Kolom
Senin, 13 November 2017 - 06:00 WIB

GAGASAN : Dilema antara Pakem dan Showbiz

Redaksi Solopos.com  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Seniman yang tergabung dalam Sanggar Seni Keroncong Wayang Dangdut (Congwayndut) Solo mementaskan Wayang Terawang Shadow of Kamapala saat gladi bersih di Gedung Teater Besar Institut Seni Indonesia (ISI), Solo, Senin (4/9/2017) malam. (Nicolous Irawan/JIBI/Solopos)

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Rabu (8/11/2017). Esai ini karya Muh. Fajar Shodiq, dosen Sejarah di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Surakarta. Alamat e-mail penulis adalah fajarshodiq70@gmail.com.

Solopos.com, SOLO — Wayang yang kian dilupakan masyarakat jamak teringat kala mendekati momen tertentu, misalnya acara bersih desa, tasyakuran hari jadi suatu daerah atau perusahaan tertentu, atau mendekati ulang tahun kemerdekaan Indonesia.

Advertisement

Wayang kembali menjadi pusat perhatian saat dirayakan pada Hari Wayang Sedunia setiap 7 November. UNESCO menetapkan wayang sebagai warisan kebudayaan dunia pada 2003. Pada hari itu beramai-ramai para pencinta wayang mengadakan berbagai macam acara untuk memperingatinya.

Indonesia termasuk pusat budaya yang nguri-uri wayang sebagai aset kebudayaan nasional. Sekuat apa pun upaya pencinta dan yang berkepentingan dengan pelestarian budaya wayang ketika sudah mulai tergerus budaya pop dan multimedia yang menggila maka perlahan atau pasti wayang akan mencapai titik kritis.

Untuk menaikkan pamor wayang agar tetap diminati seluruh generasi, terutama generasi muda, berbagai macam cara ditempuh. Para dalang dan semua yang berkepentingan dengan kesenian ini tak lelah berupaya agar wayang tetap dilirik dan dinikmati tanpa meninggalkan kesan kuno atau ketinggalan zaman.

Advertisement

Dari sinilah ada dilema antara tetap pertahankan pakem agar terlihat keaslian wayang itu atau terpaksa berdamai dengan dunia showbiz agar wayang tetap dapat dinikmati dengan bentuk yang berbeda. Idealnya wayang mengacu pada gagrak (pola, gaya, mazhab, atau corak ) dan  pakem tertentu.

Pada masa lampau persoalan gagrak atau pakem ini tidak terlalu menjadi persoalan karena komunikasi antardaerah yang tak semudah dan semasif sekarang. Sejalan dengan perkembangan budaya dan hubungan antardaerah, akhirnya kita mengenal gagrak-gagrak wayang sesuai sifat khas kedaerahan.

Selanjutnya adalah: Pakem dipahami sebagai kesepakatan

Advertisement

Pakem

Pakem dipahami sebagai kesepakatan bersama yang dirancang, disepakati, dan dipatuhi oleh sekelompok orang (seniman) pendukungnya. Pakem pada masa lalu saat keraton berkuasa lebih mudah ditaati karena ada petunjuk pelaksanaan yang tinggal diikuti.

Pakem sebenarnya bukan merupakan sesuatu yang bersifat mutlak, dogmatis, dan sama sekali tidak berubah. Pada dasarnya mengikuti suatu pakem tertentu lebih untuk menyeragamkan suatu karya budaya hingga terlihat lebih rapi, elok, dan memiliki kekuatan magis.

Pada masa lalu keratonlah (di Jawa) yang menjadi pusat kekuasaan hingga ketika terjadi perubahan pakem maka perubahannya hanya kecil. Sebagai contoh,  menurut Bambang Murtiyoso, seorang budayawan,  ada yang memosisikan wayang Arjuna sebagai tokoh sentral dalam budaya Jawa. Arjuna sebagai simbol satriya pinandhita atau insan kamil (dalam lakon Arjuna Wiwaha). Dalam aktivias budaya hal itu sah.

Advertisement

Hal ini disebabkan simbolisasi apa saja yang diberikan pada Arjuna lebih mengacu pada watak dan lelabuhan (perilaku). Arjuna sering divisualisasikan dalam lakon-lakon wayang yang ditulis para kreator serta digelar para dalang dalam pakeliran.

Yang menjadi titik persoalan adalah tidak semua dalang, apalagi era sekarang, mengacu pada kisah-kisah Arjuna dalam karya sastra maupun panduan pakem tertulis. Mengapa hal ini bisa terjadi?  Jagat pewayangan berkembang atas dasar tradisi lisan. Tidak mengherankan sering terjadi perbedaan radikal antara peristiwa yang dikisahkan dalam literatur dengan alur yang dipentaskan dalam pakeliran.

Perbedaan juga terdapat pada karakter tokoh dan genealogi yang berlangsung cukup lama hingga tidak perlu diperdebatkan lagi. Sejalan dengan perkembangan budaya dan pergeseran pusat-pusat kekuasaan (pemerintahan), pakem bergeser menjadi sesuatu yang tidak terlalu dipatuhi sebagai sesuatu yang bersifat dogmatis atau wajib diikuti.

Selanjutnya adalah: Seorang dalang menciptakan sesuatu yang revolusioner

Advertisement

Seorang Dalang

Pada 1966 ada seorang dalang wayang kulit purwa menciptakan sesuatu yang cukup revolusioner. Dalang itu adalah Ki Narto Sabdo. Laki-laki asal Semarang ini melanggar pakem dengan menerapkan dua gagrak yang berbeda, yakni Surakarta dan Yogyakarta (Mataraman), dalam setiap pergelaran wayang kulit yang dia mainkan.

Tidak jarang ia bahkan menyelipkan gagrak Banyumasan atau malah gaya Sunda. Pada mulanya orang terperangah dengan aksi Ki Narto Sabdo yang dianggap menyalahi pakem, bahkan banyak penentangnya, terutama para pendukung fanatik gagrak-gagrak tersebut. Pada awal dia mulai dikenal luas oleh publik dibeberapa mendapat larangan pentas.

Anehnya, masyarakat luas malah mendukung unsur kebaruan yang ditawarkan Ki Narto Sabdo. Penyajian unsur kebaruan itu diangap sebagai angin segar jagat pakeliran yang mulai banyak kehilangan penggemar,  terutama di kalangan generasi muda.

Kelompok yang menentang pembaruan berhadapan dengan masyarakat luas yang tidak mempersoalkan apa itu gagrak atau pakem tertentu dan bahkan antusias menikmati pergeralaran wayang gaya baru tersebut. Wayang ala Ki Narto Sabdo dianggap memenuhi selera dan keinginan mereka.

Advertisement

Jerih payah dalang ini tak sia-sia. Pada 1971, Ki Narto Sabdo merupakan dalang yang paling populer di Indonesia. Ki Narto Sabdo tidak sendirian. Banyak seniman wayang sesudah dia yang berkiprah secara mandiri dan berhasil membuka mata seniman lainnya bahwa kreativitas untuk memberdayakan seni pertunjukan yang berbasis budaya lokal tidak stagnan atau mati suri sehingga pertunjukan menjadi tidak monoton.

Budayawan sekaligus ahli pewayangan Bambang Murtiyoso menyatakan ia pernah melihat pergelaran wayang yang dipentaskan oleh dalang senior saat itu yang menyalahi pakem dalam hal dialog antara Arjuna dengan para punakawan. Dialog itu ternyata membuat penonton tertawa terbahak-bahak dan cukup menghibur. Hal-hal seperti inilah yang memunculkan unsur-unsur kejutan yang sangat ditunggu-tunggu oleh penonton.

Almarhum Umar Kayam, seoran budayawan, pernah menyatakan pada acara pekan wayang Indonesia bahwa wayang bukan lagi sebagai simbol-simbol, bukan lagi  frame of referance, namun wayang adalah tokoh-tokoh drama biasa, bukan sesuatu yang dimitoskan, serta bukan merupakan tokoh yang pantas diidolakan.

Selanjutnya adalah: Ada sesuatu yang berubah di masyarakat

Berubah

Menurut Umar Kayam, ada sesuatu yang berubah di masyarakat, termasuk nilai moral, etika, dan estetika. Kini yang lebih dikedepankan adalah unsur hiburan, melalui guyonan dagelan, lagu-lagu yang disajikan penyanyi, dialog interaktif bintang tamu, terutama dalam adegan Limbuk-Cangik dan gara-gara.

Umar Kayam menganggap dalang semakin kurang percaya diri gara-gara  desakan ”manajer pertunjukan” agar memenuhi selera penonton, apalagi sekarang ini ditambah dengan unsur musik dangdut, bahkan ada  pemaksaan memasukkan sponsorship yang membuat pertunjukan berbasis budaya lokal ini kian kental dengan unsur showbiz.

 Distorsi pemahaman budaya seperti ini memang butuh jalan tengah. Generasi muda tidak bisa dipaksa mencintai sesuatu yang memang bukan dunia mereka atau sesuatu yang kurang mereka sukai. Budaya daerah ini memang  kental dengan anggapan kuno dan ketinggalan zaman pada era digital.

Yang perlu diingat adalah negara membutuhkan generasi penerus untuk menjaga budaya nasional yang mendunia ini agar tidak tergerus zaman dan mati. Perlu dialog mendalam antar pemangku kepentingan, seniman wayang, dan penikmat karya budaya ini agar seni pertunjukan ini bisa dinikmati semua kalangan meski bukan apresiator.

Pergelaran seni wayang murni yang lengkap dan tunduk pada pakem-pakemnya secara rutin dan berkala di tempat atau gedung khusus budaya sembari tetap memberi tempat bagi seni wayang kontemporer atau seni pertunjukan wayang yang mengikuti selera pasar meski harus melanggar pakem, namun masih pada batas-batas tertentu, adalah pilihan logis sebagai jalan tengah.

Kecintaan pada wayang bisa diperkenalkan lewat pendidikan karakter oleh guru di sela-sela mengajar dalam bidang mata pelajaran apa pun di sekolahan di berbagai jenjang. Para kreator seni wayang bisa mengenalkan tokoh-tokoh wayang melalui komik, buku-buku bacaan anak, bahkan sebagai tokoh dalam game online, namun tentu saja ada ketentuan khusus agar tidak timbulkan kerancuan.

Kritik wayang hendaklah mulai ditumbuhkan agar karya budaya ini tidak semakin misterius karena tekanan budaya massa dan hanya sebagai prasasti bahwa di negeri ini wayang pernah berjaya dan menjadi predikat sebagai warisan budaya dunia.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif