Kolom
Kamis, 7 Desember 2017 - 05:00 WIB

GAGASAN : Pembuang Makanan

Redaksi Solopos.com  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Setyaningsih

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Kamis (30/11/2017). Esai ini karya Setyaningsih, esais dan penghayat pustaka anak. Alamat e-mail penulis adalah langit_abjad@yahoo.com.

Solopos.com, SOLO–Tahun lalu ternyata Indonesia memiliki prestasi yang wah cenderung angkuh. Prestasi itu bukan kemenangan di bidang olahraga, sains, fesyen, atau teknologi. Indonesia juara kedua dalam hal membuang makanan sisa atau menyampahkan makanan.

Advertisement

Riset oleh Economist Intelligence Unit, lembaga milik majalah The Economist, menjelaskan Indonesia adalah negeri pembuang makanan terbanyak kedua di dunia setelah Arab Saudi. Dalam setahun diperkirakan satu orang Indonesia membuang makanan 300 kilogram.

Tentu angka itu masih bisa diperdebatkan, namun berapa pun jumlahnya tetap sungguh fantastis bahkan jika hanya dikalikan dengan setengah jumlah penduduk Indonesia. Jumlah amat besar untuk menebus keburukan gizi, ketimpangan makanan di berbagai belahan bumi, atau kelaparan.

Perusahaan direktori pernikahan Bridestory dan Yayasan Food Cycle membuat kampanye program penanganan masalah sisa A Blessing to Share yang videonya bisa ditemukan di media sosial. Kampanye ini menyoroti pesta pernikahan yang sering menyisakan makanan melimpah.

Advertisement

Mungkin ini seturut dengan anggapan orang bahwa kelebihan lebih baik daripada kekurangan. Kurang adalah aib! Muncullah anjuran makanan sisa dikirim ke Food Bank of Indonesia dengan layanan Go-Send atau Go-Box untuk dibagikan kepada yang membutuhkan.

Selanjutnya adalah: Di Eropa aksi mengolah makanan sisa

Mengolah

Advertisement

Di Eropa aksi mengolah makanan sisa dan mendermakan kepada yang membutuhkan telah lebih dulu jadi kesadaran sosial. Para sukarelawan mengumpulkan makanan sisa dari hasil pertanian yang ditolak pasar atau pedagangnya berniat membuang, terutama karena cacat secara tampilan.

National Geographic edisi Maret 2016 membahas edisi pembuangan yang terjadi di wilayah kecil seperti rumah sampai lahan pertanian besar. Kabarnya sepertiga makanan di seluruh dunia yang cukup untuk pangan dua miliar manusia terbuang sia-sia. Di Prancis ada sukarelawan-sukarelawan memunguti kentang yang tidak terangkut oleh mesin panen dan sayuran tersia-siakan lainnya.

Sayur tarkategori layak buang dalam kendali mutu sesuai kebutuhan pasar yang dipungut itu dimasak di Place de la Republique. Para sukarelawan bekerja sama dengan kelompok Feedback yang memberesi pembuangan makanan di seluruh dunia. Olahan ala chef dengan bahan makanan sisa menjadi jamuan kemanusiaan bagi banyak orang.

Makan dan makanan memang tidak sederhana lagi dalam urusan biologis. Tindakan manusia yang manusiawi—mengusahakan pemenuhan kebutuhan makanan–justru diakhiri dengan tindakan paling tidak manusiawi terhadap makanan.

Advertisement

Kita jamak menghadiri acara skala besar seperti pernikahan, reuni, seminar di hotel, atau rapat. Di acara seperti itu kita acap kali tidak sadar menjadi penista makanan, apalagi dalam penyajian model ala prasmanan.

Selanjutnya adalah: Ada keinginan mengambil banyak jenis makanan

Jenis Makanan

Advertisement

Ada keinginan mengambil banyak jenis makanan karena penasaran atas rasanya atau hal demikian memang jadi hal lumrah. Ketika ternyata makanan tidak enak, makanan itu dibiarkan di piring. Apa yang terjadi dengan makanan sisa di piring setelah itu seolah-olah itu bukan urusan kita lagi.

Tindakan manusia mengusahakan makanan dan menikmatinya dalah manusiawi. Michael Pollan, kontributor majalah New York Times dan pemikir tentang makanan, merasa harus menerbitkan Food Rules: Pedoman bagi Para Penyantap Makanan (2011).

Buku itu menjabarkan 64 aturan sederhana ihwal makan sehat dengan pendekatan kultural. Salah satunya tentang pernyataan ”berhenti makan sebelum kenyang.” Di pelbagai peradaban, membuang makanan adalah tindak kejahatan moral.

Pollan mengingatkan kembali ajaran dari pelbagai kebudayaan. Di Jepang ada istilah hara hachi bu, berhenti makan ketika sudah 80% kenyang. Di Jerman ada metafora mengikat karung sebelum benar-benar penuh. India juga menganjurkan kenyang cukup 80%, kebudayaan Tiongkok mengajarkan kenyang cukup 70%. Nabi Muhammad SAW mengatakan perut kenyang itu cukuplah kala mengandung sepertiga makanan, sepertiga air, dan sepertiga udara.

Pollan menyadari juga bahwa bahasa turut menentukan kesadaran ihwal makanan di antara miliaran manusia yang butuh makan. Bahasa menuntun kesadaran psikologis manusia untuk berpikir dan bertindak atas makanan. Menurut Pollan, untuk berkata ”saya lapar” dalam bahasa Prancis adalah “Jai faim”—“saya lapar”—dan ketika sudah selesai mereka bukan berkata ”sudah kenyang”, tapi “Je nai plus faim”—“saya sudah tidak lapar lagi.”

Selanjutnya adalah: Ini cara berpikir yang berbeda

Advertisement

Berbeda

Ini cara berpikir yang sangat berbeda mengenai perasaan kenyang. Lebih penting bertanya,”Apakah rasa lapar saya sudah hilang?” daripada “Apakah saya kenyang?” untuk sampai pada lapar yang hilang. Kita tentu tidak perlu melimpahkan makanan di setiap ruang kosong piring. Perilaku makan mewujud jadi ibadah sosial sekaligus spiritual kita.

Di Jawa kita pun mengingat anjuran penghormatan atas makanan. Meski orang-orang Jawa tidak lagi hidup di alam agraris yang mapan seperti masa lampau, ada anjuran khas yang layak diingat sampai saat ini. Orang tua menyemangati anak agar makan dengan lahap biasanya dengan berkata,”Makanan harus dihabiskan, kalau tidak ayamnya mati.”

Entah ayam siapa! Anjuran itu memang berlaku juga bagi anak-anak di keluarga yang tidak memiliki ayam. Biasanya kalau memang ada makanan sisa, ternak di keluarga tradisional, seperti ayam atau bebek, langsung memberesi sisa-sisa makanan itu. Tidak boleh ada yang terbuang dan sia-sia.

Di  acara akbar Eat Asia-Pacific Food Forum di Jakarta pada 30 Oktober 2017, Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam sambutannya berkelakar, “Bisa saja pemerintah membikin keppres [keputusan presiden] berapa besar piring yang sebenarnya bisa dipakai untuk makan sehingga orang tidak [me]mubazir[kan makanan]” (Solopos, 31 Oktober 2017).

Jusuf Kalla mungkin agak putus asa kala menjodohkan piring dengan keputusan presiden. Semacam akan jadi gerakan nasional mengecilkan piring untuk mengecilkan nafsu membuang makanan. Berpiring kecil sepertinya memang salah satu cara menerbitkan kesadaran porsi dan mengendalikan keinginan psikologis memenuhi piring.

Mencicipi aneka kuliner, mengambil segala jenis makanan ala prasmanan, dan berbagi makanan sebagai pernyataan gaya hidup sosial urban sudah menjadi tren. Sisa sepertinya memang keniscayaan. Semoga berderma makanan sisa ke bank makanan juga bisa jadi tren. Hal yang trendi biasanya lebih mudah dilakoni secara kolosal meski terbatasi oleh waktu atau sesuatu bernama kebosanan.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif