Kolom
Sabtu, 16 Desember 2017 - 04:00 WIB

GAGASAN : Intelek Banal Kampus Milenial

Redaksi Solopos.com  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Adi Putra Surya Wardhana (Istimewa)

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Sabtu (9/12/2107). Esai ini karya Adi Putra Surya Wardhana, alumnus Program Studi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret. Alamat e-mail penulis adalah adiputra.48697@gmail.com.

Solopos.com, SOLO — Beberapa waktu lalu beberapa kawan yang menempuh studi pascasarjana di sebuah kampus negeri rasan-rasan. Sembari menyeruput wedang ronde mereka sambat tentang beratnya syarat lulus dari program pascasarjana kampus tersebut.

Advertisement

Syarat yang membikin galau adalah kewajiban menerbitkan artikel dalam jurnal terakreditasi minimal nasional dan prosiding internasional bereputasi Scopus. Kegalauan mereka menjadi tatkala kebijakan kampus (fakultas) tak konsisten.

Jumlah jurnal terakreditasi nasional yang terbatas harus diperebutkan oleh puluhan ribu mahasiswa pascasarjana se-Indonesia. Jurnal internasional bereputasi yang gratis cenderung sulit ditembus oleh guru besar sekalipun, sedangkan yang berbayar tinggi juga tidak kalah sulit ”membayarnya”.

Banyak dari mereka tergiur jurnal predator yang memangsa karya dan dana. Lumrah banyak mahasiswa ketir-ketir. Kampus menarget angka fantastis untuk jumlah artikel yang dimuat jurnal bereputasi internasional, khususnya Scopus, sebagai percepatan mencapai predikat World Class University (WCU).

Advertisement

Ironisnya, lembaga-lembaga penentu predikat ini merupakan bagian dari kapitalisme akademis global. Rhoades dan Slaughter (2004) mendefinisikan kapitalisme akademis sebagai rezim yang melibatkan perguruan tinggi dan fakultas dalam pasar dan perilaku pasar.

Selanjutnya adalah: Kampus menjadi arena jual beli komoditas

Komoditas

Advertisement

Dengan kata lain, kampus menjadi arena jual beli komoditas pendidikan yang menjebak civitas academica dalam kubangan banalitas intelektual. Heru Nugroho (2012: 6-7) menerangkan banalitas intelektual sebagai pendangkalan, penurunan kualitas akademis, dan kualitas intelektual yang tidak disadari oleh civitas academica kampus.

Anastasia Jessica Adinda S. dalam artikel jurnal berjudul Akar Banalitas Intelektual (Suatu Kajian Filsafat Ilmu) (2013) menafsirkan banalitas intelektual ditandai dengan pengkhianatan akademis, intelektual pamer, kegiatan akademis involutif, dan minimnya etos kerja kaum intelektual kampus.

Berdasarkan pendapat tersebut, jejak banalitas intelektual dapat ditelusuri dalam realitas kehidupan kampus era milenial. Salah satunya tercermin dalam kebijakan yang mewajibkan mahasiswa kampus tersebut untuk mencantumkan nama dosen pembimbing dalam publikasi karya ilmiah.

Dalam Surat Edaran Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 152/E/T/2012 dan Peraturan Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Nomor 44 Tahun 2015 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi tidak tercantum ketentuan tersebut.

Advertisement

Kedua regulasi ini hanya mewajibkan mahasiswa menerbitkan karya dalam jurnal ilmiah sesuai jenjang pendidikan. Menurut Maftuhin dalam Plagiarisme: Kumpulan Tanya Jawab (2017) nama pembimbing tidak perlu menjadi co-author dalam karya publikasi berdasar tugas akhir karena merupakan karya mahasiswa untuk lulus, ada ungkapan terima kasih kepada dosen pembimbing, dan lembar pertanggungjawaban hanya ditandatangani mahasiswa.

Selanjutnya adalah: Karya publikasi berdasar tugas akhir 

Tugas Akhir

Advertisement

Oleh sebab itu, karya publikasi berdasar tugas akhir bukan karya tanggung jawab bersama dosen. Jika dosen pembimbing tercantum sebagai co-author–merujuk pada peran pembimbing dalam tugas akhir–maka reviewer jurnal dan semua yang pernah memberi masukan perlu dicantumkan karena masing-masing memiliki kontribusi.

Selain itu, fenomena dosen titip nama dalam karya publikasi ilmiah mahasiswa dengan dalih tugas mata kuliah dianggap lumrah. Sindrom formalisme (Nugroho, 2012: 12) dan kapitalisme akademis menguasai alam sadar dan bawah sadar intelek banal.

Label International Standard Book Number (ISBN) dan International Standard Serial Number (ISSN) diburu untuk pemenuhan ”kum” dan ”remun” (Adinda S., 2013). Praktik penerbitan prosiding dan jurnal yang dibuat sendiri, dikelola sendiri, dan untuk kepentingan sendiri menjadi rutinitas. Banyak ”seminar sabun” berprosiding menguras kantong mahasiswa diadakan.

Tema seminar biasanya sangat luas, cenderung wagu (tidak jelas), mahal, dan dibintangi intelek salon yang tidak berkaitan satu sama lain sehingga hanya menjadi suara gemrengeng. Mereka kadang mengiming-imingi ”bisa digunakan sebagai syarat lulus bagi mahasiswa”.

Intelek banal membuat seminarnya sendiri, menjadi pembicara seminar yang dibuat sendiri, dan kadang memberi stempel ”wajib”. Ada seminar yang kehadirannya menjadi salah satu syarat administratif menuju pengujian tugas akhir. Oleh sebab itu, hasil seminar kurang terasa manfaatnya bagi peserta seminar dan masyarakat, kecuali snack dan sertifikat tentunya.

Dalam konteks relasi kuasa pengetahuan, realitas ini adalah bagian dari pendisiplinan. Michel Foucault dalam Discipline and Punish (1995: 192-193) merefleksikan pendisiplinan sebagai tindakan tidak tampak untuk menundukkan dan mengontrol individu sehingga kekuasaan menjadi lebih fungsional.

Advertisement

Selanjutnya adalah: Intelek banal memamerkan kuasa pengetahuan 

Kuasa Pengetahuan

Artinya, intelek banal memamerkan kuasa pengetahuan melalui pendisiplinan berwujud kebijakan wagu untuk menutupi hasrat sesaat. Civitas academica secara tidak terasa telah mengalami penjajahan nalar.

Tan Malaka dalam Dari Penjara ke Penjara (2015) menjelaskan maksud pendidikan adalah mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan, dan memperhalus perasaan. Menurut Ki Hadjar Dewantara dalam Menuju Manusia Merdeka (2009), tujuan pendidikan adalah untuk menuntun kodrat demi mencapai keselamatan dan kebahagiaan baik sebagai manusia maupun anggota masyarakat.

Sebagaimana petuah yang disampaikan dua guru bangsa tersebut maka  pendidikan sejatinya merupakan wadah untuk memperoleh pencerahan. Pendidikan adalah laku yang menuntun manusia untuk berolahraga, mengolah akal, mengolah jiwa, dan mengolah rasa. Pendidikan melahirkan manusia yang cerdas, luhur, dan welas asih.

Pendidikan dengan demikian adalah jalan untuk menemukan kebijaksanaan hidup. Jadi, lembaga pendidikan dengan level yang tinggi alias perguruan tinggi sewajarnya menjadi kawah candradimuka untuk melahirkan intelektual bernalar kritis, berbudi luhur, dan berakhlak mulia.

Memanfaatkan mahasiswa untuk memenuhi hasrat pragmatis, oportunis, dan ekonomis lewat kebijakan wagu mengatasnamakan kampus hanya dilakukan oleh intelek banal yang keblinger. Elite kampus perlu mengevaluasi kebijakan-kebijakan yang strategis untuk kalangan tertentu, tetapi kurang strategis buat mahasiswa.

Jangan sampai kebijakan peningkatan kualitas intelektual lulusan dalam rangka percepatan meraih predikat WCU malah melanggengkan budaya pragmatis oportunis. Civitas academica mesti mengingat dan meneladani kembali asas dan roh perjuangan Taman Siswa yang digagas Ki Hadjar Dewantara, yakni nalar merdeka.

 

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif