Pembuatan buku sejarah Madiun terkendala saat pengumpulan dokumen era penjajahan Jepang.
Madiunpos.com, MADIUN — Tim dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta yang meneliti sejarah Madiun mengaku kesulitan saat mencari dokumen era penjajahan Jepang. Karena itu, dalam buku Madiun Sejarah Politik & Transformasi Kepemerintahan dari Abad XIV hingga Awal Abad XXI yang baru diluncurkan tidak ada periodisasi era penjajahan Jepang.
Ketua Tim Peneliti UGM tentang sejarah Madiun, Sri Margana, mengatakan tim peneliti hanya mampu mencari sedikit informasi mengenai sejarah Madiun saat Tanah Air diduduki Jepang. Peneliti kesulitan mencari arsip dan dokumen yang berbicara mengenai hal itu. (Baca: Buku Hasil Penelitian tentang Sejarah Madiun Telah Terbit)
Selain sumber informasi yang minim, kata Margana, tim juga tidak memiliki ahli bahasa Jepang sehingga dokumen-dokumen berbahasa Jepang tidak bisa terserap dengan maksimal dalam penelitian sejarah Madiun itu.
Selain sumber informasi yang minim, kata Margana, tim juga tidak memiliki ahli bahasa Jepang sehingga dokumen-dokumen berbahasa Jepang tidak bisa terserap dengan maksimal dalam penelitian sejarah Madiun itu.
“Permasalahan utama yaitu dokumentasi mengenai Madiun era Jepang memang minim. Tetapi, tidak adanya tenaga yang bisa membaca bahasa Jepang juga menjadi masalah. Tidak ada anggaran untuk membayar tenaga yang ahli di bidang itu,” jelas dia saat berbincang dengan Madiunpos.com seusai acara bedah buku Madiun Sejarah Politik & Transformasi Kepemerintahan dari Abad XIV hingga Awal Abad XXI di Pendapa Kabupaten Madiun, Selasa (14/11/2017).
Tim peneliti hanya mampu menghasilkan lima lembar yang berisi Madiun pada saat dijajah Jepang. Padahal dalam perencanaan ada bab khusus yang mengulas mengenai sejarah Madiun pada periode penjajahan Jepang sehingga hasil penelitian yang sangat terbatas itu hanya disisipkan dalam bab lainnya. (Baca: Di Balik Penulisan Buku Sejarah Madiun yang Menghabiskan Dana Rp730 Juta)
Tim peneliti hanya mengandalkan artefak-artefak kuno yang berkaitan dengan Madiun pada era Majapahit maupun Singosari. “Kami mencari artefak di Madiun itu sangat susah sekali. Banyak artefak yang hilang,” ujar dosen sejarah di UGM ini.
Selain minimnya sumber informasi, masalah waktu juga menjadi kendala tersendiri. Margana menyebutkan waktu yang diberikan Pemkab sangat mepet yaitu hanya satu tahun. Padahal biasanya penelitian buku setebal itu menghabiskan waktu sekitar dua tahun. (Baca:
“Pembuatan buku ini kurang maksimal karena waktunya memang mepet,” kata dia.
Budayawan asal Madiun, Kirun, mengatakan sangat mengapresiasi penerbitan buku sejarah Madiun itu. Buku tersebut bisa dijadikan pegangan bagi warga Madiun untuk mencari tahu sejarah secara otentik.
“Saya selama jadi orang Madiun belum pernah memegang buku yang membahas Madiun secara spesifik. Setelah buku ini terbit baru mengetahui asal mula nama Madiun,” jelas dia.
Kirun berharap buku sejarah Madiun ini bisa didistribusikan secara luas kepada masyarakat. Hal ini supaya masyarakat Madiun mengetahui sejarah kabupaten ini.
“Saya berharap bisa digandakan sebanyak mungkin. Kemudian di setiap desa dan kelurahan diberikan supaya mengetahui sejarah ini,” jelas seniman ketoprak ini.