News
Jumat, 17 November 2017 - 20:07 WIB

KORUPSI E-KTP : Pakar Beberkan Akal-Akalan Setya Novanto Hindari KPK

Redaksi Solopos.com  /  Adib Muttaqin Asfar  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ketua DPR Setya Novanto menjadi saksi dalam sidang kasus korupsi e-KTP dengan terdakwa Andi Agustinus (Andi Narogong) di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jumat (3/11/2017). (JIBI/Solopos/Antara/Hafidz Mubarak A)

Setya Novanto membeberkan akal-akalan Setya Novanto menghindari KPK dari pemeriksaan kasus korupsi e-KTP.

Solopos.com, JAKARTA — Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun menyatakan ada beberapa ketentuan dalam Hukum Tata Negara yang dijadikan Ketua DPR Setya Novanto alasan untuk berkelit.

Advertisement

Berbagai cara untuk berkelit dari proses hukum dalam kasus dugaan korupsi e-KTP itu dinilai Refly telah membenturkan perkara pidana dengan prinsip hukum tata negara.

Salah satunya adalah perlu meminta izin Presiden sampai pengajuan uji materi atas ketentuan dalam Pasal 46 UU No. 30/2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

“Kalau kita lihat alasan yang dikemukakan mulai dari izin Presiden. Padahal kita tahu dari sisi interpretasi terhadap pasal itu jelas sekali tidak perlu izin presiden tetapi ngotot minta izin presiden,” ujar Refly, Jumat (17/11/2017).

Advertisement

Menurutnya, kalaupun meminta izin Presiden itu penting maka hal itu hanya sesuatu yang sifatnya prosedural. Ketika seseorang memiliki tanggung jawab memberikan keterangan kepada penyidik, prosedur meminta izin kepada Presiden bisa dilampaui.

“Meminta izin Presiden kalau memang ada, tapi ini kan tidak ada karena memberikan keterangan itu merupakan kewajiban sebagai seorang warga negara,” katanya.

Tak hanya mempersoalkan izin Presiden, Novanto juga diketahui tengah mengajukan uji materi Pasal 46 UU No. 30/2002 ke Mahkamah Konstitusi sebagai alasan untuk mangkir dari pemeriksaan KPK. Padahal menurut Refly, uji materi tidak bisa dijadikan alasan untuk menolak panggilan KPK.

Advertisement

Dia mengatakan dalam Pasal 58 UU No. 24/2003 ketika uji materi dilakukan terhadap sebuah ketentuan undang-undang, maka undang-undang tersebut tetap berlaku sebelum dinyatakan batal atau bertentangan dengan UUD 1945.

“Jadi intinya, ketika uji materi dilakukan tidak memengaruhi KPK sebelum ada putusan yang membatalkan UU tersebut. Kita tahu, sidang saja belum boro-boro ada putusan,” kata Refly.

Refly mengatakan kalaupun sidang sudah berlangsung, tetap saja perlu minimal 3-6 bulan bahkan satu tahun untuk menunggu putusan. Karena itu tidak masuk akal ketika uji materi dijadikan tameng secara formal untuk menunda proses.

“Ini kan masalahnya mencari-cari alasan. Semua alasan digunakan untuk menghindari proses hukum,” ujarnya. Menurutnya, dari berbagai fakta itu terlihat bahwa apa yang dilakukan Setya Novanto bukan contoh yang baik dari pejabat publik dengan jabatan tinggi.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif