News
Senin, 13 November 2017 - 20:00 WIB

Setya Novanto Gugat UU KPK ke MK, Ini Targetnya

Redaksi Solopos.com  /  Adib Muttaqin Asfar  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Anas Urbaningrum dan Setya Novanto bersaksi dalam sidang kasus dugaan korupsi e-KTP di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (6/4/2017).(JIBI/Solopos/Antara/Akbar Nugroho Gumay)

Setya Novanto menggugat dua pasal dalam UU KPK ke MK.

Solopos.com, JAKARTA — Setelah ditetapkan menjadi tersangka kasus e-KTP, Novanto menggugat Undang-Undang No. 30/2002 tentang KPK ke Mahkamah Konstitusi (MK), sore tadi. Ada dua pasal dalam UU KPK yang digugat Novanto.

Advertisement

Sesuai surat tanda terima pengaduan bernomor 1735/PAN.MK/XI/2017, pasal pertama yang digugat yaitu Pasal 46 ayat (1) dan ayat (2). Pasal ini dianggap mengesampingkan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Kemudian, sesuai surat nomor kedua bernomor 1735/PAN.MK/XI/2017, pasal kedua yang digugat ?Pasal 12 ayat (1) huruf b.

Advertisement

Kemudian, sesuai surat nomor kedua bernomor 1735/PAN.MK/XI/2017, pasal kedua yang digugat ?Pasal 12 ayat (1) huruf b.

“Jadi kami kembalikan secara norma hukum, telah mengajukan permohonan kepada MK. Sudah dengan bukti-bukti, kami sudah tunjukkan. Semua ada 12 set, sudah kami sampaikan. Kami sudah minta segera disidangkan untuk tidak menjadi sesuatu kasus yang menggantung yang dalam hal ini masyarakat nanti bingung siapa sebenarnya yang benar,” kata pengacara Novanto, Fredrich Yunadi, diberitakan Suara.com.

Fredrich kemudian menjelaskan alasan melakukan judicial review terhadap dua pasal.

Advertisement

Pasal tersebut dianggap Fredrich bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 20 A ayat (3) yang berbunyi selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain UUD. Menurut Fredrich, setiap anggota DPR mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas.

“Jadi apakah Pasal 46 tersebut yang dinyatakan bertentangan dengan UUD atau tidak? Karena Pasal 46 antaranya dalam penyelidikan, penyidikan, KPK bisa memanggil dari pada orang yang diselidiki atau disidik dengan mengesampingkan UU. Apakah termasuk mengesampingkan UUD? Ini perlu kita uji supaya tidak ada kesalahpahaman baik dari KPK maupun kuasa hukum,” kata Fredrich.

Sedangkan alasan uji materi Pasal 12 ayat (1), dianggap Fredrich bertentangan dengan putusan MK tentang gugatan Pasal 16 ayat (1) huruf b Undang-Undang nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian.

Advertisement

MK memutuskan bahwa kata ‘penyelidikan dan’ yang tertera dalam Pasal 16 ayat (1) huruf b UU No. 6/2016 tentang Keimigrasian bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Putusan itu keluar pada Februari 2012.

Karena itu, Pasal 16 ayat (1) huruf b itu berbunyi “diperlukan untuk ?kepentingan penyidikan atas permintaan pejabat yang berwenang”. Pasal 16 ini berisi tentang pejabat imigrasi menolak orang untuk keluar wilayah Indonesia dalam hal orang tersebut;

“Putusan MK sudah menyatakan wewenang imigrasi untuk mencegah ke luar negeri yang bersangkutan itu dinyatakan inkonstitusional. Tapi KPK kan masih ngotot dengan alasan dia punya wewenang penuh mengesampingkan segala undang-undang. Dari pada ribut lalu debat kusir, lebih baik saya uji di MK, biar MK akan mempertimbangkan atau putusan sekiranya apa yang sebenarnya jadi acuan penegak hukum,” ujar Fredrich.

Advertisement

?Fredrich berharap KPK jangan memeriksa Novanto sampai MK memutuskan. Alasan ini pula yang dipakai KPK menolak memenuhi panggilan panitia khusus angket KPK ?di DPR. KPK tidak menghadiri panggilan pansus karena MK belum memutuskan uji materi tentang keabsahan pembentukan pansus.

“Kalau dia [KPK] bisa menyatakan sikap dengan diri dia ?sendiri yang dipanggil [pansus angket KPK] dengan menunggu keputusan MK, maka klien kami juga wajib diperlakukan sama dengan dirinya sendiri. Kalau tidak berarti kan ada pilih kasih, menang sendiri,” tutur Fredrich.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif