Kolom
Minggu, 31 Desember 2017 - 05:00 WIB

GAGASAN : Menghindari Tahun Politik Identitas

Redaksi Solopos.com  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Aminuddin (Istimewa)

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Jumat (22/12/2017). Esai ini karya Aminuddin, alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarat dan kini aktif sebagai analis politik di Literasi Politik dan Edukasi untuk Demokrasi (LPED). Alamat e-mail penulis adalah amin.basraton@gmail.com.

Solopos.com, SOLO — Tahun 2018 sudah di depan mata. Pintu tahun politik sudah dibuka selebar-lebarnya. Hal ini tidak lepas dari momentum pemilihan kepala daerah serentak pada 2018. Sesudah itu pada 2019 ada pemilihan presiden dan pemilihan anggota DPR/DPRD/DPD.

Advertisement

Ini artinya 2018 menjadi tahun paling sibuk bagi partai politik dan politikus untuk mengambil simpati publik. Sebanyak 171 daerah akan berpartisipasi dalam pemilihan kepala daerah serentak 2018. Pemilihan kepala daerah pada 2018 itu berlangsung di 17 provinsi, 39 kota, dan 115 Kabupaten, beberapa di antaranya di Pulau Jawa.

Tentu saja ini menjadi ujian bagi kematangan demokrasi kita. Sepanjang 2016 dan 2017 politik identitas menjadi salah satu strategi politik menggiring opini publik sehingga pertikaian di dunia maya dan dunia nyata tidak terhindarkan.

Menjelang tahun politik 2018, ternyata kabar atau berita palsu telah dimainkan. Baru-baru ini ada billboard hoaks yang menjadi viral di media sosial. Sebuah billboard di Kota Padang yang menyudutkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menjadi konten yang dibagikan banyak pengguna media sosial.

Advertisement

Dalam billboard tersebut ada tulisan bernada provokatif ”PDIP Tidak Butuh Suara Umat Islam”.  Setelah ditelusuri papan iklan tersebut ternyata hasil pengeditan. Tentu saja tulisan semacam itu sangat merugikan PDIP sebagai partai politik peserta pemilihan kepala daerah pada 2018.

Hajatan pemilihan kepala daerah pada 2016 bisa menjadi cermin tentang politik identitas yang cukup dominan. Pendangkalan terhadap keberagaman dan penggiringan isu terhadap identitas tertentu menjadi penanda politik identitas berdampak negatif yang luar biasa.

Selanjutnya adalah: Dalam praktik politik identitas

Advertisement

Praktik

Dalam praktik politik identitas, kaum minoritas menjadi sasaran empuk. Yang tidak seagama dianggap sebagai bagian dari ancaman. Dalam konteks inilah, meminjam istilah Presiden Joko Widodo, demokrasi yang dianggap sebagai pilihan terbaik dalam memilih pemimpin menjadi kebablasan.

Kita bisa dengan mudah menebak bahwa demokrasi kita memang kebablasan. Salah satu hal yang paling vulgar adalah ketika merespons perbedaan pandangan dalam politik, perbedaan pendapat, baik di ruang publik maupun media sosial. Nalar kritis yang dibangun melalui perbedaan pendapat tidak dimaknai sebagai kekayaan berwacana.

Nalar kritis dianggap sebagai ancaman terhadap eksistensi kelompok lain. Perbedaan pendapat dianggap sebagai musuh bersama yang mesti dijatuhkan. Mengapa politik identitas kerap menjadi salah satu cara bagi politikus kotor dalam demokrasi?

Advertisement

Pertama, demokrasi lahir dan berkembang di ruang simulacra. Teori simulacra atau simulacrum dipopulerkan oleh Baudrillard (1983). Simulacra merupakan simulasi yang menyerupai realitas aslinya. Dalam konteks politik, hajatan demokrasi seolah-olah dipraktikkan sesuai dengan aslinya.

Di ruang publik, demokrasi dikampanyekan dengan jargon dari, oleh, dan untuk rakyat. Demokrasi dijalankan seolah-olah dilakukan secara fair. Pada kenyataannya isu-isu primordial dan sentiment suku, agama, ras, dan golongan didistorsi untuk menumbangkan kekuatan politik lain atau politikus lain.

Secara ideologis, masyarakat Indonesia memiliki optimisme terhadap perubahan demokrasi setelah Orde Baru. Optimisme tersebut kerap tidak sejalan dengan keinginan elite politik, politikus kotor, terutama yang masih berafiliasi dengan Orde Baru. Ketika demokrasi dibangun oleh masyarakat sipil, elite sisa-sisa Orde Baru membangun kekuatan kontra agar proses perubahan tersebut tidak mengganggu mereka.

Selanjutnya adalah: Proses kontra ini diselundupkan

Advertisement

Diselundupkan

Proses kontra ini diselundupkan dalam proses demokrasi menyerupai aslinya. Kontra pendewasaan demokrasi ini didesain sedemikian rupa agar masyarakat sipil tidak menyadari.

Kedua, demokrasi lahir di tengah-tengah masyarakat era digital yang tidak diimbangi dengan literasi digital. Demokrasi yang berkembang sekarang ini langsung beririsan dengan tsunami informasi berbasis teknologi digital.

Ketika muncul perbedaan pendapat di media sosial langsung ditangkis oleh beragam komentar yang melahirkan kebencian. Ketika isu politik didesain dan dibumbui isu agama, masyarakat tanpa berpikir panjang memosisikan diri sebagai kelompok tertentu.

Tidak jarang satu kelompok dengan kelompok lainnya saling mengejek dan menyerang pribadi secara membabi buta. Jika dimaknai sebagai bagian dari rekonstruksi demokrasi, hal semacam itu seharusnya ditanggapi dengan argumentasi yang jelas sehingga isu-isu yang belum benar dapat disaring.

Advertisement

Inilah konsekuensi demokrasi yang mengekalkan kebebasan berpendapat. Dalam demokrasi, siapa pun dapat mengakses informasi. Informasi merupakan roh demokrasi. Informasi menjadi watchdog yang berfungsi sebagai lembaga pengawas dan pengontrol pemerintah. Informasi yang diperolah dari berbagai media adalah alat untuk mengawasi pemerintah.

Ketiga, demokrasi tumbuh, berkembang, ketika masyarakat Indonesia belum bisa menerima kaum minoritas dalam kancah politik lokal maupun nasional. Ketika ada individu atau kelompok lahir dari golongan yang tidak sama dengan golongan mayoritas, mereka dikucilkan, difitnah, dan dikriminalisasi.

Selanjutnya adalah: Yang diutarakan warga minoritas

Minoritas

Apa yang diutarakan warga minoritas itu acap kali dianggap menghina dan melecehkan kaum mayoritas. Jika diamati, langkah tersebut tidak lebih sebagai upaya ”menggoreng” dan menghalang-halangi kaum minoritas untuk berdemokrasi secara sehat.

Tentu hal semacam ini merupakan penistaan terhadap demokrasi kita. Gerakan model ini sengaja dilahirkan untuk melegitimasi proses-proses demokrasi. Ini layak disebut sebagai kaum yang miskin kreativitas dalam kontestasi demokrasi.

Kelompok ini layak disebut kalah, namun masih memaksa untuk menjadi penguasa. Akibatnya, demokrasi dimanipulasi dan diproduksi hanya untuk melanggengkan libido kuasa. Jika ini terus dibiarkan, tahun 2018 hanya akan menjadi bencana demokrasi karena politik identitas akan kian berkuasa.

Negeri ini akan sulit menjadi rumah bagi keberagaman serta mencapai tingkat demokrasi yang matang. Negeri ini hanya akan menjadi kumpulan orang-orang yang mencari suaka politik demi mengekalkan hasrat dan tirani kekuasan.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif