopos.com  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Edy Purwo Saputro (Istimewa)

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Jumat (12/01/2018). Esai ini karya Edy Purwo Saputro, dosen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Surakarta. Alamat e-mail penulis adalah E.Purwo.Saputro@ums.ac.id.

Solopos.com, SOLO–Artikel berjudul Kanibalisasi Akademis di Solopos edisi Kamis 11 Januari 2018 yang ditulis Abdul Gaffar menambah daftar panjang kegelisahan, kegalauan, dan keterpaksaan terkait tuntutan publikasi di jurnal internasional, terutama yang terindeks, bagi mahasiswa program master, doktoral, dan juga akademisi yang berniat mengurus pangkat guru besar.

Advertisement

Tuntutan publikasi tersebut juga menambah keresahan akademisi berpangkat lektor kepala karena jika tidak bisa memiliki publikasi di jurnal internasional terindeks maka tunjangan sertifikasi akan dicabut, begitu juga bagi guru besar.

Jika dicermati sebenarnya ada banyak faktor yang mendasari terkait tuntutan publikasi di jurnal internasional terindeks dan ironisnya publikasi jurnal nasional, baik yang terakreditasi atau tidak, kini cenderung ditinggalkan.

Seolah-olah semua yang berbau indeks Scopus adalah yang maha tinggi, maha hebat, dan semua maha lainnya yang berlaku bagi dunia akademis. Akibatnya semua yang berkonotasi terindeks menjadi tujuan para akademisi.

Advertisement

Hebatnya lagi, klasifikasi terindeks juga dibuat berjenjang sehingga makin tinggi jenjang semakin sulit dan rentang waktu untuk bisa terbit publikasinya relatif lama, bisa lebih dari setahun sejak dikirimkan ke redaksi jurnal.

Sebaliknya, di jenjang terendah relatif lebih cepat meski harus membayar jutaan rupiah. Fakta tentang keharusan untuk terbit di jurnal internasional terindeks atau bereputasi dan juga keharusan untuk membayar inilah yang kemudian diasumsikan sebagai industrialisasi akademis.

Proses panjang dari tuntutan publikasi terindeks atau bereputasi pada awalnya tidak bisa terlepas dari kegalauan peringkat publikasi akademisi kita yang kalah dibanding negara tetangga. Istilah kerennya adalah daya saing akademisi kita kalah dibanding negara tetangga maka perlu dipacu dan standar dari tuntutan itu adalah publikasi terindeks atau bereputasi.

Selanjutnya adalah: Persoalan mendasar dari realitas ini adalah

Advertisement

Realitas

Persoalan mendasar dari realitas ini adalah standardisasi kompetensi. Jika pada sejumlah bidang mengacu kualifikasi kompetensi yang terstandardisasi, yang terjadi di dunia akademis juga membutuhkan kualifikasi kompetensi dan pilihan yaitu publikasi internasional terindeks atau bereputasi.

Format yang mewakili tuntutan ini tidak lain yaitu semua jurnal yang terindeks dan bereputasi sehingga jurnal yang tidak terindeks dan tidak bereputasi dipersepsikan sebagai jurnal abal-abal atau predator. Analoginyam jangan salahkan keberadaan jurnal abal-abal atau predator karena esensi sebenarnya mereka jeli melihat peluang ketika para akademisi resah dan galau dengan tuntutan publikasi di jurnal internasional terindeks atau bereputasi.

Advertisement

Fakta kegelisahan itulah yang kemudian menjadi dasar perlunya memasang tarif bagi publikasi di jurnal itu sehingga benar adanya ini memicu sentimen negatif. Argumen yang mendasari karena riset, terutama yang didanai hibah, baik yang terdesentralisasi atau yang berkompetisi nasional, membutuhkan dana yang cukup besar sehingga ironis jika akhirnya justru jurnal asing yang mendapat keuntungan dengan publikasinya.

Mengapa tidak justru dipublikasikan di jurnal nasional baik yang terakreditasi ataupun tidak? Bukankah kita sendiri yang membutuhkan bagi kepentingan nasional? Mengapa justru pihak lain yang mendapatkan keuntungan finansial dari hasil publikasi kita?

Jebakan dengan dalih globalisasi ternyata juga menjadi muara mengapa tuntutan untuk publikasi di jurnal internasional terindeks atau bereputasi menjadi semakin penting saat ini. Muncul rumor bahwa akademisi yang kini berpangkat lektor kepala memilih turun pangkat menjadi lektor lagi demi mengamankan tunjangan sertifikasi karena kendala tuntutan publikasi di jurnal internasional terindeks atau bereputasi.

Rumor itu tidak mungkin terjadi karena kepangkatan di dunia akademis bukanlah seperti di ring tinju yang dari semua kelas bisa naik atau turun melalui pertarungan sebagai upaya penyesuaian kelas. Artinya, beralasan jika akhirnya banyak akademisi berpangkat lektor kepala akhirnya pasrah menerima nasib pencabutan tunjangan sertifikasi.

Advertisement

Sebagian guru besar yang tidak bisa memenuni persyaratan atas tuntutan publikasi di jurnal internasional terindeks atau bereputasi setahun sekali juga bernasib sama: menyerah.

Selanjutnya adalah: Realitas tuntutan publikasi di jurnal internasional

Tuntutan

Apa yang terjadi dengan realitas tuntutan publikasi di jurnal internasional terindeks atau bereputasi pada dasarnya adalah kejelian mereka melihat peluang bisnis dengan tahapan membangun jaringan kompetensi berdalih publikasi internasional.

Artinya, mereka sejak awal membangun tahapan publikasi di jurnal sehingga pada gilirannya itu semua menjadi kewajiban untuk penentuan yang berkualifikasi internasional dan bisa diterima secara global. Mengapa kita tidak membuat sedemikian rupa sejak awal sehingga mereka yang akhirnya justru berkepentingan dengan kita?

Advertisement

Bukan justru sebaliknya, seperti saat ini, kita yang dipaksa mengikuti aturan main mereka sehingga ketika itu terjadi berakibat kebakaran jenggot dan prosedural mereka diyakini sebagai satu-satunya terbaik, yang maha hebat dan maha segalanya? Bagaimana nasib jurnal-jurnal yang kita bangun sejak dulu?

Dalih mengejar ketertinggalan dan tidak mau disebut kalah dari negara tetangga tentu sah saja dan buktinya memang kini publikasi akademisi kita meningkat drastis, meski di sisi lain sampai kini masih juga muncul kontroversinya.

Selain itu, dalih impact factor juga memicu kontroversi dengan banyak argumen termasuk misalnya impact factor dari jurnal internasional terindeks atau bereputasi justru terkotak-kotak karena pembacanya adalah segmen tertentu sesuai dengan bidang kajiannya, sementara di sisi lain ada juga saran melihat impact factor dari pembaca secara universal dan semua lapisas masyarakat.

Jika demikian, apakah tulisan opini di koran tidak memiliki impact factor, padahal jika dicermati mayoritas penulis opini di koran adalah kalangan akademisi, sementara pembaca koran adalah semua kalangan? Terlepas dari perdebatan terkait publikasi di jurnal internasional terindeks atau bereputasi, yang pasti agenda politik 2018 dan pemilihan umum pada 2019 tidak punya momentum meninjau ulang tuntutan publikasi itu sehingga jangan berharap regulasi publikasi itu akan dicabut atau direvisi.

Jadi, teruslah menulis untuk publikasi di jurnal internasional terindeks atau bereputasi dan biarkan mereka menikmati hasil jerih payah riset kita dan mendapatkan uang dari jasa pemeringkatan mereka. Ini semua salah kita karena kita tidak jeli melihat peluang bisnis di dunia publikasi akademisi.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif