Kolom
Jumat, 17 November 2017 - 05:00 WIB

GAGASAN : Generasi Milenial dan Politik

Redaksi Solopos.com  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Lukmono Suryo Nagoro

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Selasa (14/11/2017). Esai ini karya Lukmono Suryo Nagoro, editor buku yang tinggal di Kota Solo. Alamat e-mail penulis adalah lukmono.sn@gmail.com.

Solopos.com, SOLO–Baru-baru ini lembaga think tank yang bermarkas di Tanah Abang, Jakarta, Centre for Strategic and International Studies (CSIS), merilis sebuah survei bertajuk Ada Apa dengan Milenial? Orientasi Sosial, Ekonomi, dan Politik.

Advertisement

Meskipun bertajuk milenial, tetapi survei tersebut juga memasukkan generasi nonmilenial. Perlu diketahui, generasi milenial dalam survei tersebut dirumuskan berusia antara 17 tahun-29 tahun, sedangkan nonmilenial berusia di atas 30 tahun.

Hasil survei tersebut menyatakan secara umum tidak terdapat perbedaan signifikan antara generasi milenial dan nonmilenial dalam hal aspirasi, harapan, dan persepsi terhadap pemerintahan tetapi generasi milenial mempunyai akses lebih terhadap media sosial serta mempunyai potensi untuk berbeda dalam banyak hal. Generasi ini juga merasa nyaman dengan media sosial dan Internet

Temuan penting lainnya adalah pengaruh generasi milenial dalam aspek politik dan ekonomi belum terlalu kuat, namun bila informasi di media sosial semakin dapat dipercaya akan membentuk generasi yang lebih kuat.

Advertisement

Hasil pembacaan saya terhadap survei tersebut menemukan dua hal yang menarik. Pertama, lebih dari 75% generasi milenial percaya terhadap kemampuan pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan memeratakan hasil-hasil pembangunan, namun generasi milenial yang menyenangi kegiatan politik hanya 2,3%.

Kedua, generasi milenial maupun nonmilenial tidak berbeda jauh soal kegiatan membaca. Hanya berkisar di angka 5%. Hal ini sejalan dengan temuan bahwa generasi milenial akan menjadi generasi yang kuat apabila informasi di media sosial dapat dipercaya.

Selanjutnya adalah: Pelajar Indonesia bertambah bodoh

Advertisement

Bertambah Bodoh

Artikel saya berjudul Komunisme dan Logika Kita (Solopos edisi 23 September 2017) menyatakan bahwa pelajar Indonesia bertambah bodoh dalam matematika dan membaca selama periode 2003-2012. Hal ini menegaskan harapan generasi milenial akan menjadi generasi yang kuat dan antihoaks dalam waktu singkat masih jauh panggang dari api.

Perilisan hasil survei tersebut hampir bersamaan dengan kegiatan seleksi calon anggota legislatif oleh partai politik yang mengidentifikasi diri sebagai partai milenial, yakni Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Seleksi calon anggota legislatif tersebut dilakukan oleh PSI dan tim independen yang terdiri atas kalangan intelektual dengan rekam jejak bebas dari korupsi dan aksi intoleransi.

Jika generasi milenial diartikan sama dengan pemuda, tentunya kita tidak lagi awam dengan peran pemuda dalam pusaran sejarah bangsa Indonesia. Pemuda Yamin, pemuda Hatta, dan pemuda W.R. Soepratman mendeklarasikan Sumpah Pemuda pada 1928. Pemuda Wikana bersama para pemuda seangkatannya dengan gagah berani menculik golongan tua agar sesegera mungkin memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

Advertisement

Pemuda Soe Hok Gie, pemuda Akbar Tandjung, pemuda Arief Rahman Hakim berjuang melahirkan Orde Baru. Pemuda Heri Hartanto dan pemuda Elang Lesmana mengorbankan nyawa untuk melahirkan Orde Reformasi.

Budiarto Shambazzy dalam buku Soe Hok-Gie, Sekali Lagi! menyatakan pemuda merupakan perawat kebun bangsa Indonesia. Para pemudalah yang menyirami sekaligus membabat gulma penghambat kemajuan bangsa Indonesia.

Selanjutnya adalah: Banyak calon anggota legislatif berusia muda

Advertisement

Berusia Muda

Pada saat seleksi calon anggota legislatif di PSI, banyak sekali calon anggota legislatif berusia muda yang masuk jadi anggota PSI. Di kepala calon anggota legislatif yang berusia muda itu mestinya terdapat harapan akan perubahan. Salah satunya adalah Giring Ganesha (vokalis band Nidji) yang berencana mengubah ujian nasional menjadi ujian bakat.

Dengan berbondong-bondongnya para pemuda masuk ke arena politik artinya para pemuda memiliki kesadaran bahwa perjuangan politik dapat dilakukan dari dalam. Para pemuda tidak ingin terus-menerus di luar sistem dalam menyuarakan pandangan politik mereka.

Saat ini rakyat Indonesia sedang melihat betapa korupnya para anggota DPR dan melihat tidak jelasnya alasan hidup partai-partai politik, kecuali untuk mendapatkan kekuasaan. Indonesia sedang memasuki masa ketika rakyat yang apatis sekalipun akan mencemooh bahkan mencurigai para pemegang peran dalam demokrasi atau politikus.

Selain itu, proses perubahan yang sering jadi jargon dalam kampanye pemilihan umum sering tidak sesuai kenyataan. Demokrasi pemilihan umum tidak cukup untuk menghasilkan perubahan radikal. Ketidakcukupan itu karena pemilihan umum itu sendiri terkurung dalam kurva lonceng: sebagian besar pemilih tidak menghendaki adanya perubahan radikal tersebut.

Statistik menunjukkan ada semacam konsensus untuk tidak memilih hal yang ekstrem. Situasi yang demikian membuat para pemuda memiliki semacam tanggung jawab mengembalikan politik sebagai perjuangan.

Advertisement

Selanjutnya adalah: Membutuhkan keluwesan memilih metode 

Keluwesan

Jalan yang ditempuh selalu membutuhkan keluwesan untuk memilih metode, baik melalui perundang-undangan maupun melawan perundang-undangan, atau baik melalui partai politik maupun melawan partai politik.

Ketika menulis esai ini, saya teringat Joko Widodo, Presiden Indonesia sekarang. Karier Joko Widodo sebelum menjadi presiden adalah Wali Kota Solo dan Gubernur DKI Jakarta. Setelah reformasi, pemimpin di level kota/kabupaten dan provinsi serta wakil rakyatn dipilih secara langsung.

Artinya, pemerintah daerah di tingkat kabupaten dan kota merupakan lembaga demokratis yang paling dekat dengan masyarakat. Dalam pemaknaan saya, keberhasilan atau kegagalan demokrasi di Indonesia akan lebih ditentukan oleh tingkah laku politikus di kabupaten dan kota ketimbang para pejuang di luar sistem.

Kalau generasi milenial mengidolakan Joko Widodo, ada baiknya ketika di dalam pemerintahan bertindak sebagaimana yang dinyayakan Soe Hok Gie: idealisme mereka tidak boleh luntur oleh lobi-lobi. Perjuangan generasi  milenial di dalam sistem sebagaimana dinyatakan oleh Max Webber diibaratkan politik adalah pengeboran kayu keras yang sulit dan lama.

Kalau melihat kondisi demokrasi yang seperti sekarang ini, Joko Widodo yang ahli perkayuan saja kesulitan mengebor vested interest yang sudah berurat berakar di lembaga politik, apalagi kaum milenial. Pesan saya adalah kayu di Indonesia tidak kalah keras daripada kayu di negara lainnya. Dibutuhkan kesabaran dan jangan berharap dalam waktu singkat perbaikan dapat  terjadi.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif