Kolom
Kamis, 21 Desember 2017 - 06:00 WIB

GAGASAN : Foto untuk Merayakan Buku

Redaksi Solopos.com  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Satya Adhi

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Kamis (14/12/2017). Esai ini karya Satya Adhi, mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sebelas Maret dan aktif di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Kentingan. Alamat e-mail penulis adalah adhii.satya@gmail.com.

Solopos.com, SOLO–Di Hindia Belanda kehadiran buku dalam foto kira-kira terjadi pada awal abad ke-20. Kita bisa menyaksikannya dalam buku keluaran penerbit buku Islam masyhur di Solo, AB Sitti Sjamsijah, yang berjudul Agama dan Pengetahoean; Godsdienst en Wetenschap garapan Voorziter (Ketua) Moehammadijah Soerakarta, Kyai Moechtar Boechary. Buku itu terbit pada 1927.

Advertisement

Satya Adhi

Saya menemukan buku itu di perpustaakaan Bilik Literasi ketika menggarap Majalah Kentingan awal tahun ini. Buku itu terkesan mewah karena sampul depan memajang foto hitam putih seorang lelaki muda.

Ia berbelangkon, memakai setelan jas ala Eropa, dan berkain jarit. Yang dahsyat, ia berfoto dalam pose duduk sambil memangku benda magis penghimpun kata-kata: buku! Perkiraan saya atas kehadiran foto dalam buku disebabkan dua hal.

Advertisement

Pertama, teknologi kamera foto hadir di Hindia Belanda pada pertengahan abad ke-19. Candi Borobudur menjadi objek foto komersial pertama kali di Hindia Belanda pada 1845 (Anderson, 2008: 274). Kemudian gairah intelektual mengalir deras pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20, terlebih setelah pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan kebijakan Politik Etis pada 1901.

Sebagai simbol utama ilmu pengetahuan dan intelektualitas, buku adalah benda yang wajib ada di setiap ruangan manusia Hindia Belanda yang mengaku intelek. Berkat teknologi kamera foto, buku yang selesai dibaca bisa dirayakan dengan cara lain. Dirayakan sebagai properti pose foto kaum intelektual Hindia Belanda abad ke-20.

Kebiasan ini berlanjut hingga awal abad ke-21. Buku–baik yang benar-benar buku atau hanya gambar buku–hadir di setiap seremonial wisuda di kampus-kampus di seluruh Indonesia. Mahasiswa yang rakus membaca sampai yang emoh membaca hampir pasti akan berfoto dengan latar belakang buku.

Selanjutnya adalah: Mereka berfoto bersama orang tua, adik-kakak, kekasih

Advertisement

Berfoto Bersama

Mereka berfoto bersama orang tua, adik-kakak, kekasih, atau ”gandengan bayaran”. Meski ruang tamu tak tentu berisi timbunan buku, foto berlatar buku akan hadir di ruang-ruang tamu keluarga. Semakin banyak foto toga dan buku, semakin tinggi taraf intelektual sebuah keluarga.

Saya jadi maklum dan tahu kalau memotret buku atau berfoto bersama buku bukan barang baru di tanah Hindia Belanda. Kita tak perlu nyinyir terhadap warga Internet atau warganet ngintelek zaman now yang gemar berpose bersama buku.

Advertisement

Lebih aman berbaik sangka kalau buku-buku yang hadir di setiap bingkai foto warganet adalah buku-buku yang akan atau sudah habis mereka baca. Mengunggah foto buku di media sosial menjadi perayaan mereka atas aktivitas membaca, juga sebagai ajang dakwah agar warganet yang lain ikut membaca.

Kehadiran foto buku di jagat maya menuntut para penggarap, distributor, sampai pedagang buku kasta terendah memutar otak. Para penggarap buku akan merancang sampul foto yang nikmat dibuat swafoto. Buku-buku lawas bersampul lusuh jelas bukan santapan swafoto yang lezat.

Para distributor dan pedagang buku akan begerilya mengunggah foto-foto buku yang memancing mata untuk membeli, bahkan ada juga akun pedagang buku yang memajang model sebagai sarana promosi buku.

Akun Instagram @paperplanetbookstore, misalnya, sering mengunggah foto para model menarik (dan pasti cewek) yang tengah membaca, menenteng, atau memamerkan buku dagangan. Kalau foto seperti itu saya ”tap” sekali akan muncul tautan ke akun si model.

Advertisement

Selanjutnya adalah: Jadilah kegiatan berbelanja buku berlanjut

Berbelanja

Jadilah kegiatan berbelanja buku berlanjut ke kegiatan stalking dan kalau beruntung berkenalan dengan cewek yang lihai berpose dengan buku. Ini adalah pengejawantahan mutakhir kalimat promosi Susano Book, ”Aku dan Kamu Bertemu karena Buku.”

Kenyataan jagat maya membuat perayaan buku semakin riuh oleh gambar. Kita tak lagi harus berpeluh-peluh berjalan ke toko buku, berebut buku dengan sesama pembaca di acara obral buku, juga bersin-bersin berkat debu di kios buku lawas. Sekarang berbelanja buku bukanlah aktivitas kaki dan hidung. Sekarang berbelanja buku adalah aktivitas jempol dan mata.

Saya cukup sering merayakan buku dengan bersama jempol dan mata, tapi pada 12 Desember 2017 lalu saya merayakan buku secara lebih radikal dan berisiko. Semua gara-gara Hari Belanja Online Nasional (Harbolnas), acara yang kali pertama diselenggarakan pada 2012.

Advertisement

Sejak itu tanggal 12 Desember selalu dirayakan sebagai hari jual-beli besar-besaran di jagat maya. Toko-toko buku dalam jaringan atau daring menjadi bagian kecil yang ikut bepartisipasi dalam Harbolnas.

Sejak jauh-jauh hari saya mengantisipasi pengeluaran ”radikal ekstrem” akibat Harbolnas, apalagi saya mendapat kabar kalau toko gramedia.com mematok diskon 50% untuk seluruh produk buku di toko itu. Saya tidak perlu membayar ongkos kirim karena digratiskan.

Bersama dua orang kawan, saya mendata buku-buku yang akan kami beli. Kami tidak perlu susah-susah ke toko buku atau mencari terlebih dulu di katalog. Tinggal ketik saja buku-buku yang dirindu di kolom pencarian, sampai akhirnya terhimpun 27 buku yang ingin kami miliki seutuhnya.

Semua kami lakukan tengah malam sejak Harbolnas dimulai pukul 00.00 WIB. Kalau kesiangan, bisa-bisa server gramedia.com down, buku yang kami rindu habis, atau antre di ATM makin berjibun.

Selanjutnya adalah: Meski untuk makan sehari-hari saja masih terbatas

Makan Sehari-hari

Meski untuk makan sehari-hari saja masih terbatas, kami nekat sok kaya. Belanja buku di ranah daring mewujud sabda tersendiri. Dari mata turun ke jempol, dari jempol turun ke dompet.

Harbolnas memang asem tenan! Anna Karenina karya Leo Tolstoi yang sampulnya digarap dengan memikat oleh Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) ”cuma” dijual Rp62.500. Never Let Me Go karya Kazuo Ishigoro yang baru saja menang Nobel Sastra tahun ini bisa ditebus dengan Rp39.500.

In Cold Blood karya Truman Capote yang baru saja diterbitkan ulang oleh Bentang pada Juli 2017 turun harga menjadi Rp44.500. Belum lagi novel unyu nan menyegarkan mata garapan Nina George, The Little Paris Bookshop, hanya dibanderol Rp47.500.

Terbayang tumpukan buku di kamar tempat indekos saya akan semakin meninggi. Nantinya saya bisa menyewakan buku-buku itu sebagai latar wisuda para sarjana kampus. Saya jadi teringat betapa susahnya Sultan Khan, saudagar buku dari Afghanistan, untuk merayakan buku.

Untuk berdagang buku ia harus menyeberang ke Pakistan lewat jalur tidak resmi. Berjibaku di lereng gunung tandus demi menyelundupkan buku-buku terlarang di sana. Buku bukan hanya penghimpun kata-kata. Buku adalah keseluruhan hidup Sultan Khan.

Tidak banyak hal yang bisa memikat hati Sultan selain menemukan buku berharga di pasar yang berdebu dan membelinya dengan harga sangat murah. Sultan berpendapat bahwa ia memiliki koleksi buku paling kaya di dunia tentang Afghanistan, yang meliputi sekitar delapan atau seribu jilid (Seierstand, 2005: 118).

Saya yang sok kaya mendadak merasa miskin. Kini saya dan kawan-kawan tengah menanti kiriman buku hasil keserakahan intelektual kami. Sebagai pertanggungjawaban setelah buku-buku kami terima, perayaan akan berlanjut ke pembacaan, penulisan, dan tentunya pemotretan buku. Cekrek!

 

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif