Jogja
Selasa, 23 Januari 2018 - 16:55 WIB

Menumbuhkan Cabai Seperti Membesarkan Anak

Redaksi Solopos.com  /  Kusnul Istiqomah  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - GKR Mangkubumi menyematkan pin kepada perwakilan peserta Kelas Perdana Sekolah Petani Muda Darlio's di Gedung DPD, Jalan Kusumanegara, Jogja, Senin (22/1/2018). (Harian Jogja/Desi Suryanto)

Di Bantul, pria bernama Jumadiyanto memperlakukan tanaman cabainya laksana bayi

Harianjogja.com, JOGJA-“Ini Malika, kedelai hitam berkualitas yang saya besarkan seperti anak sendiri.” Cukilan kalimat dari iklan kecap ini ada benarnya. Di Bantul, pria bernama Jumadiyanto memperlakukan tanaman cabainya laksana bayi yang butuh banyak perhatian.

Advertisement

Bantul, 2006. Bumi bergetar kencang. Seperti ombak yang menggulung, guncangan merambat ke seluruh penjuru, melumat ratusan ribu bangunan yang tak siap melawan lindu. Rumah-rumah rata dengan tanah, menimpa manusia-manusia di dalamnya. Ribuan jiwa melayang saat pagi belum sempurna betul.

Duka menyelimuti mereka yang ditinggalkan. Orang-orang di Bumi Projotamansari tiba-tiba menjadi tuna wisma hanya dalam waktu 57 detik. Tak terkecuali Jo, panggilan akrab Jumadiyanto. Rumahnya di Desa Sidomulyo, Kecamatan Bambanglipuro hancur tinggal tumpukan batu bata dan kayu.

Seperti enggan menjauh, keterpukuran terus membututi hidup Jo, dan tentu masyarakat Bantul lainnya. Selama beberapa bulan, Ia tak mendapat gaji sepeser pun dari tempanya bekerja karena tempat perusahaannya bekerja berhenti beroperasi sejenak. Sejak 1990, Jo berkarier di dunia perhotelan. Rumahnya yang musnah juga tak mendapat ganti dari pemerintah.

Advertisement

Semua yang terjadi membuatnya mafhum, bekerja untuk orang lain tak akan bisa terus menerus menjamin hidup. “Anak-anak saya butuh makan,” ucap Jo ketika ditemui sebelum pembukaan kelas perdana Sekolah Petani Muda Darllo’s di Kantor DPD DIY, Senin (22/1/2018).

Ia tak lantas menjadi pengusaha, tapi memilih menekuni hobinya bertani. Sejak bertemu sang istri pada 1998, Jo sudah senang bercocok tanam. Namun, hanya sambil lalu untuk menikmati senja yang sendu atau pagi yang menyegarkan. Pria yang lahir di Banyuwangi ini memilih pertanian karena terinspirasi dengan kata-kata pengusaha kakap dari Negeri Abang Sam, Warren Buffet, yang menyuruh orang menjadikan apa yang disukai jadi hobi dan membuat apa yang disenangi dunia jadi bisnis yang menguntungkan. “Manusia butuh pangan enggak? Sangat butuh,” ucapnya.

Pangan memang penting, bahkan sampai membuat Soekarno yang kerap disebut Bung Besar berkata, “Pangan rakyat adalah soal hidup matinya bangsa.”

Jo menanam cabai, karena dianggap bernilai ekonomi tinggi. Sembari bertani, profesi sebagai food and beverage manager tetap dilakoni hingga 2010. Kala itu, Jo tak berbeda dengan petani lainnya. Menanam cabai saat musim kemarau dengan menyuburkannya menggunakan pupuk kimia. Hasilnya juga segitu-segitu saja. Apalagi Jo hanya bermodalkan tanah seluas 5.000 meter persegi.

Advertisement

Pupuk kimia terus ia tebar untuk menghidupi cabai shypoon. Jo belum memperlakukan tanamannya seperti Malika, tetapi hanya sebagai tumbuhan yang menghasilakan buah pedas.  Ia belum tercerahkan layaknya banyak pemuda di Zaman Renaisans dan tentunya, belum seperti petani di iklan kecap.

Tiga tahun lalu, Jo melempar kotoran ikan lele secara sembarang ke ladangnya. Tak disangka, cabainya jadi gemuk dan subur.  Kesadaran Jo terkesiap; ternyata ada cara lain yang lebih manjur dibandingkan dengan sekadar menebar pupuk kimia. Ia berubah menjadi bijak bestari pencinta alam. “Sejak revolusi hijau, lahan kita tidak semakin bagus. Orang hanya mengekploitasi tanah, tapi tidak mengembalikan apa yang sudah alam berikan.”

Pupuk kimia dianggap sebagai materi yang akan membuat tanah rusak secara perlahan, sebab isisnya hanya residu. Sadar dirinya telah khilaf, ia kemudian menciptakan apa yang disebut sebagai metode pertanian tiga langkah, dengan filosofi utama merawat cabai seperti manusia; menyiapkan dengan tepat perawatan masa balita, remaja dan usia tua sehingga kelak tumbuh cabai yang berkualitas pedas sejati dan tentunya banyak.

“Saya merawat cabai seperti merawat anak dengan memberikan 48 mineral esensial dan unsur hara mikro makro. Asupan anak harus tepat. Jangan sampai salah. istilahnya kalau balita dikasih tongseng pasti keselek, karena yang dibutuhkan adalah yang hangat-hangat,” kata Jo.

Advertisement

Metode tiga langkah itu simpelnya begini. Pertama, tanah diolah sedemikian rupa, lalu dilapisi kotoran kambing, kotoran ayam, dan bakteri baik guna mematangkan unsur hara. Kedua, pupuk buatan sendiri yang bernama pupuk organik cair disemprotkan. Ketiga, tanah dibiarkan kembali ke kondisi aslinya.

Hasilnya tak mengecewakan. Jika petani lain hanya bisa menghasilkan cabai tiga sampai lima ons, buah hatu Jo bisa mekar menjadi satu kilogram sampai satu setengah kilogram cabai. “Kalau satu hektare bisa 20.000 pohon, tinggal kalikan saja hasil per pohon,” ucap dia penuh percaya diri.

Jo punya cara yang baik dalam memandang peluang. Ia tak menanam cabai dalam waktu bersamaan, tetapi saban dua bulan sekali. Tujuannya agar anak-anaknya suatu ketika besar dengan harga mahal. Ia tak menanami semuanya lahannya dengan cabai, hanya 3.000 meter, sisanya untuk menanam padi. Biasanya sekali tanam sebanyak 3.000 pohon.

Anak-anaknya juga tangguh dalam menghadapi bencana. Jo memberikan perlindungan yang cukup. Ketika sebagian petani tidak bisa menanam saat musim hujan. Anak-anak Jo tetap bertumbuh sebagaimana semestinya. Bahkan saat Siklon Tropis menyerbu Bantul tahun lalu, lahannya masih tetap panen.

Advertisement

“Kebanyakan petani menyalahkan alam, padahal saat hujan saya tetap bisa nanam. Ibaratnya tanah adalah rumah bagi pohon. Kalau hujan rumahnya harus pakai atap. Karena kalau hujan, nutrisi kayak apa pun akan hanyut terkena air terlalu banyak, karena itu saya buatkan atap dengan mulsar [penutup tanaman yang umumnya berbahan plastik].”

Tak hanya mengutak-ngatik pembibitan dan pengolahan lahan, Jo juga memandang perlunya memangkas rantai distribusi. Jo tak melego anaknya ke tengkulak, tapi menjualnya sendiri di Pasar Bantul. Dengan demikian ia bisa menikmati keuntungan yang tak dinikmati petani lain.

Menurut dia, selama ini petani Indonesia gagal menjadi individu yang berdaulat, karena sejak dari hulu ke hilir, semunya dikendalikan pedagang atau tengkulak; beli pupuk didikte pembuat pupuk, beli bibit sepenuhnya tunduk pada pengembang biak, jual panen disandera oleh para mekelar.

Jo punya keinginan besar menjadikan petani independen dan memegang kendali penuh atas kerja kerasnya. Ia tak sungkan berbagi ilmu dan pengalaman. Bersama dengan Asti Irwandiyah, ia ikut terlibat dalam Sekolah Petani Darllo’s yang didirikan Asti pada Desember 2017. Ia tergugah terlibat karena ingin membuat petani tambah pintar, tetapi dengan cara yang murah. Pergi ke perguruan tinggi dianggap terlalu mahal bagi petani.

Sekolah Petani Darllo’s ternyata diminati banyak orang. Tak menunggu lama, muridnya bertambah jadi 60 orang. Yang belajar juga banyak dari luar daerah. Lantaran semakin ramai, menurut Asti, kemudian ada yang mengusulkan agar dibuat sekolah yang lebih besar. Jadilah kemudian Sekolah Petani Muda Darllo’s.

Pada kelas perdana, Jo turut menjadi pemateri. Walaupun ada embel-embel petani muda, tapi siswanya kebanyakan adalah petani tua. Asti mengatakan kata muda tidak berasosiasi dengan umur, tetapi semangat.

Advertisement

Kelas sosialisasi Sekolah Petani Muda Darllo’s digelar tiga kali dalam sepekan. Kurikulum utamanya adalah pertanian yang ramah lingkungan. “Bagaimana bertani tetapi tidak merusak lingkungan, bahkan membuat lingkungan semakin sehat. Karena itu ada  materi pertanian terpadu berkelanjutan. Pupuk yang disarankan adalah kotoran ayam dan kambing,” kata Asti.

Asti mencontohkan pupuk organik cair karya Jo, yang setiap 200 liternya hanya bermodalkan uang Rp10.000. Ramah di kantong dan sangat mujarab. Para pengajarnya bukan akademisi, tetapi praktisi. “Karena orang seperti Pak Jo dan saya kan sudah melakukannya. Ilmu praktisi lebih praktis.”

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif