Jogja
Kamis, 14 Desember 2017 - 22:55 WIB

Ini Jenis Kekancingan untuk Pemanfaatan Tanah Kraton

Redaksi Solopos.com  /  Nina Atmasari  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Kraton Jogja (JIBI/Harian Jogja/Gigih M. Hanafi)

Masyarakat dihimbau untuk berhati-hati apabila ada pihak-pihak yang mengatasnamakan Kraton Nagyogyakarta Hadiningrat atau Kadipaten Pakualaman yang menawarkan bidang-bidang tanah kraton

 
Harianjogja.com, JOGJA- Masyarakat dihimbau untuk berhati-hati apabila ada pihak-pihak yang mengatasnamakan Kraton Nagyogyakarta Hadiningrat atau Kadipaten Pakualaman yang menawarkan bidang-bidang tanah Sultan Ground (SG) dan Pakualaman Ground (PAG). Karena yang berwenang mengeluarkan kekancingan hanya Panitikismo dan Kawedanan Hageng Kaprajan.

Advertisement

Hal tersebut ditegaskan oleh Kepala Dinas Pertanahan dan Tata Ruang DIY Krido Suprayitno saat sosialisasi mengenai pengelolaan dan pemanfaatan tanah Kesultanan dan tanah Kadipaten, Rabu (13/12/2017). Menurutnya, saat berada dalam kondisi demikian, warga harus melakukan konfirmasi terlebih dahulu dengan Panitikismo dan Kawedanan Hageng Kaprajan.

Ia menyatakan, untuk memanfaatkan tanah-tanah tersebut harus ada yang namanya serat kekancingan. Serat kekancingan adalah surat keputusan tentang pemberian hak atas tanah dari Kesultanan atau Kadipaten kepada masyarakat atau institusi yang diberikan dalam jangka waktu tertentu  dan dapat diperpanjang. Dan yang berhak mengeluarkan surat itu hanya kedua lembaga yang disebut di atas.

Adapun jenis-jenis serat kekancingan, lanjut Plt Kepala Pelaksana Badan Penanggulan Bencana Daerah DIY itu, terbagi kedalam empat kategori. Pertama, disebut dengan magersari.

Advertisement

“Magersari adalah hak adat yang diberikan kepada masyarakat sebagai penghuni/pengguna Tanah Kesultanan dan/atau Tanah Kadipaten dimana antara penghuni/pengguna dari tanah tersebut terdapat ikatan historis dan diberikan hanya kepada WNI pribumi dengan jangka waktu mereka menggunakan,” kata Krido di Kantor Dinas Pertanahan dan Tata Ruang.

Jenis kedua disebut dengan ngindung, yakni hak adat yang diberikan  oleh Kesultanan atau Kadipaten kepada masyarakat atau institusi untuk menggunakan tanah bukan keprabon atau dede keprabon terhadap tanah Kasultanan atau tanah Kadipaten dengan membuat perjanjian yang jangka watunya disetujui bersama.

Ketiga, anganggo atau hak adat yang diberikan oleh Kesultanan atau Kadipaten kepada masyarakat atau institusi untuk menggunakan tanah bukan keprabon atau dede Keprabon tanpa memungut hasil dan sifatnya sendiri.

Advertisement

Jenis terakhir adalah anggaduh, yakni hak adat yang diberikan oleh Kesultanan atau Kadipaten untuk mengelola dan memungut/mengambil hasil dari Tanah Kasultanan atau Tanah Kadipaten terhadap tanah bukan keprabon atau dede keprabon kepada desa dalam menyelenggarakan pemerintah desa untuk jangka waktu selama dipergunakan.

“Tujuan pengaturan  pengelolaan dan pemanfaatan Tanah Kasultanan dan Tanah Kadipaten adalah untuk memberikan kepastian hukum, tertib administrasi, dan menjamin akuntabilitas dalam pengelolaan serta pemanfaatan Tanah Kasultanan dan Tanah Kadipaten,” sebutnya.

Krido juga menegaskan adanya inventarisasi bukan untuk mengambil alih, tetapi justru untuk memberikan jaminan kepemilikan. Kalau tanah Kasultanan atau Kadipaten sudah dikelola oleh masyarakat maka kedepannya tetap boleh digunakan.

Demikian pula kalau tanah Kesultanan atau Kadipaten dikelola oleh pemerintah juga boleh lanjut sesuai  dengan fungsinya saat ini. Hanya adanya surat kekancingan itu untuk memberikan jaminan kepemilikan/pengakuan kepemilikan.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif