Kolom
Senin, 20 November 2017 - 05:00 WIB

GAGASAN : Sapa Salah Seleh

Redaksi Solopos.com  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Tito Setyo Budi

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Jumat (17/11/2017). Esai ini karya Tito Setyo Budi, esais, sastrawan, dan budayawan yang tinggal di Sragen. Alamat e-mail penulis adalah titoesbudi@yahoo.com

Solopos.com, SOLO–Ada pepatah tua dalam khazanah budaya Jawa, yaitu sapa salah seleh. Artinya, siapa yang berbuat salah akan kalah (Syuropati, 2015:206). Sebagai orang Jawa yang lama menggeluti budaya leluhur, baik melalui pendidikan formal maupun berdasarkan pengalaman empiris, saya sempat meragukan ungkapan klasik itu.

Advertisement

Keraguan saya terutama ketika dihadapkan pada kenyataan bahwa ada seorang ”sakti” yang selalu mrojol selaning garu, luput dari tangkapan, walau begitu besar (dugaan) kesalahan atau kejahatannya. Seakan-akan memiliki aji welut putih, ajian yang bisa membebaskan diri dari bencana.

Syahdan, di negeri ini ada seorang tokoh hebat, Setya Novanto namanya. Jabatannya tinggi: Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Kebetulan dalam beberapa waktu terakhir ini terjerat kasus korupsi proyek pengadaan kartu tanda penduduk (KTP) elektronik.

Naga-naganya kasus yang melilit beliau kali ini terbilang berat dibanding sederetan kasus terdahulu yang begitu gampang dia tepis. Namanya juga tokoh hebat. Tak mudah menaklukkan dia. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terpaksa mengakui keunggulan sang tokoh di gugatan praperadilan sehingga gugurlah status tersangka yang disematkan kepada dia.

Advertisement

Kisahnya kemudian adalah KPK pantang mundur. Penyidikan diulang. Status tersangka kembali disematkan. Sang tokoh dipanggil kembali, baik sebagai tersangka maupun saksi untuk tersangka lain. Bersedia hadirkah? Tidak! Kabar yang bisa dibaca melalui Harian Solopos (13/11) hanya disebutkan KPK berharap Ketua DPR Setya Novanto memberi contoh yang baik dengan memenuhi panggilan untuk diperiksa.

Yeach, kata ”berharap” itu yang dipilih Solopos untuk judul berita utama,  Berharap Teladan Novanto. Kenapa keteladanan mesti diharapkan dari seorang Setya Novanto? Setya Novanto bukan Resi Bisma, bukan Guru Drona, atau bukan Adipati Karna, tokoh-tokoh teladan dalam perang Bharatayuda.

Selanjutnya adalah: Memiliki kemampuan perang tak tertandingi

Advertisement

Kemampuan Perang

Dalam film serial Mahabarata versi India dikisahkan ketiganya walaupun memiliki kemampuan perang tak tertandingi, toh akhirnya menyerah-pasrah dan bersedia dihukum tanpa perlawanan setelah masing-masing diberi penjelasan oleh Basudewa Krisna (penjelmaan Dewa Wisnu) tentang kesalahan demi kesalahan berat yang pernah mereka lakukan.

Ungkapan sapa salah seleh dalam dunia pewayangan begitu mudah ditemukan contoh-contohnya. Di alam nyata Indonesia, apalagi sekarang ini, ketika orang-orang pada melek hukum, tak mudah menersangkakan orang. Perlawanan demi perlawanan pasti dilakukan.

Tinggal mana yang lebih kuat. Jika ada orang dituduh melakukan tindakan korupsi, yang penting tolak dulu, perkara terbukti kemudian itu soal belakangan. Meskipun dengan dalih dan dalil yang menggelikan, pengacara Setya Novanto nekad menyarankan agar kliennya tak memenuhi panggilan KPK.

Advertisement

Argumentasinya adalah untuk memanggil dan memeriksa Ketua DPR harus ada izin presiden. Dalih lain, setiap anggota DPR memiliki hak imunitas (parliamentary immunity) yang dijamin UUD 1945, Pasal 20A ayat (3) dan dikuatkan dalam Pasal 224 UU MD3 (Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPRD, dan DPD).

Apa makna equality before the law? Di manakah implementasi Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum?

Saya tak begitu paham hukum, tapi menyimak pembelaan membabi buta oleh Fredrich Yunadi, pengacara Setya Novanto, di sebuah stasiun televisi, perut saya jadi mulas. Beruntunglah Febri Diansyah, Juru Bicara KPK yang pembawaannya tenang dan teduh, bisa memberikan sedikit obat dengan menjelaskan secara gamblang bahwa hak imunitas hanya berlaku sepanjang yang bersangkutan sedang menjalankan tugas sebagai wakil rakyat.

”Sedangkan ini melakukan tindak pidana korupsi, apakah itu juga berarti sedang menjalankan tugas sebagai wakil rakyat?” kata Febri. Sungguh naif jika keberadaan Undang-undang Tindak Pidana Korupsi yang memiliki kekhususan subjek dan perbuatan (bijzonderlijk faiten) diingkari.

Advertisement

Selanjutnya adalah: Membela orang per orang dalam perpolitikan

Perpolitikan

Terlebih hanya untuk membela orang per orang dalam kancah perpolitikan. Sementara perdebatan soal mana yang lebih kuasa antara hukum dan politik bisa menampakkan hal yang berbeda di aras praksis. Walaupun dari sudut das sollen ada pandangan bahwa politik semestinya tunduk pada ketentuan hukum di negara berdasarkan hukum (rechtsstaat) dan bukannya negara kekuasaan (machtsstaat), akan tetapi dari sudut das sein bahwa hukumlah yang kenyataannya ditentukan oleh konfigurasi politik yang melahirkannya.

Jadi, hukum itu produk politik. Repotnya, jika hukum sudah berada dalam cengkeraman hegemoni politik maka munculnya negara mafia (mafia-dominated state) sebagaimana disebut-sebut oleh Susan Rose-Ackerman (1999), penulis buku Cooruption and Goverment, Causes, Consequences, and Reform itu, tak terhindarkan lagi.

Dalam Prolog bertajuk Negara dan Perilaku Mafia untuk buku Negara Mafia karya Laode Ida (2010), Adi Suryadi Culla memberikan paparan yang tegas dan jernih. Bahwa di dalam suatu negara, jaringan mafia merupakan anasir pelaku kejahatan yang bisa saja bergerak secara terorganisasi atau tidak terorganisasi dalam kebijakan pengelolaan negara.

Advertisement

Kejahatan itu bukan saja melibatkan jajaran penegak hukum di lembaga yudikatif, namun juga bisa melibatkan pihak aparat negara lainnya baik yang berada di luar struktur pemerintahan seperti partai politik dan organisasi sosial tertentu lainnya.

Dalam menjalankan praktik ala mafia, para pelaku kejahatan negara tersebut, secara langsung maupun tidak langsung memperoleh perlindungan dari penegak hukum itu sendiri, aparat negara, dan pemilik modal.

Mereka berhasil menyusup, mengendalikan, bahkan memengaruhi dan menguasai instrumen-instrumen negara, termasuk pejabatnya, sehingga tidak mendapat rintangan apa pun, bahkan terkesan dibiarkan (Ida, 2010:21).

Selanjutnya adalah: Bersumber dari kearifan Jawa

Kearifan Jawa

Petatah-petitih berbunyi sapa salah seleh yang bersumber dari kearifan Jawa sejatinya menyarankan agar orang mau berjiwa besar. Tokoh sebesar Setya Novanto hendaknya juga berjiwa besar. Memang ini bisa sangat pahit dan sakit.

Dalam Serat Tripama, karya K.G.P.A.A. Mangkunagara IV, ketiga tokoh yang dikisahkan, yaitu Kumbakarno, Sumantri, dan Adipati Karna, harus mati di medan laga, tapi justru akhirnya mendapat predikat sebagai kesatria utama yang pantas diteladani karena ketiganya berjiwa besar.

Hillary Clinton di Amerika Serikat bisa disebut sebagai contoh lain tentang jiwa besar. Tatkala bertarung melawan Barack Obama dunia tahu betapa tajam kontestasinya. Kedua tokoh itu mati-matian berebut dukungan dari Partai Demokrat. Hillary kalah dan secara ksatria pula mengakui kekalahannya.

Malu? Mungkin saja. Kecewa? Itu pasti, tapi rasa sakit, dendam, telah dipinggirkankan oleh kebesaran jiwa. Maka dengan tulus diterimalah tawaran dari Obama untuk menjadi Menteri Luar Negeri.  Ada pula cerita tentang sebuah keluarga warga Indonesia yang sedang bermukim di Negeri Abang Sam itu.

Seusai berkelahi dengan salah seorang teman bermainnya, seorang anak pulang ke rumah sambil menangis. Dia mengadu kepada ibunya. Apa katanya? ”Sorry, Mom. I was wrong!” padahal dialah yang dijahati. Ini pelajaran permulaan dari berjiwa besar.

Seandainya, ya seandainya, para pemimpin kita semua berjiwa besar tentu kegaduhan-kegaduhan yang selama ini sering muncul tak perlu terjadi dan cita-cita sebagai bangsa yang adil, makmur, sejahtera segera terwujud.

Yang jelas, jika Setya Novanto akhirnya dijemput paksa atau ditangkap oleh petugas KPK, bukan menyerah atas kemauan sendiri (lihat Solopos edisi 16 November 2017), ini tentu bukan contoh berjiwa besar.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif