Kolom
Kamis, 11 Januari 2018 - 05:00 WIB

GAGASAN : Yang Dipungut dari UWRF 2017

Redaksi Solopos.com  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Na'imatur Rofiqoh (istimewa)

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Sabtu (4/11/2017). Esai ini karya Naimatur Rofiqoh, peserta emerging writers di Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) 2017 di Ubud, Bali, 25-29 Oktober 2017. Alamat e-mail penulis adalah naimaturr@gmail.com.

Solopos.com, SOLO–”Jadi, saya diundang jauh-jauh dari Jogja hanya untuk menutup acara?” ujar Joko Pinurbo alias Jokpin. Wajahnya menyiratkan kesan—dalam penangkapan saya–agak kemrungsung.

Advertisement

Bibir tebal itu semakin tidak seksi saat tertarik ke bawah. Sesi Tanah Airku yang salah satu program utama Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) 2017 hampir sampai ujungnya. UWRF 2017 diselenggarakan pada 25-29 Oktober lalu.

Mungkinkah semalam seseorang berhasil ”merongrong pancarindu” dan ”mengobarkan Sumpah Pemuda” di bibir penyair itu? Hanya Tuhan yang tahu penyebab ia datang sangat terlambat.

Pendengar yang berbahasa Indonesia terkekeh. Para bule baru tertawa setelah kalimat humoris tragis itu berhasil memasuki mata pikir bahasa Inggris mereka lewat terjemahan Andreas Harsono.

Advertisement

Jokpin membacakan puisi Pemeluk Agama yang termuat di  Buku Latihan Tidur (2017). Pembacaan puisi itu jadi gagal lucu saat Andreas berusaha menjelaskan kepada para bule tautan kebahasaan ”pemeluk (agama) teguh” dan ”Teguh si tukang bakso” yang tak butuh dipeluk-peluk lagi.

Sayup-sayup telinga saya malah mendengar kalimat-kalimat pemula puisi Kamus Kecil: Saya dibesarkan oleh bahasa Indonesia / yang pintar dan lucu walau kadang rumit / dan membingungkan.

Di festival sastra dan seni yang (konon) terbesar se-Asia Tenggara dan berlangsung di Indonesia ini, bahasa Indonesia terasa jadi anak haram yang tak dikehendaki, tersisih di kedinginan pojok ruangan. Bahasa Indonesia sama sekali tak ”pintar dan lucu” karena yang pintar dan bisa melucu di sana hanyalah bahasa Inggris.

Selanjutnya adalah: Telinga mendengar semua suara

Advertisement

Telinga

Saya mungkin tak mau, tetapi telinga mendengar semua suara. Tubuh-tubuh berkulit putih dan berambut pirang itu berucap dalam bahasa yang tak akrab di telinga orang-orang berbahasa Indonesia. Saya masih berada di Indonesia, tetapi tubuh saya seperti melangkah di tanah asing.

Ah, atas nama nasionalisme, saya tentu bisa mengutuk festival ini: gagal menjelaskan identitas Indonesia! Festival ini memang bernama ”Ubud Writers and Readers Festival”, bukan ”Festival Pembaca dan Penulis Ubud”. Sejak dalam janin bahasa, festival tak ingin sok nasionalis, tak juga bermaksud mempersembahkannya demi orang Indonesia semata.

Advertisement

Sesi utama festival selalu berlangsung dalam bahasa Inggris dan mendatangkan ratusan penulis dari berbagai negara yang menginginkan diri mereka dimengerti sebagai bagian dari festival warga dunia, bukan (Cuma warga) Indonesia.

Para penulis njedhul (emerging) yang dilahirkan dari rahim festival ini memeluk harapan agar kelak tulisan mereka menemui para pembaca di negeri-negeri jauh. Dalam festival bertajuk ”internasional” dan menghadirkan penulis dari berbagai negara, penggunaan bahasa internasional (kali ini bahasa Inggris) tak berarti menistakan bahasa Indonesia.

Bagi para penulis Indonesia yang tak bisa berbahasa Inggris disediakan penerjemah yang akan menyambungkan penulis dengan pendengar berbahasa Inggris, meski kadang-kadang penerjemahan itu tak selalu tepat dengan maksud penulis. Festival hanya bersikap wajar, menempatkan bahasa pada tempatnya.

Kita malah sering menemui festival-festival yang dibikin oleh orang Indonesia, untuk orang Indonesia, berlangsung di suatu tempat di Indonesia malah dengan “gagah berani” menggunakan bahasa asing demi menunjukkan keidonesiaan.

Advertisement

Laila Sari di buku Penimba Bahasa (2017) menulis esai berjudul Festival di Indonesia: Pertaruhan Bahasa dan Identitas Keindonesiaan. Dia mencatat beberapa macam festival berasa bahasa asing yang sebagian besar diselenggarakan di Kota Solo.

Selanjutnya adalah: Berbagai festival dinamai dengan bahasa Inggris

Festival

Festival-festival itu adalah Solo Batik Carnival, Batik is My Life, Imlek Festival, Solo Keroncong Festival, Bamboo Biennale, International Dance Festival, Solo Indonesia Culinary Festival, Jakarta Dance Festival, Solo International Performing Arts (SIPA), Wonderful Indonesia Culinary and Shopping Festival.

Para penyelenggara festival-festival itu tak menamai festival demi Indonesia itu dengan bahasa Indonesia, seperti Karnaval Batik Solo, Festival Kuliner Solo Indonesia, Festival Keroncong Solo, atau Festival Belanja dan Kuliner Indonesia Hebat. 

Advertisement

Festival-festival itu diselenggarakan konon karena ingin ”melestarikan budaya Indonesia”, tetapi pembikin festival malah lebih percaya kuasa bahasa asing untuk menjelaskan Indonesia lewat festival. ”Kita tidak lagi bisa menerima apabila bahasa-bahasa asing bergerak menjadi bahasa identitas, kebudayaan, serta nasionalisme bagi Indonesia,”ujar Laila Sari. Heroik.

Banyak festival di kota-kota di Indonesia diadakan oleh dan untuk orang Indonesia malah menistakan bahasa Indonesia. Di luar peristiwa berfestival, barangkali mereka adalah warga berbahasa Indonesia pengidap xenoglosofilia.

Itu adalah kesenangan bahasa asing, kata Ivan Lanin di Kompas tempo hari. Sesama orang Indonesia senang bercakap-cakap dalam bahasa Inggris. Di desa saya yang berbahasa Jawa setiap hari, mereka yang kembali dari bekerja di kota bakal ngomong berbahasa Indonesia pada sesama wong ndesa. Wadhuh.

Selanjutnya adalah: Telinga bahasa dibikin bingung

Bingung

Telinga bahasa dibikin bingung dengan bahasa melangit tetapi sesungguhnya hanya menjelaskan penjatuhan martabat bahasa oleh penuturnya sendiri. Mulut-mulut berbahasa Indonesia pun girang menyebut diri sebagai  ”kids zaman now” dan tak juga mau menggunakan kata gawai, swafoto, unduh, unggah, laman, …

Festival Pembaca dan Penulis Ubud 2017 usai dalam gempita musik, jogetan, dan tubuh-tubuh teler tergoda wine, anggur, dan vodka. Saya tentu akan mengingat peristiwa paling literer dalam hidup saya ini. Para penulis njedhul (emerging) Indonesia, girang menghadiri perayaan sastra dan seni dalam balutan pesta, dansa-dansi, alkohol.

Kapan lagi berjumpa minuman keras tak berbayar yang boleh diminum sak telermu. Mereka berbangga menghadiri acara pemberian penghargaan sepanjang masa (lifetime achievement) UWRF 2017 untuk Nh. Dini lewat makan-makan mewah tanpa obrolan atau edaran tulisan persembahan untuk nenek tua yang masih nekat menulis itu.

Film biografi Nh. Dini yang dibikin Lontar malah tak ada yang memerhatikan. Para penulis njedhul Indonesia sibuk berswafoto di depan dekorasi festival, meminta foto bersama para penulis Indonesia yang belum tentu tulisannya habis mereka baca, bersama warga negara asing yang hanya sempat singgah dalam obrolan tiga menit, atau di depan penginapan.

Foto segera diunggah di Instagram lalu mengaku telah berhasil berada di festival sastra dan seni paling bergengsi di seantero Indonesia. Sedangkan foto-foto itu tak menyisakan bekas apa-apa selain bukti papasan sejenak, bukan perjumpaan mesra.

Pada hari terakhir, terhadi keributan kecil. Para penulis njedhul ingin membeli oleh-oleh di Pasar Sukowati: kain pantai, gantungan kunci, celana kolor, kaus, pokoknya oleh-oleh dari Bali! Oh, rupanya mereka diundang sebagai penulis, tetapi pulang sebagai wisatawan.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif