Kolom
Jumat, 26 Januari 2018 - 05:00 WIB

GAGASAN : Pendidikan yang Berlari Kencang

Redaksi Solopos.com  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ahmad Ubaidillah (Istimewa)

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Kamis (23/11/2017). Esai ini karya Ahmad Ubaidillah, dosen Ekonomi Syariat di Fakultas Agama Islam Universitas Islam Lamongan, Jawa Timur. Alamat e-mail penulis adalah ubaidmad@yahoo.com. 

Solopos.com, SOLO–Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) menyiapkan regulasi tentang akselerasi kuliah S1 hingga S3 yang hanya ditempuh selama enam tahun.

Advertisement

Dengan akselerasi ini mahasiswa tidak butuh waktu lama untuk mendapatkan gelar doktor. Kebijakan ini diambill lantaran Indonesia membutuhkan tenaga doktor usia muda. Dalam kondisi normal, kuliah S1 sampai S3 bisa ditempuh paling cepat dalam waktu delapan tahun.

Menristekdikti, Mohammad Nasir, memerinci skenario percepatan kuliah paket S1 hingga S3 menjadi empat tahun S1 kemudian S2 dan S3 masing-masing dua tahun. Nasir menjelaskan dengan detail skenario percepatan kuliah paket S1 hingga S3 itu.

Ketika mahasiswa S1 masuk semester VII, mereka bisa mendaftar kuliah S2. Ketika lulus S1 (semester VIII) statusnya sedang menempuh S2 semester II. Selanjutnya ketika sudah masuk S2 semester III, dia bisa langsung mendaftar S3.

Advertisement

Dengan demikian ketika lulus S2 (semester IV) sekaligus sedang menempuh semester II program S3 sehingga tinggal membutuhkan waktu satu tahun lagi untuk menamatkan S3. Program Kemenristekdikti ini memang bagus untuk kebutuhan tenaga  bergelar doktor usia muda.

Saya melihat bahwa program percepatan pendidikan ini menimbulkan dampak negatif. Inilah realitas yang tak bisa dimungkiri tentang dromologi pendidikan, pendidikan  yang berlari kencang. Istilah dromologi mengacu pada ilmu tentang percepatan dan kecepatan dalam setiap fenomena dalam kehidupan, termasuk kehidupan pendidikan.

Selanjutnya adalah: Alih-alih memfungsikan secara optimal

Advertisement

Secara Optimal

Alih-alih memfungsikan secara optimal sebagai wadah aspirasi dan kepentingan rakyat, lembaga pendidikan justru sibuk dengan taktik dan strategi meluluskan mahasiswa sebagai peserta didik secara cepat. Alih-alih para pendidik memberikan pendidikan yang berkualitas, mereka justru bertiwikrama agar mahasiswa bisa lulus dengan cepat.

Kenyataan pendidikan cepat tak lain merupakan salah satu ciri utama abad informasi yang menuntut perubahan irama dan tempo kehidupan ke arah yang semakin cepat. Ini juga merupakan akibat dari kecanduan gelar yang mengondisikan pola-pola relasi dan komunikasi pendidikan yang serbasegera. Ini yang saya sebut dromologi pendidikan.

Pendidikan serbacepat semacam ini memiliki dampak negatif. Kecepatan dalam pendidikan biasanya akan terjebak pada tempo, kesementaraan, fragmentasi, dan diskontinuitas yang di dalamnya tidak ada lagi perenungan makna, nilai, dan keluhuran pendidikan.

Advertisement

Inilah perkembangan pendidikan Indonesia belakangan ini yang memperlihatkan wajah manusia pendidikan sebagai homo dromus, yaitu mansuia yang hidup di dunia yang di dalamnya setiap aspek kehidupan pendidikan berlangsung dalam waktu dan kecepatan tinggi. Dan itu mereka anggap menjadi keyakinan dan ideologi baru.

Menurut hemat saya, dalam realitas pendidikan seperti ini, status ideologi pendidikan tak lain adalah ideologi palsu. Ideologi yang hanya digunakan untuk kepentingan sesaat, yaitu agar cepat meraih gelar doktor.

Tak bisa disangkal bahwa merasuknya paradigma atau pola pikir cepat dalam pendidikan hanya akan menciptakan pembodohan bagi masyarakat. Perkembangan cepat (ideologi, visi, misi,) dalam ranah pendidikan pada kenyataannya tidak mampu meningkatan kualitas dan nilai-nilai luhur pendidikan itu sendiri, bahkan semakin menghancurkannya.

Selanjutnya adalah: Patut dikhawatirkan peserta didik hanya berpikiran cepat lulus

Advertisement

Patut Dikhawatirkan

Patut dikhawatirkan peserta didik hanya berpikiran cepat lulus, menjadi doktor, tanpa punya perenungan menciptakan sesuatu yang baru dalam ilmu pengetahuan. Hal ini tak lain disebabkan kecepatan itu dikonstruksi atas motif kecepatan pencarian gelar sehingga menciptakan manusia-manusia berpendidikan miskin kontemplasi.

Tak hanya itu, dampak negatif lanjutan dari dromologi pendidikan ialah pendangkalan pendidikan. Kesegeraan yang dilakukan peserta didik dan pendidik dalam rangka mencapai tujuan pragmatis justru menggiring pada proses banalitas pendidikan (prinsip, kualitas, makna, dan nilai yang remeh).

Pada titik inilah lembaga pendidikan beserta aktor-aktornya gagal menciptakan homo humanis, yaitu manusia berpendidikan yang setiap aktivitasnya mampu meningkatkan kualitas manusia dan kemansusiaan serta mampu mengangkat martabat manusia pada posisi yang lebih tinggi.

Akibat dromologi pendidikan ini pula lembaga pendidikan tak becus menemukan atau mengangkat calon-calon pemimpin dari kalangan muda, bersih, dan berkualitas. Ini tak lain karena pihak-pihak berkepentingan dalam dunia pendidikan semakin ”keranjingan” pada uang, kekuasaan, dan gelar sehingga lupa mencetak guru bangsa bermutu tinggi, baik secara intelektual maupun moral.

Advertisement

Selanjutnya adalah: Untuk mencegah keremehan dan kehancuran

Mencegah Keremehan

Untuk mencegah keremehan dan kehancuran pendidikan pada masa mendatang yang diakibatkan dromologi pendidikan ini, selain harus ada kesadaran dari aktor-aktor pendidikan untuk menjalankan pendidikan secara bermartabat, masyarakat sebagai pihak yang memercayakan aspirasi kepada lembaga pendidikan dan pendidik harus bersikap kritis dan cerdas dalam membaca arah pendidikan di negeri ini.

Apakah pendidikan kita dibangun untuk meningkatkan nilai-nilai kemanusiaan atau justru untuk meruntuhkan derajat kemanusiaan? Artinya, masyarakat perlu mengawasi dan mengevaluasi serta menilai segala bentuk kebijakan dan peraturan yang dikeluarkan penguasa di Nusantara ini.

Apakah pemimpin masa depan bangsa kita nanti yang merupakan hasil lulusan cepat bisa bersikap jujur, berintegritas, bersih, atau justru sebaliknya, suka berbohong, menjadi koruptor, pelanggar hak asasi manusia (HAM). Ini semua perlu dipikirkan baik-baik oleh seluruh rakyat Indonesia demi kemajuan peradaban  bangsa kita sendiri.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif