Soloraya
Minggu, 12 November 2017 - 22:35 WIB

Kurang Dikenal, Ini Jasa dan Keteladanan Pahlawan Solo Saharjo yang Layak Dicontoh

Redaksi Solopos.com  /  Suharsih  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Dr. Saharjo, S.H. (Istimewa)

Sebagian warga Solo tak mengenal pahlawan bernama Saharjo S.H. ini meski sudah dijadikan nama jalan.

Solopos.com, SOLO — Di Kampung Kebalen, Kelurahan Kampung Baru, Kecamatan Pasar Kliwon, Solo, ada sebuah jalan bernama Jl. Saharjo S.H. Jalan ini menghubungkan Jl. Kusumoyudan dengan Jl. Arifin. Lokasinya berada di sisi timur Pura Mangkunegaran.

Advertisement

“Dulu sini namanya Jl. Kebalen, tapi sekitar 1975-1980 diganti menjadi Jl. Saharjo, S.H. Tapi saya sendiri kurang tahu riwayat atau asal usulnya kenapa jadi Jl. Saharjo, S.H.,” kata Ketua RT 003/RW 005 Kampung Baru, Rusbandi, belum lama ini.

Mengenai sosok Saharjo S.H. pun dia tidak mengenal sama sekali. “Enggak tahu, sama sekali enggak tahu,” tutur dia.

Ketua RW 005 Kelurahan Kampung Baru, Muhsoni, mengatakan belum lama ini ada gagasan dari warga untuk mengangkat potensi sejarah di Kampung Baru. Kampung yang sebelumnya dikenal sebagai Kampung Krapyak itu ingin menggali tentang tokoh Saharjo dan Arifin.

Advertisement

“Di sini ada Jl. Saharjo dan Jl. Arifin. Pastinya mereka adalah tokoh penting sehingga menjadi nama jalan. Kami akan menggali informasi tentang mereka. Alasan kenapa sini diberi nama Jl. Saharjo juga kami belum tahu,” tutur Muhsoni.

Apakah dulu Saharjo dan keluarganya pernah tinggal di kawasan tersebut? Muhsoni pun mengaku tidak tahu. Budayawan Solo, Mufti Raharjo, pun hanya mengetahui tentang asal usul nama Jl. Kebalen.

“Dulu kawasan Kebalen banyak dihuni warga asal Bali. Jl. Kebalen kemudian diganti menjadi nama Jl. Saharjo, S.H., saya sendiri belum punya referensi soal nama Saharjo, S.H.,” tutur Mufti.

 

Advertisement

Dr. Saharjo, S.H. (Istimewa)

 

Sementara itu, selain sebagai nama jalan, Dr. Saharjo, S.H. juga menjadi nama Aula Rumah Tahanan Kelas I A Solo. Berdasarkan informasi yang diperoleh Solopos.com dari Kasi Pelayanan Tahanan Rutan Klas 1 Solo, Solichin, nama Dr. Saharjo itu diberikan oleh pejabat lama Kepala Rutan Solo, Andika Dwi Prasetya.

“Baru sekitar 2015 lalu aula ini diberi nama Aula Dr. Saharjo oleh Pak Andika. Tujuannya agar seluruh pegawai di Rutan ingat dan tahu Pak Saharjo itu punya peran penting di bidang pemasyarakatan, terlebih beliau kelahiran Solo,” kata Solichin mewakili Kepala Rutan Klas 1A Solo, M. Ulin Nuha, saat berbincang dengan Solopos.com, Jumat (10/11/2017).

Advertisement

Solichin kemudian menunjukkan selembar kertas berisi sejarah ringkas sistem pemasyarakatan. Tulisan sepanjang lima alinea itu selalu dibacakan setiap upacara peringatan Hari Pemasyarakatan, 27 April.

Istilah Kehakiman

Dalam ringkasan sejarah itu, tertulis istilah dan sistem pemasyarakatan dicetuskan Dr. Saharjo pada 5 Juli 1963 dalam pidato penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa oleh Universitas Indonesia. Satu tahun kemudian, pada 27 April 1964 dalam konferensi Jawatan Kepenjaraan di Lembang Bandung, istilah pemasyarakatan dibakukan sebagai pengganti kepenjaraan.

“Oleh karena itu setiap 27 April kami selalu memeringati Hari Pemasyarakatan,” imbuh Solichin.

Advertisement

Lalu Siapa Dr. Saharjo itu? Berdasarkan catatan biografi yang diterima Solopos.com dari Rutan Klas 1 A Solo, Saharjo lahir di Solo pada 26 Juni 1909 dan wafat pada 13 November 1963. Dia adalah tokoh penting di bidang hukum.

Selain mencetuskan istilah pemasyarakatan, Saharjo juga mengganti istilah “orang terhukum” menjadi “narapidana”. Istilah ini dia ciptakan saat menjabat sebagai Menteri Kehakiman (1959-1962).

Lambang Departemen Kehakiman yang masih dipakai hingga sekarang juga ciptaan Sahardjo. Lambang hukum yang semula berupa “Dewi Keadilan dengan mata tertutup, tangannya yang satu memegang pedang dan tangan lainnya memegang timbangan”, dia ganti dengan gambar pohon beringin.

Pohon beringin sebagai lambang pengayoman atau perlindungan ciptaan Saharjo diterima Seminar Hukum pada 1963 dan dipakai hingga sekarang. Kendati lahir di Solo, jejak Saharjo sudah sangat sulit ditemukan.

“Memang beliau lahir di Solo, tapi semasa hidupnya lebih banyak berada di Jakarta, itu yang saya tahu. Bahkan kenangan-kenangan tentang Dr. Saharjo di Solo maupun di Rutan kami nyaris tidak ada,” kata Ulin Nuha.

Saharjo adalah putra sulung seorang abdi dalem Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, R.Ngabei Sastro Prayitno. Jejaknya di sekitar Keraton pun tidak banyak yang tahu.

Advertisement

“Mungkin karena beliau meninggalnya juga sudah sangat lama sekitar tahun 1960-an jadi saya sendiri kurang begitu tahu keluarganya yang di sini masih ada atau tidak. Yang saya tahu memang beliau adalah pahlawan dan namanya kini menjadi nama jalan di kawasan Tebet, Jakarta,” imbuh salah satu Putri Paku Buwono XII, G.R.Ay. Koes Moertiyah yang akrab disapa Moeng.

Sejarawan muda Solo, Heri Priyatmoko, menyebut ada beberapa fakta konkret mengenai sosok Saharjo, salah satunya adalah anak seorang priyayi Keraton sehingga berkesempatan mengenyam bangku sekolah Eropa kala itu. “Kesadaran literasi dan melek huruf Saharjo jelas terbangun dari lingkungan kultur priyayi. Membaca buku merupakan syarat menyongsong zaman kemajuan awal abad 20, kala itu. Itulah mengapa dia jago menemukan istilah-istilah yang pas dan enak didengar dalam kamus kehakiman,” kata Heri.

Fakta ketiga, Saharjo berguru pada Soepomo. Sebagai sesama warga Solo, kedekatan mereka mudah dianyam kemudian bersama-sama menggeluti dunia hukum.

Situs pahlawancenter.com menggambarkan sifat kesederhanaan Saharjo yang dinilai menonjol. Saharjo hidup dari gajinya semata-mata. Setelah pindah ke Yogyakarta, istrinya Siti Nuraini Saharjo terpaksa tinggal di Solo dengan anak-anaknya.

Di Jogja, Sahardjo tinggal di sebuah paviliun dengan cuma-cuma atas kedermawanan pemiliknya yang juragan batik. Tiap Sabtu ia pulang ke Solo berkumpul dengan anak istrinya.

Siti Nuraini Saharjo membuka warung kecil menjual lilin dan kecap. Terkadang Saharjo menemani istrinya di warung. Dengan hasil warung yang tak seberapa terbantulah keperluan rumah tangganya.

Tidak jarang dia memaksa istrinya menjual barang-barang miliknya sampai kepada perhiasannya yang tak dapat dikatakan cukup. Sering kali terjadi adegan yang mengharukan antara Saharjo sebagai Sekjen Kementerian Kehakiman dengan sekretarisnya Rusiah Sardjono yang pernah menjadi Menteri Sosial.

Saharjo datang ke kantor belum sarapan, karena makan paginya hanya cukup untuk anak-anaknya. Maka Rusiah Sardjono memesankan makanan paginya dari kantin Kementerian itu. Semua itu menunjukkan betapa sederhana hidup Saharjo S.H. dengan keluarganya.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif