Kolom
Rabu, 17 Januari 2018 - 05:00 WIB

GAGASAN : Haul dan Risalah Maulid Simtuddurar

Redaksi Solopos.com  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Muhammad Dalhar (Istimewa).

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Selasa (09/01/2018). Esai ini karya Muhammad Dalhar, alumnus Program Studi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret dan anggota Jemaah Ahbabul Musthofa. Alamat e-mail penulis adalah mbahdalhar7@gmail.com

Solopos.com, SOLO–Haul Habib Ali kembali digelar. Jauh hari sebelum acara dilaksanakan, informasi seputar acara haul tersebar di media sosial. Bagi masyarakat yang terbiasa mengikuti haul, informasi tersebut menjadi pengingat. Bagi yang belum pernah datang, haul di Solo ini mengundang rasa penasaran.

Advertisement

Tidak dapat dimungkiri lagi bahwa media sosial telah menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Berbagai informasi seputar haul di Solo dengan mudah didapatkan melalui media sosial, termasuk siaran langsung (live streaming).

Tentu saja siaran langsung sangat membantu mereka yang berhalangan hadir menyimak haul Habib Ali di Solo yang tahun ini diperingati ke-106 kali. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), haul diartikan sebagai peringatan hari wafat seseorang yang diselenggarakan setahun sekali yang  biasanya disertai selamatan arwah.

Sedangkan ”haul Solo” merupakan istilah yang lazim dipakai untuk menyebut peringatan satu tahun wafatnya Habib Ali Alhasyi, penulis kitab Maulid Simtuddurar. Dalam buku Biografi Habib Ali Habsyi Muallif Simtuddurar (2010) dijelaskan Habib Ali dilahirkan di Qasam, sebuah kota di Hadramaut, pada 24 Syawal 1259 Hijriah atau tahun 1838 Masehi.

Advertisement

Pada usia 11 tahun ia hijrah ke Seiwun untuk memperdalam ilmu agama. Di kota itu pula Habib Ali berdakwah dan mengajar para penuntut ilmu. Banyak murid Habib Ali yang kemudian meneruskan ilmu yang mereka diperoleh, bukan hanya di kawasan Hadramaut, tetapi juga tersebar di Afrika dan Asia, termasuk di Indonesia.

Habib Ali Alhabsyi wafat di Seiwun pada usia 74 tahun, bertepatan dengan 20 Rabiulakhir 1333 Hijriah atau tahun 1912 Masehi. Pada tanggal itu–20 Rabiulakhir–secara rutin haul Solo digelar. Beberapa tahun terakhir, jemaah yang mengikuti haul dapat dikatakan relatif bertambah. Tidak hanya kalangan masyarakat Soloraya, melainkan juga masyarakat dari kota-kota lain di Indonesia.

Selanjutnya adalah: Terbukti dalam haul Solo tahun 2017

Advertisement

Haul Solo

Hal ini saya buktikan sendiri dalam haul Solo tahun 2017 lalu. Saya menjumpai jemaah dari Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Mereka sengaja hadir untuk mengikuti haul, bukan urusan yang lain. Demikian pula dengan para habib (habaib) yang hadir banyak berasal dari dari luar Kota Solo, bahkan luar negeri seperti Malaysia, Singapura, dan Hadramaut.

Acara haul pada awalnya diselenggarakan oleh keturunan (durriyah) Habib Ali Alhabsyi yang berdomisili di Kota Solo. Semakin ramainya jemaah yang hadir dalam majelis haul menjadikan Pemerintah Kota Solo turut ambil bagian dalam menyukseskan acara tersebut. Komitmen itu diwujudkan dengan memasukkan haul Solo sebagai agenda tahunan pemerintah.

Pemerintah Kota Solo menyadari setiap kali acara haul Solo digelar, geliat ekonomi di Kota Solo meningkat pesat dalam hitungan hari. Berbagai sektor yang mencakup dari jasa penginapan, transportasi, kuliner, toko kelontong, sampai pusat perbelanjaan turut menikmati dampak acara haul.

Advertisement

Secara garis besar, umumnya masyarakat yang melakukan tradisi selamatan atau haul adalah kelompok muslim tradisional atau kultural. Kelompok ini didefinisikan sebagai komunitas yang mewujudkan diri mereka secara substantif dalam lembaga-lembaga kebudayaan dan peradaban Islam.

Dalam hal ini Islam kultural dapat terwujud dalam bidang dakwah, pendidikan, pesantren, seni, dan kebudayaan. Secara lebih sempit lagi, Islam kultural identik dengan “Islam ritual” atau “Islam masjid” yang tidak ada hubungannya dengan politik dan kekuasaan (Azyumardi Azra, 2009).

Kemasyhuran haul Solo tidak dapat dilepaskan dari karya monumental Habib Ali Alhabsyi, Maulid Simtuddurar. Selama belasan tahun belakangan pembacaan karya Habib Ali itu kian terasa di tengah masyarakat dalam berbagai acara seperti Maulid Nabi Muhammad SAW, tasyakuran, pernikahan, peresmian rumah, peresmian kantor, dan masih banyak lainnya.

Dapat dikatakan bahwa para jemaah yang datang ke acara haul Solo adalah pecinta (muhibbin) Rasulullah Muhammad SAW yang mengekspresikan raca cinta itu melalui pembacaan dan penelaahan karya Habib Ali Alhabsyi. Karya yang berisi 14 bab tentang kepribadian Rasulullah Muhammad SAW itu tidak dapat dikatakan sebagai karya biasa karena lebih dari 100 tahun setelah ditulis di Seiwun, Hadramaut, karya tersebut  sudah tersebar luas dan masih terus dibaca sampai sekarang.

Advertisement

Selanjutnya adalah: Habib Ali menulis karya monumental

Monumental

Habib Ali menulis karya monumental itu saat memasuki usia senja, 68 tahun. Habib Ali mulai menuliskan maksudnya itu pada  26 Safar 1327 H atau tahun 1906 Masehi. Secara bertahap dari bab ke bab dia tulis. Keseluruhan karya baru selesai pada 12 Rabiulawal tahun yang sama.

Karya tersebut diberi judul Simthuddurar fii Akhbar Maulid Khairil Basyar wa Maa Lahu min Akhlak wa Aushaaf wa Siyar (Untaian Mutiara Kisah Kelahiran Manusia Utama: Akhlak, Sifat, dan Riwayat Hidupnya). Di Indonesia lebih populer dengan nama Maulid Simtuddurar.

Kali pertama Maulid Simtuddurar dibacakan di rumah Habib Ali Alhabsyi, kemudian di rumah muridnya, Habib Umar bin Hamid. Selama bulan Rabiulawal pada tahun itu Habib Ali membacakan karyanya secara bergantian di rumah muridnya. Karya Habib Ali kemudian mulai tersebar luas di Seiwun, juga di seluruh Hadramaut.

Advertisement

Dalam perkembangan selanjutnya, karya Habib Ali tersebar di Mekah dan Madinah, Afrika, Malaysia, dan Indonesia. Masuknya tradisi pembacaan Maulid Simtuddurar di Indonesia, terutama di Kota Solo, tidak lepas dari putra bungsu Habib Ali, Habib Alwi bin Ali Alhabsyi.

Habib Alwi adalah pendiri Masjid Riyadh di kawasan Pasar Kliwon, Solo. Sampai sekarang, secara rutin setiap Kamis malam diselenggarakan pembacaan Maulid Simtuddurar. Dalam salah satu maqolahnya, Habib Ali berkata munculnya Maulid Simtuddurar pada zaman ini  akan menyempurnakan kekurangan orang-orang yang hidup pada akhir zaman.

Tidak sedikit pemberian Allah SWT kepada orang-orang terdahulu yang tidak dapat diraih oleh orang-orang zaman akhir, tetapi setelah Maulid ini datang, ia akan menyempurnakan (keutamaan) yang telah terlewatkan. Bagi para pencinta selawat, tentu saja haul Habib Ali di Kota Solo menjadi pengobat kerinduan dengan penulis yang menghubungkan mahabbah dengan Rasulullah Muhammad SAW itu.

Sepulang dari haul Solo ada harapan di benak masing-masing orang yang hadir bahwa mereka akan membawa rahasia-rahasia (asrar) dari pembacaan riwayat hidup, nasihat-nasihat, dan karya Habib Ali Alhabsyi.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif