Kolom
Selasa, 5 Desember 2017 - 04:00 WIB

GAGASAN : Sekaten, Ritual dan Dakwah

Redaksi Solopos.com  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Moh. Fajar Shodiq

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Sabtu (2/12/2017). Esai ini karya Muh. Fajar Shodiq, dosen Ilmu Sejarah di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Surakarta. Alamat e-mail penulis adalah fajarshodiq70@gmail.com.

Solopos.com, SOLO–Awal Desember ini Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat (Keraton Solo) dan Keraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat (Keraton Jogja) punya hajatan besar dan menjadi agenda tahunan, yakni grebeg sekaten.

Advertisement

Meski sudah berlangsung rutin tiap tahun selama ratusan tahun, namun dalam menyikapi ritual sekaten ini masyarakat masih selalu terbelah dalam beberapa pemikiran. Ada yang meninjau dari perspektif kultural secara lebih reflektif dan kreatif, sebagian lain melihat dari perspektif mistik-metafisik yang tidak jauh dari ngalap berkah, mudah jodoh, atau nasib mujur.

Ada yang menganggap hanya sebagai ajang bisnis dan geliat ekonomi tahunan. Di samping itu ada pula pihak yang menginginkan sekaten dimurnikan seperti niat semula penyebar Islam, Sunan Kalijaga, salah seorang Walisanga, bahwa sekaten sebagai sarana dakwah Islam. Esai saya ini menguak posisi sekaten di era modernitas, bagaimana sebaiknya ia berdiri untuk memberikan manfaat masyarakat dalam berbagai segi.

Bicara mengenai sekaten tidak bisa lepas dari dimensi kesejarahan. Secara historis sekaten ternyata sudah ada pada masa Kerajaan Majapahit. Pada masa itu makna dan perayaan sekaten mengacu sekati yang berasal dari kata suka-ati (yang merupakan satuan berat 680 kilogram), yang akhirnya mengalami transformasi kata menjadi ”syahadatain” dalam bahasa Arab yang berarti dua kalimat syahadat.

Advertisement

Hal ini juga mengandung makna perubahan substansial seiring proses agama Islam masuk ke tengah peradaban Hindu di Jawa. Sekaten era ini merupakan rangkaian acara yang diadakan sebagai wujud syukur atas kelahiran Nabi Muhammad SAW yang diadakan tiap tanggal 5 bulan Mulud tahun Jawa (Rabiulawal tahun Hijriah) dan dilakukan secara bersamaan di Alun-alun Utara Keraton Solo dan Keraton Jogja.

Selanjutnya adalah: Pelestarian dakwah model Walisanga

Walisanga

Advertisement

Pelestarian dakwah model Walisanga yang mengundang masyarakat luas untuk mendengarkan syiar di tempat terbuka dengan mengadakan bunyi-bunyian atau perayaan ini diadaptasi dengan baik oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I kala berdakwah kepada  masyarakat agar memeluk agama Islam.

Akhirnya sekaten dengan segala pernik-pernik ritual yang menjadi daya magnet masyarakat yang awalnya sebagai media dakwah Islam malah terus dipatenkan hingga kini dan menjadi ritual wajib dijalankan yang terselip makna magis-mistis yang menambah aura sakral perayaan grebeg sekaten.

Sebenarnya hal ini tidak terlalu mengherankan. Budayawan Kuntowijoyo menyatakan setidaknya ada lima macam mistik dalam umat Islam, yakni mistik metafisik, mistik sosial, mistik etik, mistik penalaran, serta mistik kenyataan. Pengkajian Islam di Jawa memang tak lepas dari karakteristik unik. Saat Walisanga berkiprah, Islam selalu diliputi mitologi Jawa.

Kepentingan melestarikan budaya adalah tugas utama Keraton Jogja dan Keraton Solo setelah alih fungsi dari pemegang tampuk pemerintahan pada masa lalu menjadi simbol pelestari budaya Jawa. Keraton berfungsi selain tempat tinggal raja dan kerabatnya dan menjadi tempat wisata, museum pusat kebudayaan Jawa, sentra serta kiblat perkembangan budaya Jawa yang sarat nilai-nilai sosial-budaya dan religi.

Advertisement

Bisa dipahami kala ritual grebeg sekaten yang merupakan salah satu acara terbesar dan tugas budaya Keraton Solo dan Keraton Jogja sebagai kiblat budaya Jawa terus diupayakan ada karena memang grebeg sekaten ini adalah bentuk legitimasi masyarakat atas keberadaan keraton. Kalau sekaten berubah, bahkan ditiadakan, keraton dianggap tidak menjalankan fungsinya dengan baik.

Selanjutnya adalah: Sekaten saat ini adalah rangkaian kegiatan perayaan

Perayaan

Advertisement

Sekaten saat ini adalah sebuah rangkaian kegiatan perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW yang diselenggarakan keraton yang bekerja sama dengan pemerintah dan masyarakat. Berbagai bentuk acara dan kegiatan diadakan seiring perubahan waktu, mulai dari sifat ritual keagamaannya, apresiasi seni tradisi lokal, hingga ada stan pameran dan pasar malam.

Dari sini kultur lokal dan modern berpadu dalam momentum sekaten. Kepentingan pelestarian budaya, dakwah,  dengan sosial ekonomi sangat kental. Meski demikian, dua dimensi di atas tetap belum memuaskan beberapa pihak yang menyatakan ritual sekaten sebagaai momentum besar yang sia-sia karena dianggap mengabaikan panggung kemanusiaan dan menenggelamkan nilai-nilai humanisme demi sesuatu yang pragmatis.

Acara sekaten dianggap mengalami paragdigma sif yang fundamental. Yang terjadi adalah esensi pesan agama dalam sekaten tereduksi oleh praktik hiburan pasar malam dan ekonomi hingga makna sekaten yang mulanya peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW telah bergeser dari cita-cita awalnya.

Belum lagi mengenai demistifikasi sekaten yang terjadi kerancuan. Ritual sekaten masih lestari dengan nuansa magis-mistis, sedangkan misi besar Nabi Muhammad SAW membawa dakwah Islam untuk menghilangkan mistik. Pada titik inilah sekaten perlu demistifikasi atau disterilkan dari nuansa kemistikan.

Memandang sekaten memang tidak bisa dalam bingkai perspektif agama atau dalam kacamata budaya lokal saja. Jika hal ini terjadi, akan mengakibatkana distorsi yang cenderung menimbulkan perdebatan yang tak ada habisnya. Pada akhirnya dimensi normatif dan historis serta Islam sebagai das sein dan das sollen akan rawan perpecahan jika tidak dibingkai kebijaksanaan dan memperkuat jalinan ukhuwah Islamiyah, ukhuwah wathoniyah, dan ukhuwah basyariah.

Selanjutnya adalah: Sekaten telah mengakar kuat dan mentradisi

Advertisement

Mengakar Kuat

Perayaan sekaten sudah mengakar kuat dan mentradisi bukan hanya di kalangan akar rumput masyarakat, namun secara keseluruhan. Hal ini diperkuat pula dengan dimensi kesejarahan yang merupakan hasil akulturasi antara Islam, Hindu, dan kebudayaan lokal setempat. Kelonggaran hati antara pendakwah dengan penerima dakwah pada masa lalu yang sama-sama pada titik tertentu bersifat akomodatif, saling terbuka untuk menerima sinergi antara Islam sebagai agama dengan budaya lokal, memang tidak bisa diabaikan begitu saja.

Akhirnya pada titik tertentu memang tidak akan bertemu jika memperdebatkan antara Islam, budaya lokal, dengan sekaten dalam segi pemurnian akidah karena keduanya akan memiliki demensi kepentingan berbeda yang harus dihormati. Kontruksi pemahaman kearifan pola berpikir memang diperlukan, bawa berbicara mengenai akulturasi budaya yang sudah mengakar di masyarakat tanpa menghilangkan dan mencerabut akar dari substansi dua unsur budaya yang bertemu.

Pada era kecerdasan hati dan pikir sekarang ini perlu dibicarakan ulang formula yang tepat untuk mengembalikan fungsi dakwah sebagai pesan Maulid Nabi Muhammad SAW dalam perayaan sekaten meski tetap dalam bingkai budaya Jawa. Tujuannya adalah membersihkan diri dan mengingat kembali dimensi transendental ketuhanan yang merupakan fitrah manusia.

Sekaten diharapkan tidak hanya sebagai arena tontonan dan pasar malam, namun juga mengangkat nilai-nilai kemanusiaan melalui berbagai corak kreativitasnya. Jangan sampai riuhnya sekaten hanya untuk kalangan tertentu, menjadikan masyarakat kapitalistis hingga hakikat kemanusiaan sirna.

 

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif