Kolom
Jumat, 19 Januari 2018 - 05:00 WIB

GAGASAN : Bersama Rakyat Awasi Pemilu

Redaksi Solopos.com  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ahmad Halim (Istimewa)

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Jumat (05/01/2018). Esai ini karya Ahmad Halim, Ketua Panitia Pengawas Pemilihan Umum Kota Administrasi Jakarta Utara. Alamat e-mail penulis adalah ah181084@gmail.com

Solopos.com, SOLO–Pemberlakuan UU No. 7/2017 tentang Pemilihan Umum (gabungan UU No. 8/2012, UU No. 42/2008, dan UU No. 15/2011) ”menguntungkan” Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu).

Advertisement

Pertama, waktu penanganan pelanggaran yang bertambah, sebelumnya hanya lima hari menjadi 14 hari. Kedua, Bawaslu, Bawaslu provinsi, dan Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu) kabupaten/kota diberi kewenangan untuk menerima, memeriksa, mengkaji, dan memutus pelanggaran yang bersifat administrasi pemilihan umum.

Bentuknya adalah persidangan terbuka seperti pengadilan umum maupun mahkamah konstitusi, bukan lagi rapat kajian yang hanya melahirkan rekomendasi kepada pihak-pihak yang melanggar aturan pemilihan umum.

Contoh penanganan pelanggaran berdasar undang-undang sebelumnya adalah kalau partai politik yang melanggar maka panitia pengawas merekomendasikan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menegur partai politik tersebut.

Advertisement

Kalau aparatur sipil negara yang melanggar aturan pemilihan umum, dilayangkanlah surat rekomendasi kepada instansi tempat dia bekerja. Kalau KPU yang melanggar aturan pemilihan umum, surat rekomendasi dilayangkan kepada KPU.

Ketiga, awalnya panwaslu di tingkat kabupaten/kota bersifat ad hoc (dibentuk jika ada pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah), saat ini dengan dasar UU No. 7/2017 lembaga panwaslu menjadi tetap atau permanen (bermama kerja lima tahun).

Keempat, jumlah sumber daya manusia Bawaslu saat ini bertambah. anggota Bawaslu berjumlah lima, Bawaslu provinsi berjumlah tujuh orang, Pawaslu kabupaten/kota berjumlah lima orang, Panwaslu kecamatan berjumlah tiga orang, Panwaslu kelurahan satu orang, Panwaslu luar negeri tiga orang, dan di setiap tempat pemungutan suara terdapat seorang pengawas pemilihan umum.

Perihal pengawas tempat pemungutan suara, meski menguntungkan, pengalaman empiris saya sewaktu menjadi Ketua Panwaslu Kota Administrasi Jakarta Utara saat memberikan pelatihan untuk 2.150 pengawas tempat pemungutan suara saat pemilihan gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta periode 2017-2022 masih ada pengawas yang kebingungan saat menjalankan tugas.

Advertisement

Bawaslu Provinsi DKI Jakarta sudah membekali pengawas tempat pemungutan suara dengan memberikan buku saku pengawasan. Hal ini dilakukan agar ketika pengawas tempat pemungutan suara bingung dengan kejadian yang tidak lazim bisa membuka buku saku tersebut.

Nyatanya tetap saja pada saat hari pemungutan suara masih ditemukan ada pengawas tempat pemungutan suara yang membiarkan kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) melanggar aturan administrasi pemilihan umum.

Contoh kasus di Tempat Pemungutan Suara No. 17 Kelurahan Penjaringan. Ada lima orang pemilih yang tak bisa memberikan suara, padahal sudah memenuhi syarat untuk memilih yakni memiliki KTP elektronik dan kartu keluarga serta berdomisili di wilayah tersebut.

Selanjutnya adalah: Tak mengizinkan lima orang tersebut memberikan suara

Advertisement

Memberikan Suara

Petugas kelompok penyelenggara pemungutan suara tak mengizinkan lima orang tersebut memberikan suara karena formulir daftar pemilih tambahan sudah habis. Kasus yang sama juga terjadi di tempat pemungutan suara lainnya.

Saya menilai kalau pengawas tempat pemungutan suara mengerti dan membaca buku saku pengawasan, hal demikian tidak akan terjadi. Lima orang pemilih tersebut sudah memenuhi hak untuk memilih atau memberikan suara karena memiliki KTP elektronik dan kartu keluarga.

Advertisement

Teori kedaulatan rakyat meyakini yang berdaulat dalam setiap negara adalah rakyat. Kehendak rakyat merupakan satu-satunya sumber kekuasaan bagi setiap pemerintah. Pemilihan umum adalah wujud kedaulatan rakyat.

Hak konstitusi warga untuk memilih dijamin oleh konstitusi dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Oleh karena itu, dalam mengawasi pemilihan umum serentak pada 2019, Bawaslu tidak bisa dibiarkan ”sendirian”. Seluruh rakyat Indonesia harus ikut bersama-sama memastikan pemilihan umum berjalan berdasarkan asas jujur, adil, langsung, umum, bebas dan rahasia.

Pemilihan umum harus memenuhi prinsip mandiri, jujur, adil, berkepastian hukum, tertib, terbuka, proposional, profesional, akuntabel, efektif, dan efesien. Bagaimana mewujudkannya? Tentu dengan cara pengawasan berjemaah.

Kalau seluruh masyarakat Indonesia sadar pentingnya pemilihan umum, hal tersebut akan segera tercipta. Fakta menunjukan tingkat partisipasi masyarakat saat ini masih minim dalam segi pengawasan. Contoh kecil di Jakarta Utara. Pada pemilihan gubernur putaran pertama hanya ada tiga pelapor.

Sedangkan pada  putaran kedua hanya empat pelapor. Dari tujuh (digabung) pelapor ini semuanya tim sukses dan simpatisan. Mereka semua yang datang langsung ke kantor panitia pengawas. Sebagian besar masyarakat malah memilih media sosial untuk memberikan informasi kepada pengawas pemilihan umum. Itu boleh-boleh saja.

Laporan atau informasi akan tetap ditangani panitia pengawas, namun yang harus diingat ada prioritas. Intruksi dari Bawaslu Provinsi DKI Jakarta pada waktu itu adalah sebisa mungkin informasi adanya dugaan pelanggaran pemilihan kepala daerah diarahkan menjadi laporan.

Advertisement

Selanjutnya adalah: Dilakukan untuk kemudahan pengawas

Kemudahan

Hal tersebut dilakukan untuk kemudahan pengawas dalam mengungkap informasi yang diberikan, namun sebagian besar masyarakat mengaku tidak mengetahui bagaimana tata cara melapor langsung dan selebihnya takut untuk melapor.

Publik berpikir bahwa mengungkap dugaan pelanggaran pemilihan umum lebih nyaman di media sosial, padahal dalam memberikan informasi juga ada aturan mainnya seperti batas waktu; laporan paling sedikit memuat apa, di mana, kenapa, siapa, mengapa, dan bagimana; identitas pelapor harus jelas (jangan menggunakan akun anonim); dan terpenuhi syarat formal dan material.

Tata cara melapor sesungguhnya sudah diatur dalam UU No. 7/2017 Pasal 454 point 4 yang menyatakan laporan pelanggaran pemilihan umum disampaikan secara tertulis dan paling sedikit memuat: nama dan alamat pelapor, pihak terlapor, waktu dan tempat kejadian perkara, serta uraian kejadian.

Di point 6 ada ketentuan laporan pelanggaranpemilihan umum disampaikan paling lama tujuh hari kerja sejak diketahui terjadinya dugaan pelanggaran pemilihan umum.

Saya mengakui sosialisasi yang dilakukan pengawas pemilihan umum selama ini dalam mencerdaskan masyarakat ihwal pemilihan umum dan pengawasan masih terhambat oleh anggaran. Negara membatasi jumlah peserta dan jumlah sosialisasi pengawasan partisipatif.

Hal ini menyebabkan hanya yang hadir dan memerhatikan yang paham. Selebihnya tidak. Oleh karena itu, melihat fakta tersebut sudah tepat Bawaslu memiliki selogan Bersama Rakyat Awasi Pemilu. Bersama Bawaslu Tegakkan Keadilan Pemilu”.

Dengan melibatkan rakyat se-Indonesia saya pastikan para penjahat pemilihan umum pasti akan berpikir ulang kalau ingin melanggar aturan pemilihan umum.

Saya berharap artikel ini sedikit-banyak dapat membantu masyarakat Indonesia agar lebih berani melaporkan secara langsung kasus pelanggaran pemilihan umum dengan mendatangi kantor-kantor panitia pengawas di wilayah masing-masing.

Kalau lebih memilih hanya memberikan informasi di media sosial tak mengapa, namun harus jelas dan memuat yang telah disampaikan di atas. Bersama rakyat mengawasi pemilihan umum. Bersama Bawaslu menegakkan keadilan pemilihan umum.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif