Jogja
Senin, 15 Januari 2018 - 16:55 WIB

KEMISKINAN INDONESIA : Yang di Atas Pusing, yang di Bawah Enak-Enak

Redaksi Solopos.com  /  Nina Atmasari  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi kemiskinan. (JIBI/Solopos/Dok.)

Pengentasan kemiskinan yang hanya mengandalkan skema bantuan dana dari Pemerintah dinilai tidak akan efektif

Harianjogja.com, JOGJA--Pengentasan kemiskinan yang hanya mengandalkan skema bantuan dana dari Pemerintah dinilai tidak akan efektif, selama masyarakat miskin yang dituju merasa baik-baik saja dengan kemiskinan.

Advertisement

Untuk itu, elemen swasta, perguruan tinggi dan masyarakat harus ambil bagian dengan melakukan edukasi demi meruntuhkan budaya kemiskinan.

Hal tersebut disampaikan oleh Ekonom dan sekaligus mantan Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Profesor Edy Suandi Hamid untuk menanggapi tingginya angka kemiskinan dan ketimpangan di DIY. Gini ratio DIY, tercata ada di angka 0,440, sedangkan jumlah rumah tangga miskin mencapai 12,36%.

Advertisement

Hal tersebut disampaikan oleh Ekonom dan sekaligus mantan Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Profesor Edy Suandi Hamid untuk menanggapi tingginya angka kemiskinan dan ketimpangan di DIY. Gini ratio DIY, tercata ada di angka 0,440, sedangkan jumlah rumah tangga miskin mencapai 12,36%.

Prof Edy mengatakan, ketika para cerdik pandai dan pemangku kebijakan kerap pusing mencari cara untuk menurunkan angka kemiskinan, tapi kadang yang akan dibantu kerap merasa tak perlu dibantu.

“Yang miskin kadang merasa enggak butuh bantuan, ‘saya uda merasa seneng kayak gini’. Ini yang disebut dengan budaya kemiskinan. Kita mikir, perlu dibantu, tapi mereka tenang tenang saja. Ini yang penting merubah mindset adalah lingkungan. Enggak cukup pemerintah nge-drop dana, tapi harus ada edukasi oleh lingkungan,” ucapnya di Kompleks Kepatihan, akhir pekan lalu.

Advertisement

“Kami tidak menggunakan anggaran pemerintah, tapi cari sendiri dengan mobilisasi dana, mungkin dengan melibatkan pengusaha sekitar. Tujuannya untuk menurunkan kemiskinan secara substantif, bukan statistik,” tambahnya.

Lebih lanjut Edy menerangkan, dana desa juga tak kalah potensial menurunkan kemiskinan serta memangkas jurang antara si kaya dan si miskin.

Apalagi, kata Edy, saat ini pemerintah sudah tidak memperbolehkan swakelola dana desa dikendalikan oleh pihak ketiga. Ia yakin, jika hal tersebut bisa berjalan dengan baik, maka pendapatan mereka yang kurang mampu bisa terkerek naik.

Advertisement

“Tenaga kerja lokal bisa dipakai dan mutliplier effect-nya bisa terwujud. Misalnya, dana yang masuk desa Rp1 juta, 80 persen akan beredar disana, maka Rp1 juta jadi Rp4 juta, ini mutliplier efek. Tapi kalau diborongkan [melibatkan pihak ke tiga], dana Rp1 juta, mungkin yg beredar 20 persen,” ucapnya.

Dana desa, ucapnya, adalah dana strategis yang ketika dimanfaatkan dengan baik akan mampu membawa masyarakat menuju kesejahteraan.

Namun, ia mengungkapkan, hal itu sejauh ini belum terjadi, sebab masih banyak kasus korupsi oleh aparat desa. Oleh karena itu pengawasan harus lebih diperketat.

Advertisement

Sementara itu, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) DIY JB Priyono menyarankan pemerintah tidak membuat program intervensi kemiskinan yang normatif; judul yang sangat keren tapi implementasinya tidak kena sama sekali. Sebab, selama ini rumah tangga yang disasar keliru.

Ia menyebut ini dengan inclusion error dan exclusion error. Inclusion Error adalah rumah tangga yang sebenarnya sejahtera, tapi mendapat bantuan, sementara exclusion error, masyarakat yang kurang sejahtera dan pantas jadi sasaran, malah tidak dapat bagian. “Saya hanya ingin mengingatkan itu ke pemerintah,” tutupnya.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif