Jogja
Minggu, 12 November 2017 - 06:20 WIB

Sejarawan: Bukan Patung Hitler yang Salah, tapi Pose Selfie Pengunjung yang Tidak Tepat

Redaksi Solopos.com  /  Nina Atmasari  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Lokasi bekas patung Adolf Hitler di Museum De Arca Jogja, Sabtu (12/11/2017). (Beny Prasetya/JIBI/Harian Jogja)

Sejarawan Universita Gadjah Mada mengatakan jika tidak ada salahnya mengadakan patung Adolf Hitler di Museum De Arca Jogja.

Harianjogja.com, JOGJA- Sri Margana, Sejarawan Universita Gadjah Mada mengatakan bahwa tidak ada salahnya mengadakan patung Adolf Hitler di Museum De Arca Jogja.

Advertisement

Baca juga : Patung Hitler di Museum De Arca Jogja “Hilang”

Namun, seharusnya pengelola melarang pengunjung berfoto dengan sikap salut ala Nazi itu. Sikap itulah yang kemudian melukai hati publik khususnya kaum Yahudi sebagai korban pembunuhan massal yang diperintahkan oleh Hitler.

“Sikap seperti itu seolah-olah bangga atas apa yang sudah dilakukan Hitler terhadap orang Yahudi,” ujarnya, ketika dimintai pendapat oleh Harianjogja.com, Sabtu (12/11/2017).

Advertisement

Pengelola museum juga bersikap salah dengan tidak menyertakan deskripsi sejarah tokoh tersebut. Sebagai bagian kuratorial yang harus ada di museum maka seharusnya ada paparan khususnya mengenai bagaimana peristiwa itu menjadi hal yang negatif dan melukai nilai kemanusiaan.

Hal ini sangat esensial khususnya bagi museum yang menawarkan isu yang sangat sensitif termasuk ideologi.

Lebih lanjut, ia menilai jika masyarakat Indonesia sendiri tidak terlalu paham mengenai Yahudi termasuk sejarah Holocaust yang dilakoni Hitler. Pemahaman masyarakat soal Yahudi lebih banyak terkait persoalan agama dibandingkan sejarah.

Advertisement

Bahkan, tambah Margana, secara umum masyarakat hanya mengerti Yahudi sebagai musuh Islam sehingga timbul ketidakpedulian atas genosida yang sudah dialami bangsa tersebut. Bangsa Yahudi yang merupakan korban dari peristiwa menyedihkan itu tidak bisa dipahami secara umum.

“Secara masyarakat mayoritas Islam yang anti Yahudi juga sehingga kebenciannya membuat ignorance terhadap sejarah,” ujar Kepala Departemen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UGM ini.

Pengetahuan mengenai peristiwa pembersihan etnis itu sendiri sebenarnya banyak tersedia di buku sekolah maupun internet. Namun, di buku sekolah biasanya paparannya terlalu sedikit untuk bisa menjelaskan Holocaust, Hitler serta motif yang mendasari perbuatan genosida tersebut.

Ditambah dengan adanya sentimen ideologis dari masyarakat Indonesia yang anti semit maka secara umum tidak muncul keinginan untuk memperjelas pengetahuan dasar itu. “Seolah-olah mengiyaka apa yang sudah dilakukan,” tandasnya.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif