Kolom
Selasa, 19 Desember 2017 - 04:00 WIB

GAGASAN : Vaksinasi dan Herd Immunity

Redaksi Solopos.com  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Riris Andono Ahmad

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Sabtu (16/12/2017). Esai ini karya Riris Andono Ahmad, Direktur Pusat Kedokteran Tropis Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Solopos.com, SOLO–Heboh outbreak penyakit difteri dan rendahnya cakupan imunisasi karena penolakan kelompok anti vaksin menimbulkan keresahan masyarakat. Hal ini memicu wacana bahwa semua anak harus divaksinasi karena dianggap sebagai hak anak.

Advertisement

Terkait dengan hak anak ada argumentasi terkait prinsip otonomi yang akan menghalangi pembuatan regulasi yang mewajibkan pemberian vaksinasi kepada anak. Saya tidak akan membahas tentang masalah hak ini, tetapi akan membahas prinsip vaksinasi dalam mencegah outbreak di populasi.

Pada prinsipnya penyakit bisa menular karena seseorang tidak punya kekebalan spesifik terhadap penyakit tersebut. Kekebalan tersebut secara alami diperoleh seseorang apabila dia pernah terinfeksi oleh kuman penyebab penyakit seperti virus (pada penyakit campak dan influenza), bakteri (pada penyakit difteri dan TBC), maupun parasit (misalnya penyakit malaria dan  kaki gajah).

Ketika infeksi terjadi, sistem kekebalan tubuh kita akan mencoba mengenali protein spesifik dari kuman tersebut dan membentuk kekebalan spesifik terhadap penyakit itu. Jenis kekebalan bisa bermacam-macam.

Advertisement

Ada kekebalan yang berlangsung seumur hidup seperti penyakit campak sehingga seseorang yang telah terkena campak tidak akan terkena lagi. Ada juga  kekebalan yang bersifat sementara seperti pada penyakit malaria, sehingga orang bisa berulang kali terkena penyakit tersebut.

Teknologi vaksinasi mencoba untuk memotong proses tersebut. Teknologi yang kali pertama ditemukan oleh Edward Jenner pada abad ke-18 ini bekerja dengan cara membuat sistem kekebalan tubuh mengira telah terjadi infeksi dan kemudian membuat kekebalan spesifik.

Caranya dengan memasukkan protein spesifik dari kuman tertentu yang sudah tidak berbahaya ke dalam tubuh manusia. Ketika teknologi belum bisa mengekstraksi protein spesifik maka vaksin dibuat dengan patogen hidup yang dilemahkan, seperti pada vaksin polio oral. Risiko dari teknologi ini adalah patogen bisa bermutasi lagi menjadi virulen.

Selanjutnya adalah: Dengan teknologi ini kita bisa memperoleh kekebalan

Advertisement

Kekebalan

Dengan teknologi ini kita bisa memperoleh kekebalan terhada penyakit tertentu tanpa perlu mendapatkan penyakitnya. Vaksin mampu memberi kita perlindungan terhadap penularan sebuah penyakit, tetapi yang mungkin orang banyak tidak tahu, vaksin tidak hanya memberikan perlindungan bagi orang yang menerima vaksin.

Vaksin juga mampu memberikan perlindungan bagi orang lain yang tidak divaksinasi yang tinggal dalam wilayah yang sama. Untuk mendapatkan dampak tersebut tentu saja ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi.

Advertisement

Syarat pertama adalah jumlah orang yang mendapatkan vaksin harus mencapai ambang batas tertentu. Syarat berikutnya adalah orang yang divaksinasi tersebut tersebar secara merata di populasi. Syarat ini diperlukan agar orang yang sakit (dan masih menular) sulit untuk bertemu dengan orang yang tidak mempunyai kekebalan tubuh terhadap penyakit tersebut.

Misalnya seseorang penderita campak mampu menularkan penyakit rata-rata selama satu pekan ketika sakit. Apabila dalam satu pekan rata-rata penderita tersebut bertemu dengan 9-10 orang maka apabila sembilan dari 10 orang telah divaksinasi besar kemungkinan orang kesepuluh (dan tidak tervaksinasi) tidak akan tertular campak karena pada saat penderita bertemu orang ke-10 tersebut dia sudah tidak menulari lagi.

Ini yang disebut sebagai imunitas kelompok atau dikenal sebagai herd immunity. Secara sederhana, berapa banyak individu yang perlu divaksinasi ditentukan seberapa banyak rata-rata orang yang tertular sebuah kasus penyakit.

Misalnya sebuah penyakit secara rata-rata mampu menularkan dua kasus baru maka cakupan imunisasi yang diperlukan minimal di atas 50% dari populasi. Apabila satu kasus penyakit rata-rata mampu menularkan empatkasus baru maka dibutuhkan cakupan imunisasi di atas 75%.

Advertisement

Semakin besar jumlah kasus baru, semakin tinggi cakupan imunisasi yang diperlukan untuk mencegah terjadinya outbreak. Efek eksternalitas inilah yang menyebabkan tidak semua anak harus mendapatkan vaksinasi. Hal ini yang menjelaskan kenapa ketika heboh kasus pemalsuan vaksin  oleh pasangan suami istri beberapa waktu yang laku tidak sampai terjadi outbreak yang merebak ke mana-mana meskipun  pemalsuan itu terjadi cukup lama dan luas.

Selanjutnya adalah: Vaksin palsu yang mereka jual belikan didistribusikan

Vaksin Palsu

Vaksin palsu yang mereka jual belikan didistribusikan terutama melalui rumah sakit dan praktik swasta yang bersifat komersial. Anak-anak yang mendapat vaksin tersebut tidak terlalu banyak, tersebar di penjuru kota, dan tidak mengumpul dalam satu wilayah.

Anak-anak yang memperoleh vaksin palsu tersebut masih tetap terlindungi oleh anak-anak di sekitar mereka yang mendapakan vaksin dari program imunisasi pusat kesehatan masyarakat. Apabila yang terjadi sebaliknya, vaksin palsu tersebut terdistribusi melalui program imunisasi di pusat kesehatan masyarakat, niscaya akan terjadi outbreak besar-besaran karena seluruh anak dalam wilayah cakupan pusat kesehatan masyarakat tersebut tidak akan punya kekebalan akibat vaksin palsu itu.

Advertisement

Intinya adalah meskipun cakupan imunisasi sudah tinggi, apabila mereka yang tidak tervaksinasi mengumpul menjadi satu maka menciptakan populasi atau subpopulasi yang tidak mempunyai kekebalan. Situasi seperti inilah yang menyebabkan  penyakit akan sangat mudah menyebar.

Celakanya situasi seperti tersebut di atas yang terjadi ketika gerakan anti vaksin semakin meningkat dewasa ini. Sering kali individu-individu yang tergabung dalam gerakan ini bertempat tinggal di dalam komunitas yang sama. Hal ini tentu saja akan menciptakan subpopulasi yang tidak kebal terhadap penyakit yang dapat dicegah oleh vaksin.

Ketika mereka tidak bertempat tinggal pada komunitas yang sama, karena berbagi keyakinan metode pencegahan penyakit yang berbeda, mereka mempunyai jaringan sosial yang menyebabkan tingginya interaksi dan kontak antarindividu tersebut.

Tingginya interaksi dan kontak di antara mereka tentu saja akan memfasilitasi terjadinya penularan apabila salah satu dari mereka terkena penyakit infeksi. Dengan semakin membesarnya jumlah kelompok ini, semakin besar juga risiko terjadinya outbreak.

Lebih parahnya lagi dengan gencarnya propaganda anti vaksin oleh gerakan tersebut semakin meningkat ketidakpercayaan masyarakat terhadap program imunisasi yang diselenggarakan pemerintah. Ketidakpercayaan ini akan berakibat menurunnya cakupan imunisasi yang pada akhirnya menyebabkan kekebalan kelompok (herd immunity) tidak dapat bekerja.

Apabila ini terjadi maka kejadian outbreak akan semakin mudah untuk meluas di masyarakat. Pemerintah perlu mencari strategi komunikasi yang efektif untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap program imunisasi. Mungkin salah satu pesan penting yang perlu disosialisasikan kepada masyarakat umum adalah vaksinasi tidak hanya penting untuk melindungi diri dari penularan penyakit, tetapi dengan vaksinasi mereka juga telah berjasa melindungi masyarakat lainnya dari terjadinya outbreak penyakit. (JIBI/Harian Jogja)

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif