News
Kamis, 7 Desember 2017 - 23:00 WIB

Yerusalem "Ibu Kota" Israel, Din Syamsuddin Khawatir Bangkitnya Radikalisasi

Redaksi Solopos.com  /  Adib Muttaqin Asfar  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Pemandangan Dome of the Rock dan kota kuno Yerusalem, 4 Desember 2017. (JIBI/Solopos/Reuters/Ronen Zvulun)

Din Syamsuddin khawatir bangkitnya kembali radikalisasi hanya gara-gara pengakuan AS soal Yerusalem sebagai ibu kota Israel.

Solopos.com, JAKARTA — Ketua Prakarsa Persahabatan Indonesia-Palestina, Din Syamsuddin, menyayangkan sikap Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel secara sepihak. Menurut Din, persoalan Yerusalem inilah yang sebenarnya menjadi hal penting dalam penyelesaian konflik Israel-Palestina.

Advertisement

Yerusalem, kata Din, seharusnya tidak dimonopoli oleh sebuah negara. Langkah Trump mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel, menurut Din, justru akan memperburuk situasi dan menjauhkan resolusi konflik antara Palestina-Israel.

“Dunia termasuk dunia Islam sudah sangat moderat untuk mendukung solusi dua negara [Palestina-Israel] untuk hidup berdampingan secara damai. Tetapi itu belum terealisasi karena masalah ibu kota, maka yang realistis Yerusalem dibagi kepada dua negara. Di bagian timur itu Palestina dan bagian barat untuk Israel,” kata Din Syamsudin, dikutip Solopos.com dari VOA.

Opsi kedua adalah Yerusalem ditinggalkan dan menjadi kota internasional. Menurut Din, Yerusalem sebaiknya menjadi kota suci tiga agama dan tidak menjadi ibu kota politik.

Advertisement

Din Syamsuddin menyatakan radikalisasi di dunia Islam di antaranya dipicu oleh tidak terselesaikannya konflik Palestina-Israel. Apalagi, lanjut Din, ada ketidakadilan global yang ditampilkan oleh negara-negara besar seperti Amerika Serikat.

“Itu yang mendorong radikalisasi di dunia Islam. Itu yang akan repot, lingkaran-lingkaran moderat dunia Islam akan kerepotan jika radikalisasi menguat hanya karena gara-gara ketidakadilan dalam penyelesaian masalah Israel-Palestina,” ujar Din Syamsuddin.

Yerusalem sendiri sebenarnya berstatus di bawah hukum internasional sejak Israel mencaplok kota suci tiga agama itu pada 1967. Namun secara sepihak negara Zionis ini mengklaim Yerusalem atau Al-Quds dalam bahasa Arab, sebagai ibu kota abadi mereka dan tidak dapat dibagi dua dengan Palestina.

Advertisement

Klaim ini dilakukan lewat Hukum Dasar Yerusalem yang disahkan Knesset (parlemen Israel) pada 1980. Palestina selama ini menuntut kemerdekaan atas wilayah Tepi Barat dan Jalur Gaza dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif