Kolom
Kamis, 18 Januari 2018 - 05:00 WIB

GAGASAN : Calon Tunggal dan Disfungsi Demokrasi

Redaksi Solopos.com  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Isharyanto (istimewa).

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Rabu (10/01/2018). Esai ini karya Isharyanto, dosen Hukum Tata Negara di Universitas Sebelas Maret Solo. Alamat e-mail penulis adalah isharyantoisharyanto8@gmail.com.

Solopos.com, SOLO–Pada 2018 ini 171 daerah provinsi/kabupaten/kota akan menyelenggarakan pemilihan kepala daerah secara serentak. Banyak pengamat dan media massa menuliskan sekarang ada peluang pertambahan calon tunggal, yakni hanya sepasang calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah di suatu daerah.

Advertisement

Fenomena calon tunggal di Indonesia merupakan anomali. Di negara-negara berdemokrasi maju, seperti di Inggris, calon tunggal muncul di daerah-daerah dengan jumlah pemilih sedikit atau daerah pemilihan yang kecil. Kemunculan calon tunggal di daerah dengan skala pemilihan kecil ini tidak memengaruhi eksistensi partai politik.

Yang terjadi di Indonesia menunjukkan calon tunggal justru muncul di derah pemilihan besar dengan jumlah pemilih banyak dan di daerah yang kekuatan partai politiknya terdistribusi cukup baik. Di mayoritas negara multipartai ada kerangka hukum dan regulasi yang meniscayakan melantik calon tunggal sebagai pemenang pemilihan umum, baik melalui kontestasi pemungutan suara maupun aklamasi.

Di Amerika Serikat ada  uncontested election (pemilihan umum tanpa kontestasi) karena hanya ada satu pasang calon pemimpin setelah masa pendaftaran habis. Yang bersangkutan kemudian ditetapkan sebagai pemenang. Di Kanada dikenal dengan istilah aklamasi. Di Amerika Serikat istilahnya work over.

Advertisement

Fenomena calon tunggal dalam pemilihan kepala daerah serentak pada 2015 membuat Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara pemilihan umum pusing karena UU No. 8/2015 yang menjadi landasan hukum pemilihan kepala daerah belum mengakomodasi fenomena calon tunggal ini.

UU No. 8/2015 mensyaratkan pemilihan kepala daerah dapat berjalan apabila minimal ada dua calon (sebelum direvisi menjadi UU No. 10/2016). Dalam pemilihan kepala daerah serentak pada 2017 setidaknya ada 337 pasangan calon kepala dan wakil kepala daerah yang memperebutkan 101 jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Data KPU menunjukkan dari 101 daerah itu terdapat sembilan daerah yang hanya memiliki satu pasangan calon atau calon tunggal.

Sembilan daerah itu adalah Kota Tebing Tinggi, Kabupaten Tulang Bawang Barat, Kabupaten Pati, Kabupaten Landak, Kabupaten Buton, Kabupaten Maluku Tengah, Kota Jayapura, Kabupaten Tambrauw, dan Kota Sorong. Dari sembilan daerah yang memiliki calon tunggal tersebut, delapan di antaranya adalah calon kepala daerah petahana.

Selanjutnya adalah: Calon tunggal dapat mengikuti pemilihan kepala daerah

Advertisement

Mengikuti Pemilihan

Berdasar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 100/PUU-XIII/2015, calon tunggal dapat mengikuti pemilihan kepala daerah. MK berpandangan pemilihan kepala daerah adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat untuk memilih kepala daerah secara langsung dan demokratis. Pemilihan kepala daerah harus menjamin terwujudnya kekuasaan tertinggi di tangan rakyat.

MK menilai rumusan dalam norma UU tentang pemilihan kepala daerah, saat itu, secara sistematis menunjukkan pembentuk undang-undang menginginkan kontestasi berlangsung dengan setidaknya ada lebih dari satu pasangan calon, namun semangat kontestasi tersebut tidak disertai solusi saat terjadi kondisi hanya ada satu pasangan calon atau calon tunggal.

Advertisement

Hal tersebut diakomodasi dalam UU No. 10/2016 dengan berbagai ketentuan, misalnya pasangan calon tunggal diperbolehkan apabila KPU telah memperpanjang masa pendaftaran namun tetap saja tidak ada calon lain yang mendaftar. Calon tunggal juga diperbolehkan dengan catatan terdapat lebih dari satu calon yang mendaftar, namun dinyatakan tidak memenuhi syarat yang mengakibatkan ada calon tunggal.

Ketentuan UU saat ini sudah menjawab persoalan calon tunggal. Norma dalam UU yang disempurnakan telah mengatur metode pemilihan, yakni dalam surat suara terdapat dua kolom, satu untuk pasangan calon tunggal disertai foto, sedangkan kolom kedua kosong. Aturan mainnya, menurut UU No. 10/2016, calon tunggal dinyatakan menang jika mendapatkan suara lebih dari 50% dari suara sah.

Apabila raihan kurang dari 50% dari suara yang sah, yang menang adalah kolom kosong. Bagaimana jika kolom kosong menang? Dalam hal belum ada pasangan calon terpilih, terhadap hasil pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) pemerintah menugaskan penjabat gubernur, penjabat bupati, atau penjabat wali kota. Demikian bunyi Pasal 54D ayat (4) UU tersebut.

Merujuk referensi banyak negara dan belajar dari proses demokrasi Indonesia di tingkat desa, tahapan pemilihan kepala daerah bisa dilanjutkan dan calon tunggal bisa diuji dalam kontestasi pemungutan suara melawan kolom kosong dalam surat suara. Kalau calon tunggal memang dikehendaki pemilih dan mewakili kepentingan pemilih, calon tunggal pasti terpilih.

Advertisement

Jika calon tunggal lahir dari persekongkolan partai politik karena proses transaksi yang terjadi sejak awal, pemilih dan masyarakat akan menemukan jalan mengkritik dan melawan dengan menentukan pilihan yang berbeda. Ada ruang dan mekanisme koreksi yang bisa diberikan publik.

Selanjutnya adalah: Aturan main calon tunggal sudah dijamin undang-undang

Aturan Main

Persoalan calon tunggal dan aturan main calon tunggal memang sudah sudah terjawab oleh UU No. 10/2016, namun akar persoalan kenapa muncul calon tunggal ini belum sepenuhnya terselesaikan oleh regulasi tersebut. Ada beberapa penyebab yang dapat memunculkan calon tunggal dalam pemilihan kepala daerah.

Pertama, naiknya syarat dukungan calon dari partai politik. Kedua, kehadiran petahana yang cukup kuat sehingga membuat calon perseorangan kesulitan menjadi kompetitor lantaran keterbatasan waktu untuk mengumpulkan dukungan dan beratnya syarat. Ketiga, beberapa calon dengan latar belakang anggota DPR, DPD, atau DPRD yang semula menyosialisasikan diri maju dalam pemilihan kepala daerah membatalkan pencalonan karena kewajiban mundur dari lembaga legislatif.

Advertisement

Fenomena  calon tunggal menjadi anomaly sebab seharusnya partai politik menyajikan kader terbaik. Ranah edukasi politik untuk masyarakat terdampak pula. Pemilihan kepala daerah yang sejatinya menjadi media edukasi politik dan pesta demokrasi untuk masyarakat akan hilang substansinya karena tidak ada adu gagasan, debat terbuka, dan persaingan calon disebabkan calonnya hanya satu pasang. Ini adalah disfungsi demokrasi.

Partai politik berhitung sebelum mengeluarkan biaya politik yang tinggi untuk ikut dalam pemilihan kepala daerah. Partai politik mestinya mengedepankan demokratisasi dan eksistensi partai sebagai instrumen demokrasi dalam mengusung calon kepala daerah. Semestinya partai politik sejak awal menyiapkan kader dengan memperkuat basis suara dan memperkuat elektabilitas calon yang akan diajukan.

Persoalan partai politik yang semakin pragmatis menjadi berita hangat di berbagai media massa maupun media sosial. Pandangan publik terhadap buruknya sistem yang dibangun partai politik semakin jelas dengan hadirnya calon tunggal ini. Kegaduhan ini menjadi tugas berat partai politik demi memupuk kepercayaan publik sehingga tidak merusak dan menjadi ancaman bagi demokrasi Indonesia.

Substansi memilih pemimpin melalui pemilihan umum adalah legitimasi dari rakyat. Dapatkah kita katakan pasangan calon tunggal yang memenangi pemilihan umum memiliki legitimasi, padahal jumlah pemilih yang tak menggunakan hak suara lebih besar daripada suara yang memilih pasangan calon tunggal itu?

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif