Kolom
Minggu, 21 Januari 2018 - 05:00 WIB

GAGASAN : Jokowi Raja Batak

Redaksi Solopos.com  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Festival seni Batak (Hitabatak.com)

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Sabtu (13/01/2018). Esai ini karya Advent Tarigan Tambun, inisiator Sinabung Karo Jazz 2017. Alamat e-mail penulis adalah atambun@gmail.com.

Solopos.com, SOLO–Saya bukan ahli budaya Batak. Dengan jujur saya harus mengatakan bahwa pengetahuan saya tentang budaya Batak masih seujung kuku jari kelinging.

Advertisement

Saya sadar tulisan saya ini akan dibaca banyak orang dan juga dibaca saudara-saudara saya dari Suku Batak, baik itu Subsuku Karo, Toba, Simalungun, Pak-Pak, maupun Mandailing.

Satu hal penting yang ingin saya sampaikan sebelum memaparkan lebih jauh bahwa kata ”Batak” secara etimologis bisa ditarik sebagai orang atau kelompok orang yang percaya pada ”Dibata”.

Kata ”Dibata” ini menjadi titik awal dari setiap pembicaran tentang Batak, baik dalam tataran kultural, antropologis, historis, filosofis, maupun problematika sosial ekonomi aktual.

Advertisement

Jika hendak dicari perbandingannya, penyematan kata ”Batak” itu sejajar dengan ”Kristen” yang artinya mereka yang percaya kepada Kristus atau ”Yahudi” yang artinya percaya kepada Yahwe.

Dalam kehidupan sehari-hari pemakaian kata ”Dibata” atau ”Debata”  (baca dewata, Tuhan, Allah, Yang Ilahi, Sang Hyang Widhi) menjadi kata yang kerap terucap oleh orang Batak yang menunjukkan bahwa konsep ketuhanan hadir secara riil dalam keseharian masyarakat Batak.

Secara tidak  langsung saya hendak mengatakan pemahaman konsep ketuhanan yang maha esa sudah dihidupi oleh masyarakat Batak jauh sebelum agama-agama monoteisme memasuki bumi Nusantara.

Konsep ketuhanan adalah konsep tertinggi dalam pemahaman dan penghayatan sebuah kebudayaan sebuah masyarakat. Peninggalan-peninggalan bersejarah dunia tidak terlepas dari hubungan dan pemahaman manusia akan Tuhan mereka, sebut saja Candi Borubudur atau Candi Prambanan.

Advertisement

Selanjutnya adalah: Penghayatan akan kehadiran Tuhan dapat dirasakan

Kehadiran Tuhan

Penghayatan akan kehadiran Tuhan dapat dirasakan dalam kata dan laku masyarakat Batak sejak zaman pemahaman antropologis hingga saat ini ada istilah atau lebih tepat konsep kehidupan dalam pernyataan berikut ini: Debata na tarida, Dibata si terindah (Tuhan yang kelihatan, Tuhan yang tersentuh), the visible God.

Advertisement

Konsep ini menjadikan pemahaman tentang inkarnasi Tuhan dalam bentuk tubuh manusia. Sebuah pemahaman teologis yang sulit dijelaskan dan dipahami bila tidak menerima kebenaran premis awal bahwa Tuhan itu ada dan aktif partisipatif.

Siapakah Debata na tarida? Apakah ini hanya sebutan saja, istilah semata, atau peribahasa tanpa makna? Dalam kaitan inilah judul di atas memiliki makna bagi Presiden Joko Widodo. Pada seorang Batak, pada dirinya tersemat tiga peran, tiga persona, tiga citra sekaligus.

Saya akan jelaskan dalam bahasa Indonesia saja supaya tidak ribet, yakni raja, saudara, pelayan. Tiga citra, persona, ini dapat berganti bertukar tergantung pada situasi aktual hidupnya. Siapakah Joko Wiodo, seorang Jawa, terlepas apa pun jabatannya ketika diberi gelar Siregar?

Dia adalah Debata na tarida bagi keluarga Bobby Nasution. Joko Widodo adalah raja yang terlihat, tersentuh, bagi keluarga Bobby Nasution, atau lebih tepatnya bagi Bobby. Dalam adat Batak, seorang pemuda yang menikahi gadis Batak dengan sendirinya mengambil peran sebagai pelayan dalam semua kegiatan keluarga mertuanya (baca hula-hula atau raja).

Advertisement

Sekadar contoh, saya sebagai pemuda Batak akan mendahulukan semua kegiatan keluarga istri saya daripada keluarga ayah saya. Mari kita ambil contoh, jika ayah saya sedang panen dan ayah mertua saya juga panen pada saat bersamaan di sawah, dan mereka berdua membutuhkan tenaga kerja, saya akan memilih menyelesaikan dulu panen di sawah mertua saya daripada sawah ayah saya.

Selanjutnya adalah: Pemahaman ini harus dihayati oleh seorang suami Batak

Harus Dihayati

Pemahaman ini harus dihayati oleh seorang suami Batak.  Saya tidak akan berani membantah pernyataan ayah mertua saya karena dia adalah representasi Tuhan yang tersentuh. Kata-katanya layaknya sabda seorang raja kepada rakyatnya.

Saya jadi ingat perasaan lucu setiap kali harus menjelaskan posisi marga dalam adat Batak kepada teman-teman saya di Solo. Tidak sedikit yang menggagap bahwa ada perbedaan struktur kemasyarakatan berdasarkan marga seperti konsep raja-rakyat di Jawa.

Advertisement

Asyiknya adalah memahami bahwa Nusantara ini terlalu luas untuk bisa dipahami begitu saja. Bagi masyarakat luar Sumatra Utara, Batak itu satu dan tak terbagi. Kota Medan itu hanya mengenal satu sapaan saja, “horas”, tidak ada istilah ”mejuah juah, juah, juah” dan masih banyak lagi minimnya pemahaman kekayaan budaya Nusantara.

Hal demikian ini sama seperti Jawa bagi orang luar Jawa. Banyak sekali orang non-Pulau jawa yang menggang a orang Jawa itu sama dengan orang Sunda, Betawi, dan Madura. Semua itu Jawa.  Kembali kepada topik sebelumnya, ada hal yang menarik dari pemberitaan media massa seperti yang saya kutip ini (saya ambil dari koran online ternama) di bawah ini

”….. Adapun Jokowi, pada kesempatan terpisah, menyatakan senang bisa menjadi bagian dari marga Batak, baik Nasution maupun Siregar. “Tadi juga ada yang salami saya, bilang Pak, saya Siregar, Pak. Ada juga yang bilang Pak, saya Nasution, Pak.”

Pernyataan-pernyataan perkenalan berdasarkan marga mengandaikan lawan bicara sudah memiliki marga atau diangap sudah memahami konsep-konsep adat dan salah satunya adalah konsep Tuhan yang terlihat itu.

Selanjutnya adalah: Ketika saling memperkenalkan diri sebagai orang Batak

Memperkenalkan Diri

Ketika kami saling memperkenalkan diri sebagai sesama orang Batak, itu bukan perkenalan nama, tetapi perkenalan posisi adat kultural, apakah jadi raja, saudara, atau pelayan. Tentu tidak mudah memahaminya dan lebih sulit lagi bagi orang luar yang diberi penghargaan tertinggi, yakni marga seperti Presiden Joko Widodo.

Dengan menerima marga itu (baca teks kutipan di atas, bahwa Joko Widodo senang) berarti menanggung beban tanggung jawab adat atau kultural.  Sekadar guyon, mudah-mudahan Presiden Joko Widodo tidak keder diajak pesta adat setiap pekan yang bisa 10 kali, ha…ha…ha… Itu  utang kultural dan itu mahal lho!

Pada semua sistem kebudayaan selalu ada keseimbangan logis untuk mempertahankan roh budaya itu sendiri. Seorang raja (baca bapak mertua) harus mampu memperlihatkan kebijaksanaan ”tingkat dewa” dalam setiap permasalahan hidup.

Seorang raja harus mampu memahami adat istiadat keseharian sehingga layak disebut raja. Seorang raja harus mampu mengayomi para pelayannya. Istilah elek marboru, mampu mengambil hati pelayannya (baca anak menantu), adalah seni hidup keseimbangan masyarakat Batak.

Pemberikan gelar ”Tuhan yang terlihat” bukanlah sebuah kebanggan carnal duniawi, tetapi tuntutan hidup utopis surgawi. Semoga Joko Widodo Siregar, yang adalah presiden (maaf, bukan raja), dapat menerapkan pemahamam ”Tuhan yang bisa disentuh” itu dalam pemerintahan Nusantara yang belakangan ini digoyang isu pengeroposan Pancasila.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif