Jogja
Kamis, 4 Januari 2018 - 07:40 WIB

Buya Syafii Maarif Sebut Indonesia Harus Belajar dari Tiongkok

Redaksi Solopos.com  /  Bhekti Suryani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Syafii Maarif (JIBI/Solopos/Antara)

Sejumlah tokoh berbicara mengenai ketimpangan sosial di Indonesia.

Harianjogja.com, SLEMAN–Indonesia dinilai perlu meniru Tiongkok dalam menjinakkan uang untuk mengatasi ketimpangan sosial. Perhimpunan Indonesia Tiongkok (Inti) menggelar sejumlah program untuk membantu mengatasi persoalan ketimpangan dengan mengandeng sejumlah tokoh.

Advertisement

Para tokoh itu bertemu untuk melakukan pembahasan terkait ketimpangan ekonomi di Westlake Resort, Trihanggo, Gamping, Sleman, Rabu (3/1/2018).

Tokoh Buya Syafii Maarif mengelu-elukan Tiongkok yang memiliki jumlah penduduk sekitar 1,4 miliar namun pembangunan sumber daya manusianya tergolong luar biasa. Bahkan, saat ini Amerika Serikat berhutang dengan Tiongkok, dan beberapa negara lain.

Seharusnya Indonesia dapat belajar dengan Tiongkok bahkan negara manapun. Tetapi, mantan Ketua PP Muhammadiyah ini masih melihat kekurangan Indonesia, yaitu enggan belajar menjinakkan uang. “Teman-teman [pengurus Inti], pintar sekali piawai menjinakkan uang, dan kita enggak belajar, maka kita perlu belajar sama mereka ini. Ambil yang positif saja, memang yang kurang tentu ada, tetapi kita perlu ambil positifnya,” ungkap mantan Ketua PP Muhammadiyah ini.

Advertisement

Buya lebih sepakat tindakan nyata tanpa harus melalui kesepakatan formal. Butuh aksi nyata untuk membangun bangsa buka sekadar menggelar MoU alias nota kesepahaman semata.

“Saya barusan dapat pesan dari Sudamek, salah satu tokoh yang mendirikan Inti. Bahwa yang penting sila kelima Pancasila harus dibawa turun ke bumi melawan ketimpangan. Kalau Jokowi terpilih lagi, tahun 2024 itu desa tertinggal yang saat ini ada 36% itu nanti tinggal 10%. Kalau itu terjadi, nanti demo-demo enggak ada lagi, rumput keringnya sebenarnya sila kelima tidak menjadi pedoman dalam membangun selama Indonesia merdeka, jangan salahkan pengusahanya,” tegas Buya.

Desa tertinggal memang harus segera diatasi, jika tidak maka akan bermunculan penyakit sosial. Ia menambahkan, saat ini pemerintah lebih banyak mendorong pembangunan infrastruktur namun masih kurang untuk pembangunan manusia. Sehingga pemerintah harus memperhatikan, seperti halnya saat orde baru ada pembangunan manusia seutuhnya.

Advertisement

Aktivis Jaringan Gusdurian Alissa Wahid menyatakan, pertemuan itu untuk membangun jembatan hubungan, mengingat akhir-akhir ini polarisasi berbagai kelompok masyarakat semakin menguat. Apalagi saat Pilkada DKI beberapa waktu lalu yang dipicu oleh sentimen agama yang kuat. Dalam kondisi perpecahan yang menajam terutama 2018 menjadi tahun politik di Indonesia, maka inisiatif mempertemukan berbagai kelompok masyarakat itu tergolong penting. “Pertemuan yang digagas pengurus Inti ini salah satunya. Perkumpulan ini justru mengajak kelompok masyarakat yang lain untuk memecahkan berbagai tantangan,”

Terutama, kata Alissa, tantangan berkaitan dengan ketimpangan sosial ekonomi. Berdasarkan data 2016, Indonesia termasuk terburuk ketiga di dunia setelah Rusia dan Thailand dalam hal ketimpangan ekonomi. Sehingga upaya mengatasi gap ekonomi itu sudah tidak bisa lagi hanya dengan mengandalkan negara. Namun harus ada berbagai sumbangsih elemen masyarakat melalui tindakan nyata.

Alissa mengutip pernyataan Richard Wilkinson dalam bukunya bertajuk The Spirit Level bahwa bukan pendapatan perkapita negara yang akan menentukan kualitas kehidupan di suatu negara tetapi kesenjangan atau ketimpangan ekonomi.

Negara yang memiliki gross domestic product (GDP) tinggi, namun kesenjangan juga tinggi maka kualitas kehidupannya buruk dan banyak problem sosial. “Ini yang akan coba kami atasi, dengan pengurus Inti dan pihak lain seperti NU, Muhammadiyah dan saya mewakili teman-teman Gusdurian ini bisa kita lakukan di berbagai tempat,” kata dia.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif