News
Selasa, 21 November 2017 - 03:00 WIB

Warga Miskin Jateng Berkurang 43.000 Jiwa

Redaksi Solopos.com  /  Tika Sekar Arum  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Gubernur Jateng Ganjar Pranowo berfoto bersama seorang veteran di lingkungan Kantor Gubernur Jateng, Jl. Pahlawan, Semarang Selatan, Kota Semarang, Jateng, Jumat (10/11/2017). (Instagram-@ganjar_pranowo)

Jumlah warga miskin di Jateng berkurang 43.000 jiwa selama periode September 2016-Maret 2017.

Jakarta, Solopos.com—Gubernur Jawa Tengah (Jateng), Ganjar Pranawa, mencatat jumlah warga miskin di Jateng berkurang 43.000 orang selama periode September 2016-Maret 2017.

Advertisement

Dia mengklaim pengurangan jumlah penduduk miskin salah satunya dipicu kesuksesan pengendalian inflasi yang dilakukan sejumlah pihak terkait.

Pemerintah pusat, pemerintah daerah, Bank Indonesia, dan sejumlah stakeholders terkait bekerja keras menekan inflasi sehingga harga di pasaran ramah di kantong warga miskin. “Selama periode September 2016-Maret 2017 tercatat ada penurunan jumlah penduduk miskin 43.000 orang dan merupakan penurunan paling banyak di Indonesia,” kata Ganjar saat berbicara di dalam acara Pelatihan Wartawan Daerah Bank Indonesia 2017 di Grand Sahid Jaya, Senin (20/11/2017).

Pengendalian inflasi di Jateng dilakukan salah satunya dengan memanfaatkan website Sihati (Sistem Informasi Harga dan Produksi Komoditas) yang dilengkapi dengan early warning atau peringatan awal jika ada lonjakan harga komoditas pangan secara signifikan. Selain itu, website tersebut juga dilengkapi chat room untuk diskusi mengenai distribusi pasokan komoditas pangan strategis dari daerah surplus ke daerah defisit.

Advertisement

Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Perekonomian, Iskandar Simorangkir, menyampaikan secara nasional kontribusi komponen makanan terhadap garis kemiskinan mencapai 73,19%. Oleh karena itu, jika ada kenaikan harga beras sebanyak 10% akan menambah 1,2 juta orang miskin karena beras menyumbang 21,8% terhadap kemiskinan.

Saat ini pemerintah mengatur harga eceran tertinggi (HET) sejumlah harga komoditas pangan strategis supaya masyarakat tetap mampu membeli dan menekan inflasi. Tak hanya mengatur HET, pemerintah juga berupaya memotong rantai distribusi yang terlalu panjang dan membebani harga jual produk.

“Inflasi membuat daya beli masyarakat turun. Selain itu, inflasi juga menghambat investasi produktif karena tidak ada kepastian mengenai harga sehingga pengusaha menetapkan harga tinggi. Inflasi tinggi akan menjadi beban bagi APBN karena secara empiris, setiap satu persen suku bunga SBN [surat berharga negara] akan menambah pembayaran utang negara Rp300 miliar,” ungkapnya.

Advertisement

Dia memprediksi selama dua bulan (November-Desember) inflasi mampu terjaga di angka 0,6%. Hal ini karena adanya kerja sama Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) dan Satgas Pangan untuk mengontrol pergolakan harga komoditas strategis di pasar menjelang Natal dan Tahun Baru 2018 serta sudah ada HET.

Dia mengungkapkan selama tiga tahun terakhir, inflasi rendah dan selalu berada di bawah target. Meski ada ancaman dari kelompok administered price atau harga yang ditentukan pemerintah, inflasi cenderung tetap terkendali karena volatile food (harga bergejolak) terjaga rendah.

 

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif