Kolom
Kamis, 16 November 2017 - 05:00 WIB

GAGASAN : Pembangunan yang Masih ”Hijau”

Redaksi Solopos.com  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Paving blok di atas saluran drainase terlihat rusak dan ambles di citywalk Jl. Slamet Riyadi, Solo, Kamis (7/4/2016). (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan ini dimuat Harian Solopso edisi Sabtu (11/11/2017). Esai ini karya Titis Efrindu Bawono, aktivis forum diskusi Transportologi yang bertujuan mendiseminasi transportasi berkelanjutan. Alamat e-mail penulis adalah efrindu@gmail.com.

Solopos.com, SOLO–”Sebagai salah satu negara pemilik hutan terluas yang menjadi paru-paru dunia, Indonesia telah memilih untuk menjadi bagian dari solusi,” ujar Presiden Joko Widodo dalam acara UN Climate Change Conference (COP21) di Paris, Prancis, pada 2015 lalu.

Advertisement

Bertolak belakang dengan pernyataan tersebut, Pemerintah Kota Solo justru menebang pohon sebagai imbas pembangunan drainase dan persiapan pembangunan jalan layang. Ini bukan kali pertama Pemerintah Kota Solo mendapat kritik dari masyarakat perihal penebangan pohon.

Penebangan pohon mengemuka menjadi berita di media massa dan kritik mengemuka bertubi-tubi. Pertanyaan saya adalah apakah perencanaan pembangunan infrastruktur Kota Solo kerap mengabaikan wawasan lingkungan (dalam hal ini penyediaan area hijau)?

Advertisement

Penebangan pohon mengemuka menjadi berita di media massa dan kritik mengemuka bertubi-tubi. Pertanyaan saya adalah apakah perencanaan pembangunan infrastruktur Kota Solo kerap mengabaikan wawasan lingkungan (dalam hal ini penyediaan area hijau)?

Wacana pembangunan berwawasan lingkungan bukan hal baru. Dalam konferensi di Stockholm pada 1972 yang membahas pembangunan dan lingkungan hidup timbul kesadaran bahwa pemeliharaan lingkungan merupakan upaya untuk menyeimbangkan keterbatasan daya dukung alam dengan kebutuhan penduduk yang kian bertambah pesat.

Pemeliharaan lingkungan berfungsi sebagai jembatan agar proses pembangunan ekonomi tidak berhenti dan terus berlanjut. Pada 1987, United Nations World Comission on Environment and Development merumuskan definisi pembangunan berkelanjutan sebagai pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan saat ini dan harus memerhatikan kesesuaian dengan kebutuhan generasi masa depan.

Advertisement

Deklarasi Rio

Dalam deklarasi Rio pada Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio de Janeiro pada 1992 definisi keberlanjutan ditegaskan dengan makna pembangunan tidak boleh mengancam kebutuhan saat ini dan kebutuhan masa depan (Ismid Hadad, Prisma Volume 35 Tahun 2016).

Advertisement

Lingkungan tetap harus dipertahankan sebagai upaya menjamin kebutuhan generasi masa depan. Ide pembangunan berwawasan lingkungan diejawantahkan oleh pemerintah, salah satunya, melalui rencana aksi nasional penurunan emisi gas rumah kaca yang terangkum dalam Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011.

Pemerintah Kota Solo mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2015 yang mengatur perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Salah satu fungsi peraturan daerah tersebut adalah mengatur persyaratan dan konsekuensi yang perlu dilakukan sebelum melaksanakan suatu program pembangunan.

Sayangnya komitmen di kertas belum diimplementasikan sepenuhnya. Perencanaan pembangunan perkotaan, termasuk di Kota Solo, masih tergolong ”hijau” untuk dapat dikatakan berwawasan lingkungan. Banyak kasus pengabaian dampak lingkungan terjadi hampir di semua program pembangunan di Indonesia, seperti penebangan pohon, proyek reklamasi, proyek penambangan, pembangunan pabrik semen, dan pembangunan infrastruktur tanpa penyertaan dokumen analisis mengenai dampak lingkungan. Lingkungan justru kerap menjadi kambing hitam pembangunan.

Advertisement

Kawasan city walk di Kota Solo terpaksa kehilangan pohon dan tanaman perdu lantaran tanaman perdu sering rusak karena terinjak masyarakat dan kerap terlihat kotor sehingga disimpulkan menjadi salah satu faktor yang merugikan pelaku usaha di sepanjang Jl. Slamet Riyadi tersebut (

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif