Kolom
Rabu, 15 November 2017 - 06:00 WIB

GAGASAN : Mantu Berasa Komunikasi Budaya

Redaksi Solopos.com  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Kahiyang bersama ayahnya, Presiden Jokowi, dan ibunya, Iriana, seusai siraman, Selasa (7/11/2017). (Istimewa/Facebook)

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Jumat (10/11/2017). Esai ini karya Prilani, pengajar Ilmu Komunikasi di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kediri, Jawa Timur.

Solopos.com, SOLO–Mantu adalah prosesi ritual para orang tua melepas masa lajang anak-anak mereka. Peristiwa sakral ini menjadi momen penting bagi kedua mempelai. Proses ini menjadi menarik kala dilakukan oleh Presiden Joko Widodo.

Advertisement

Pernikahan Kahiyang Ayu dan Bobby Nasution menjadi lebih fenomenal ketika banyak media massa melakukan siaran live event  dengan bumbu tamu-tamu dan tokoh-tokoh di Indonesia.

Prosesi mantu ala Jawa memang sedikit ribet karena kultur Mataraman mengenal dan memegang teguh adat istiadat Jawa tanpa meninggalkan nilai dan syariat agama Islam.

Serangkaian kegiatan ini mungkin bagi sebagaian orang kurang praktis. Pertemuan dua insan berdarah Jawa dan Batak ini menjadi penting untuk membuka pikiran kita bahwa berbeda budaya belum tentu berbeda segalanya.

Advertisement

Tidak mengherankan pernikahan ini lekat dengan pendekatan komunikasi antarbudaya. Konteks penggunaan bahasa kedua mempelai, misalnya, pasti juga akan berbeda. Belum lagi komunikasi antara keluarga besar Presiden Joko Widodo dan almarhum Erwin Nasution.

Ucapan ijab kabul Bobby Nasution yang demikian lugas menunjukan karakter kebahasaan Suku Batak yang berbeda dengan ucapan penerima seserahan yang menggunakan bahasa Jawa krama. Pertemuan bahasa ini menunjukan betapa dominasi bahasa menjadi alat komunikasi yang efektif.

Persepsi orang mungkin bermacam-macam atas acara mantu yang diselenggarakan Presiden Joko Widodo ini,  namun jika merujuk realitas faktualnya tentu kita disuguhi prosesi adat-istiadat yang luar biasa. Lepas dari pro dan kontra tentang kemewahan atau kesederhanaan.

Selanjutnya adalah: Kereta kencana merupakan cermin budaya Jawa

Advertisement

Kereta Kencana

Kereta kencana yang ditumpangi kedua mempelai merupakan cermin budaya Jawa, terutama Mataraman. Pengawalan yang ketat dan menampilkan perempuan yang berdandan adat daerah-daerah di Indonesia menyejukkan hati kita dan menunjukkan betapa Bhinneka Tunggal Ika masih hadir di tengah-tengah kita.

Komunikasi nonverbal tampak juga pada pakaian pengantin yang seolah-olah ingin menjelaskan bahwa mereka mencintai kultur Jawa. Sorot mata dan senyuman Bobby sebagai pengantin laki-laki berdarah Batak seakan-akan tenggelam mengikuti arus deras iklim dan kultur budaya Jawa.

Advertisement

Kota Solo yang syarat khas batik dan kuliner juga menjadi magnet positif acara ini. Makanan tradisonal khas yang disuguhkan juga menunjukan local wisdom bagi acara akbar ini. Para tamu undangan yang hadir dari berbagai daerah, tua muda, dari mulai rakyat jelata sampai pejabat tumpah ruah memadati area resepsi.

Yang patut disimak adalah interaksi sosial di antara mereka seakan-akan cair dalam perbedaan masing-masing. Para tamu dan masyarakat sekitar seakan-akan lupa dan mengabaikan etnosentrisme yang sering muncul dari beberapa kalangan dan mereka seakan-akan tidak memikirkan lagi sekat-sekat sosial.

Beberapa menteri Kabinet Kerja makan mi yang dijual pedagang kaki lima dengan suasana penuh keakraban. Seandainya kita selalu menjaga Indonesia dengan situasi semacam ini, alangkah damainya negeri kita.

Acara mantu anak kedua Presiden Joko Widodo ini menampakkan zona nyaman dan terbuka. Meskipun terdapat insiden-insiden kecil, secara makro kepentingan publik masih terpenuhi.

Advertisement

Kalau pun ada protokoler berlebihan itu merupakan hal wajar karena standar pengamanan presiden selaku orang pertama di negeri ini harus sangat diperhatikan tanpa mengabaikan keinginan warga negara sebagai bagian dari bangsa ini.

Selanjutnya adalah: Pengenalan budaya baru bagi keluarga besar

Budaya Baru

Pengenalan budaya baru bagi keluarga besar mempelai adalah bentuk pertukaran budaya. Konteks budaya Jawa yang cenderung high context dengan memegang nilai-nilai sopan santun dan etika tentu berbeda dengan budaya Batak yang low context dengan pola keterbukaan yang dominan.

Artinya masyarakat Jawa masih menjunjung tinggi perasaan orang lain, namun belum tentu juga keterbukaan orang Batak akan menampilkan sesuatu yang vulgar. Dinamika konteks tinggi dan rendah ini menghiasi saat acara mantu yang diselenggarakan Presiden Joko Widodo.

Advertisement

Adaptasi sebagai konsekuensi dari penerimaan budaya baru harus diterima sebagai bagian kehidupan manusia ketika berinteraksi dengan orang lain. Presiden Joko Widodo sebagai simbol negara telah menunjukkan kebinekaan dengan memegang teguh adat Suku Jawa dalam acara mantu yang dia gelar.

Penerimaan budaya baru oleh keluarga besar Bobby Nasution juga menunjukkan adaptasi sebagai proses awal menjadi bagian keluarga Jawa. Pola komunikasi dalam masyarakat membutuhkan interaktivitas yang tinggi, artinya harus sering belajar tentang siapa lawan bicara dan berasal dari kultur apa.

Komunikasi transaksional ketika acara mantu yang digelar Presiden Joko Widodo ini membuktikan cairnya komunikasi antarbudaya di Indonesia. Semoga kedua mempelai mampu mewadahi perbedaan budaya sehingga kedua keluarga ini mencapai pola komunikasi yang dinamis,  harus ada penyesuaian dalam perbedaan. Selamat untuk Presiden Joko Widodo. Ayo kerja, kerja, dan kerja lagi…

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif