Kolom
Jumat, 22 Desember 2017 - 06:00 WIB

GAGASAN : Memasalahkan (Lagi) Literasi

Redaksi Solopos.com  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Setyaningsih

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Senin (11/12/2017). Esai ini karya Setyaningsih, penulis dan pembimbing ekstrakurikuler menulis di SD Al-Islam 2, Jamsaren, Kota Solo. Alamat e-mail penulis adalah langit_abjad@yahoo.com.

Solopos.com, SOLO–Setelah memperkenalkan diri, seorang lelaki muda berjaket hitam tidak mampu menahan luapan emosi. Dia tiba-tiba menangis di tengah hadirin yang menghening, di depan Presiden Pustaka Bergerak, Nirwan Arsuka. Di dekat Nirwan ada Umi Zuraidah, seorang perempuan pendidik di Pulau Sebatik, perbatasan Indonesia dan Malaysia.

Advertisement

Lelaki itu seorang penghafal Alquran, tapi merasa hina karena belum melengkapi hidupnya dengan ibadah sosial, memberi kepada sesama. Luapan emosi mengemka setelah mendengar pemaparan inspiratif, ngislami, dan militan dari Umi Zuraidah.

Lelaki itu langsung berkeputusan untuk hidupnya: mau bergabung dengan Umi Zuraidah tahun depan. Ia ingin bergerak, tapi bukan karena Pustaka Bergerak. Nah! Spanduk di belakang panggung Nirwan Arsuka dan Zuraidah bertuliskan ”Seminar Nasional, Gerakan Literasi Untuk Kemajuan Bangsa”.

Spanduk itu berwarna serbamerah sekaligus ada foto-foto para pembicara kunci dan narasumber seperti Muhadjir Effendy, Hilmar Farid, Najwa Shihab, dan lain-lain. Jangan dibayangkan semua orang beken literer pasti hadir. Ini adalah rangkaian agenda Kopi Darat Nasional (Kopdarnas) Penggiat Literasi #1 yang diselenggarakan Majelis Pustaka dan Informasi (MPI) Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) bertempat di Gedung Induk Siti Walidah pada 8-9 Desember 2017.

Advertisement

Di lantai VII gedung itu orang-orang mempermasalahkan (lagi) tentang bangsa dan nasib budaya literer dan literasi. Mereka berkumpul, berbagi, selfie, dan makan. Di koridor lantai VII juga ada lapak-lapak penjual buku.

Selanjutnya adalah: Kita selalu disapa agenda literasi yang bombastis

Bombastis

Advertisement

Kita selalu disapa agenda literasi yang bombastis, mengundang pembicara terkenal dan diikuti peserta dari seluruh Nusantara. Seminar nasional gerakan literasi di UMS ini juga mendatangkan Direktur PT Pos Indonesia, Kepala Perpusnas Syarif Bondo, dan petinggi-petinggi Muhammadiyah.

Mereka bermaksud menguatkan jaringan literasi lewat simbol penandatanganan kerja sama. Terulang lagi untuk kali kesekian dan diselenggarakan oleh pihak yang merasa prihatin dengan budaya literasi bangsa, ditegaskan dengan segalak-galaknya prestasi literasi Indonesia yang parah, remuk, dan terbawah.

Nirwan Arsuka yang mengawali sesi seminar pada Sabtu sore mengatakan sebenarnya enggan hadir dalam acara-acara literasi. ”Sudah basi!” kata dia. Nirwan Arsuka seolah-olah tidak mampu bergerak saat didaulat menjadi narasumber di tempat yang cenderung eksklusif.

Literasi tidak bergerak dari lantai VII gedung berpendingin ruangan dan berlift! Nirwan lebih banyak bercerita tentang gerakan-gerakan berpustaka di daerah. Nirwan memang tidak membawa serta buku-buku, apalagi anak sungguhan yang membaca buku. Foto-foto gerakan pustaka di layar putih cukup memberikan testimoni.

Advertisement

Dua dekade terakhir ini bisa dikatakan banyak komunitas di Indonesia yang gencar bergerak mengantarkan pustaka ke pelbagai wilayah. Ada becak pustaka, bendi pustaka, pedati pustaka, perahu pustaka, vespa pustaka, kuda pustaka, motor pustaka, dan pelbagai taman/rumah baca yang menggeser dogma negera-negara Barat sebagai negara penderma buku yang terdepan.

Nirwan juga menekankan Indonesia harus memproduksi buku yang bagus karena saat ini buku bagus pasti buku terjemahan. Buku-buku bacaan Indonesia terlalu didominasi kisah-kisah yang terlalu moralis, tidak ”bandel”, dan mengerdilkan imajinasi. Gerakan pustaka seharusnya tidak hanya tentang mengirim buku sebanyak-banyaknya dan gratis, tapi menciptakan buku bermutu dan imajinatif.

Selanjutnya adalah: Negara-negara Barat memang selalu berupaya

Advertisement

Berupaya

Negara-negara Barat memang selalu berupaya menyelamatkan budaya literasi di negara-negara dunia Ketiga. Sejak kemunculan badan amal, lembaga charity, atau aksi donatur bagi kemanusiaan, buku jadi sumbangan berarti bagi dunia.

Kita mengingat John Wood, mantan pejabat Microsof yang mendirikan organisasi nirlaba Room to Read untuk memberesi masalah pendidikan, perempuan, dan etos berbuku anak-anak. Di buku Mengembangkan Ruang Baca (2014), Wood bercerita bukan hanya karena harga buku yang mahal, faktor geografis dan resepsi atas buku makin menjadi kendala mendatangkan buku.

Di desa terpencil negara-negara dunia ketiga, buku benar-benar menjadi kemewahan di tengah kesulitan makan dan beban kerja harian rumah tangga. Setiap masa di pelbagai negara bersiap tidak hanya untuk melawan gesekan ras, krisis ekonomi, paceklik pangan dan air, tapi juga paceklik buku.

Paceklik melek baca biasanya lebih ganas melanda dan berjangka lebih panjang. Terasa ironis merasakan selama dua hari seminar ternyata sedikit sekali pihak pembicara atau peserta yang saling mengomongkan buku. Mereka lebih bersemangat mengomongkan teknis dan kuantitas: jumlah pengunjung perpustakaan, anggota taman baca, jumlah sumbangan buku, jumlah sukarelawan, jumlah komunitas, tata pengelolaan perpustakaan.

Nyaris tidak banyak banyak cerita tentang judul-judul buku yang telah sampai kepada anak-anak atau kisah efek buku itu ketika sampai kepada pembaca. Seingat saya, para pembicara yang semuanya terhormat jarang sekali menyebut judul buku yang berpengaruh dalam hidup mereka dan harus dibaca.

Advertisement

Mereka juga terlalu rendah diri menyebutkan bacaan-bacaan terakhir untuk mengecambahkan gairah bahwa para pemikir dan penggerak budaya literasi memang orang yang terus-menerus membaca, bukan orang yang dahulu pernah membaca atau hanya menyuruh membaca tapi dirinya tidak membaca.

Selanjutnya adalah: Sungguh nuansa seminar jauh dari daya magis

Daya Magis

Sungguh nuansa seminar jauh dari daya magis seolah-olah memasuki lorong berbuku Perpustakaan Ajaib Bibbi Bokken (Jostein Gaarder dan Klaus Hagerup, 2011) atau menyimak kegilaan orang-orang di Rumah Kertas (Carlos Maria Dominguez, 2016). Saya seperti kesusahan menemukan pembaca di acara sosialisasi budaya membaca!

Bukankah ini masalah tatkala para penggerak literasi (ketua komunitas, pustakawan, sukarelawan) adalah pihak yang sudah pensiun dari membaca dan menulis? Tugas menggerakkan budaya literasi seolah-olah hanya menyebarkan buku, menghimpun sponsor, mengurus pengiriman, menata buku, membuat program, dan akhirnya terdampar di acara-acara bincang literasi sebagai narasumber.

Tentu yang tidak dapat berubah bahwa sosialisasi gerakan literasi, terutama membaca, selalu bermula dari kesimpulan bahwa orang-orang (lain) tidak membaca. ”Aku” yang masih membaca dan purna membaca tidak dimasalahkan.

Di ruang yang sejuk dan berkursi empuk, di pojokan tampak tiga lelaki tidur nyenyak seolah-olah terbuai setelah menerima dongeng tentang literasi. Saya ingat orang-orang masih sempat tergelak bangga sekaligus mengangguk-angguk tatkala Ketua Perpustakaan Nasional bersemangat mengatakan hanya di Indonesia gerakan membaca terus disosialisasikan dengan galak.

Dia berkata di negara lain tidak ada yang peduli soal ini. (Bah…apakah kita harus bangga untuk terus dioyak-oyak agar bangun dari kubangan malas berbuku?). Sekali lagi, hadirin bangga dan bertepuk tangan!

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif