Kolom
Jumat, 12 Januari 2018 - 05:00 WIB

GAGASAN : Pribumi dalam Kuasa Kata

Redaksi Solopos.com  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Aris Setiawan (Istimewa)

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Kamis (26/10/2017). Esai ini karya Aris Setiawan, pengajar di Institut Seni Indonesia (ISI) Solo. Alamat e-mail penulis adalah segelas.kopi.manis@gtmail.com. 

Solopos.com, SOLO–Pada 19 juli 1913 terbit artikel berjudul Als ik een Nederlander was (Andai Saya Seorang Belanda) di Majalah De Express. Artikel itu menjadi polemik berkepanjangan yang mengakibatkan penulisnya dipenjara dan kemudian diasingkan ke negeri Belanda.

Advertisement

Ki Hadjar Dewantara, sang penulis, merasa perlu melawan penguasa kolonial Belanda secara terbuka karena dirasa kejam dan sewenang-wenang. Dari artikel itulah istilah “pribumi” menjadi simbol yang menegaskan pamrih perjuangan dan harga diri.

Artikel itu dibuat untuk mengkritik anjuran pemerintah kolonial Belanda agar masyarakat di negeri ini turut merayakan seratus tahun kemerdekaan Belanda. Bagi Ki Hadjar, bagaimana mungkin satu negara merayakan kemerdekaannya di saat yang bersamaan negara itu menjajah negara lain?

Dalam artikel itu Ki Hadjar menggunakan kata “inlander”, ejekan bagi penduduk asli Indonesia pada masa penjajahan Belanda yang dapat pula diartikan sebagai: pribumi. Ki Hadjar dengan sengaja menggunakan kata itu karena hendak menunjukkan bahwa kaum pribumi (yang sering kali dianggap tak beradab, uncivilized) juga memiliki perasaan sebagaimana selayaknya manusia normal.

Advertisement

Artikel tersebut menunjukkan bahwa kata ”pribumi” sekaligus juga digunakan sebagai wujud pembangkangan dan perlawanan terhadap keterjajahan. Setelah itu kata tersebut memiliki kuasa yang tak berhenti dalam deretan huruf, namun berpendar dalam berbagai wacana dan konsep.

Selanjutnya adalah: Istilah pribumi menjadi garis demarkasi…

Garis demarkasi

Advertisement

Istilah pribumi menjadi garis demarkasi yang membadakan antara yang asli dan tak asli, yang hitam dan putih, terjajah dan penjajah, serta yang pendek dan tinggi. Dalam masa penjajahan kata itu menjadi sakral diucapkan karena mengandung dua konsekuensi: di satu sisi wujud penghinaan (direndahkan), tapi di sisi lain menjadi simbol perjuangan.

Dalam wacana kultural kata “pribumi” juga menemukan ruangnya. Dalam musik misalnya, gamelan dianggap sebagai musik pribumi (Jawa) yang dibenturkan dengan musik klasik berbau Eropa. Para misionaris (etnomusikolog) Eropa awalnya menganggap musik pribumi sebagai hasil budaya primitif, terbelakang, dan bercitarasa purbawi.

Berbeda dengan musik klasik Barat yang modern dan canggih. Kemudian timbul gerakan untuk menyejajarkan musik pribumi dengan musik Barat. Diawali dari karya berjudul Kinanthie Sandoong pada 1916. Karya itu terilhami dari tembang di Jawa (Kinanthie) semasa pemerintahan Mangkunagoro IV, namun digarap untuk soprano dan piano.

Berikutnya gerakan untuk menyejajarkan musik pribumi dilakukan secara sporadis dengan mendengung-dengungkan gamelan sebagai musik “adiluhung”,  bahkan mendirikan sekolah-sekolah gamelan. Kata pribumi menjadi lazim diucapkan untuk memberi penekanan sekaligus pengingat bahwa kita adalah kaum terjajah.

Advertisement

Hal ini mematik semangat pemberontakan. Kata yang awalnya digunakan untuk “menjinakkan” kaum terjajah itu menjadi kata yang membangkitkan gairah untuk menentang atau memberontak. Meminjam Istilah Benedict Anderson tentang “kuasa kata”, kata pribumi memproduksi nilai dan tafsir-tafsir baru.

Hal ini mengingatkan kita saat Orde Baru berkuasa, produksi kata yang digunakan kemudian sering kali lepas dari arti dasarnya. Kata “bapak”, misalnya, menjadi sangat sakral dan wigati. Bukan semata berkisah tentang orang tua, tapi juga kekuasaan yang cenderung politis dan absolut.

Selanjutnya adalah: Kata bapak menegaskan tentang penghormatan

Advertisement

Bapak

Kita lalu menyebut Soeharto sebagai “bapak bangsa” dan “bapak pembangunan”. Kata bapak sekaligus menegaskan tentang penghormatan yang harus diberikan. Rakyat Indonesia adalah anak-anak ingusan yang wajib sopan dan takut kepada sang bapak.

Sepatah kata yang dikeluarkan adalah produksi citra dari penguasa. Pada zaman ini kita lekat dengan frasa ”revolusi mental”, pada era sebelumnya ada frasa kata ”lebih cepat lebih baik”. Kata-kata itu dibuat untuk memberi ingatan pada penguasa dan kekuasaan.

Begitu juga dengan kata ”pribumi”. Kata itu mengandung konsekuensi pada dimensi mental saat kita harus mengingat dan mengenang nasib buruk bangsa ini akibat keterjajahan dan perbudakan. Ironisnya kata itu pada hari ini menjadi sebentuk ruang untuk mengejek, menjatuhkan, menyindir, dan menghina pihak lain.

Dengan kata itu, di satu sisi, ada upaya untuk menempatkan diri sebagai yang terjajah, terzalimi, tersakiti, dan teraniaya. Di sisi lain, kata itu juga menegaskan tentang pembebasan dan kemenangan dengan ungkapan ”kini saatnya pribumi jadi tuan rumah di negerinya sendiri”, sebagaimana ungkapan pidato Gubernur  DKI Jakarta Anies R. Baswedan.

Kata ”pribumi” menjadi sangat tendensius untuk diungkapkan saat negeri ini telah jauh merengkuh kemerdekaan. Kata ”pribumi’ mengalami penyempitan arti, bukan semata berkisah tentang terjajah dan penjajah, namun juga tentang suku, agama, ras, dan golongan.

Advertisement

Selanjutnya adalah: Mudah menyebut diri pribumi

Mudah Menyebut

Kita kemudian begitu mudah menyebut diri pribumi sementara yang lain nonpribumi (penjajah?) hanya karena perbedaan agama dan suku. Kita begitu mudah menuduh yang lain berbeda dengan kita hanya karena warna kulit, mata, dan bentuk fisik lainnya.

Hal ini melempar ingatan kita pada hinaan-hinaan kaum kolonial yang menganggap diri mereka beradab, maju, dan modern, sementara yang lain adalah sebaliknya. Kita seakan-akan dibawa untuk kembali mengingat tentang permusuhan dan kebengisan.

Pada konteks tertentu, kata ”pribumi” menjadi banal untuk diucapkan karena hal itulah muncul Instruksi Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tentang Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan Nonpribumi dalam Semua Perumusan dan Penyelenggaraan Kebijakan, Perencanaan Program, atau Pelaksanaan Kegiatan Penyelenggaraan Pemerintahan.

Tujuannya agar tak lagi memunculkan konflik berbasis sentimen suku, agama, ras, dan golongan antarsatu dengan yang lain. Bagaimanapun juga, negeri ini dibangun dari keragaman dan perbedaan, tak usah kembali dipecah belah dengan bermodalkan “kuasa kata” yakni: pribumi dan nonpribumi.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif